PEMETAAN MASALAH PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DARI ASPEK TEKNIS (SILVIKULTUR) [1])
Oleh :
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS [2])
Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara yang memiliki areal hutan tropis yang luas, kaya akan
berbagai jenis hidupan liar dan berbagai ekosistem, yang perlu dijaga
dan dilestarikan keberadaannya. Upaya-upaya untuk menjaga dan
melestarikan hutan sudah sering dilakukan tetapi keadaan hutan di
Indonesia semakin hancur karena prinsip membangun hutan yang
berkelanjutan (Sustainable Forest Management) cenderung diabaikan. Pola
pembangunan dan pemanfaatan hutan hanya berorientasi kepada pembalakan
(timber oriented) tanpa memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai
lingkungan/ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, Hal
Ini mengakibatkan terjadinya eksploitasi hutan secara berlebihan,
sehingga potensi sumberdaya alam lainnya seperti hasil hutan non kayu
(flora dan fauna) menjadi rusak dan hilang tanpa memberikan hasil yang
optimal.
Terjadinya
degradasi dan deforestasi hutan telah memberikan implikasi yang sangat
luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia.
Fungsi-fungsi lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan
manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan fauna yang
membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi
rusak dan hilang. Disadari bahwa suatu ketika, sumberdaya alam yang
tersebar diseluruh wilayah Indonesia akan habis dan punah apabila
pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan, yang
tidak memperhatikan kelestarian fungsi produksi, fungsi
ekologi/lingkungan dan fungsi sosial, ekonomi dan budaya.
Hutan
tropis Indonesia telah memberikan posisi penting dalam kaitannya
sebagai paru-paru dunia dan penangkal pemanasan global sebagai akibat
efek dari rumah kaca. Dari segi keanekaragaman hayati, Indonesia selain
dikenal sebagai negara mega-biodiversity, juga dikenal sebagai salah
satu negara dengan laju pengurangan luas hutan alam yang terbesar di
dunia. (Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2001).
Berdasarkan
hasil penelitian IPB (1999) dalam Departemen Kehutanan (2001), nilai
guna hutan, berupa nilai langsung (kayu, non kayu) hanya mencapai 4,5%
sedangkan sisanya merupakan nilai keberadaan (habitat, flora, fauna,
penyangga kehidupan). Hal ini berarti pemanfaatan kawasan hutan produksi
selama lebih dari 32 tahun hanya menghasilkan nilai guna hutan maksimum
4,5% dan telah menghilangkan manfaat lainnya sebesar 95%.
Menurut
Manan (1993), dalam pemanfaatan hutan tropis Indonesia yang merupakan
sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources), telah menjadi
sorotan dunia karena fungsi hutan sebagai penyangga lingkungan hidup
secara global. Berkaitan dengan fungsi tersebut, muncul beberapa issue
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain : pemanasan
global/rusaknya lapisan ozon diakibatkan oleh rusaknya hutan tropis,
hutan alam tropis merupakan tempat penyimpanan karbon, perlunya
konservasi biodiversity dalam hutan produksi, kerusakan hutan alam
tropis akibat gangguan keamanan dan lemahnya perlindungan hutan,
perubahan iklim secara regional, keberadaan HPH tidak meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tetapi justru
menimbulkan kecemburuan sosial. Negara-negara yang memiliki hutan tropis
harus dapat meletakkan sendi-sendi manajemen pengelolaan hutannya
secara lestari.
Selama
ini, peranan hutan cenderung hanya dilihat sebagai penghasil komoditas,
terutama kayu, sehingga menjadi perebutan kepentingan berbagai pihak
secara tidak terkendali yang akhirnya mengancam keberadaan dan
kelestariannya.
Sistem Silvikultur:
Peraturan
pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan menyatakan bahwa untuk menjamin kelestarian hutan
alam di luar Jawa, eksploitasi hutan hanya dilakukan secara tebang
pilih, sedangkan permudaannya dapat dilakukan secara alam dan buatan.
Dengan
beroperasinya kegiatan HPH sejak tahun 1970 (terbukanya sarana dan
prasarana jalan hutan dengan adanya kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan)
juga timbul dampak induksi yang bukan disebabkan karena aktivitas HPH
berupa perambahan hutan oleh perladangan liar, pencurian kayu, kebakaran
hutan dsb. Sehingga areal bekas penebangan TPI/TPTI kondisinya ada yang
telah rusak dan rawan terhadap perambahan terutama pada wilayah-wilayah
yang berbatasan dengan daerah yang berpenduduk padat.
Pada
areal-areal bekas penebangan TPTI/TPI yang kondisinya telah rusak dan
rawan terhadap perambahan membutuhkan suatu sistim silvikultur
tersendiri.
Manan
(1993) mendefinisikan sistim silvikultur sebagai suatu proses
penggantian suatu tegakan hutan, melalui permudaan/penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan untuk menghasilkan produksi kayu atau hasil
hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Termasuk kedalamnya rekayasa untuk
mempengaruhi sifat dan susunan hutan baru yang terjadi.
Sistem
Silvikultur merupakan salah satu bagian penting (sub sistem) dari
sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), yang dapat menjamin
kelestarian produksi, ekologi dan dampak positif sosial ekonomi termasuk
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas kawasan hutan. (Indrawan,
2008).
Sistem
silvikultur dan teknik silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan
hutan alam produksi (IUPHHK HA) di Indonesia pada saat ini adalah
Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih
Tanam Jalur (TPTJ) dan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia
Intensif TPTII/ Silvikultur Intensif (Silin).
Sistem silvikultur TPTI sebaiknya diterapkan pada Hutan Poduksi Primer dan pada LOA (Log Over Area) TPTI.
Sistem
silvikultur TPTJ dan Teknik silvikultur Silin sebaiknya diterapkan
pada hutan sekunder bekas ilegal loging yang merupakan hutan yang tidak produktif.
Dan Sistem silvikultur THPB sebaiknya diterapkan pada areal hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang .
Yang
dimaksud hutan tidak produktif tercantum dalam PP6 tanggal 8 Januari
2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan”Pasal 38 ayat 3. “Pemanfaatan hasil hutan kayu pada
HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif.
Kriteria Hutan Produksi tidak Produktif menggunakan Kepmenhut No 200/Kpts-II/1994, psl (2)”:
- Pohon Inti Yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25 batang/setiap hektar.
- Pohon Induk Kurang dari 10 batang setiap hektar.
- Permudaan alamnya kurang Yaitu:
- Anakan alam tingkat semai (Seedling) kurang dari 1000 batang tiap hektar, dan atau
- Pohon dalam tingkat pancang kurang dari 240 batang tiap hektar, dan atau
- Pohon dalam tingkat tiang (Poles) kurang dari 75 batang tiap hektar.
Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Pada
tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam
produksi di Indonesia,
Pada
SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 tentang
Pedoman Tebang Pilih Indonesia, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan keputusan ini.
SK Menteri Kehutanan No. 485/1989 melahirkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia
Pada
Areal Hutan Bekas Tebangan, TPTI secara ekologis paling sesuai untuk
diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis
pohon komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan produksi
dan 60 cm keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPTI
tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut
kerapatan jenis pohon komersial ditebang pada areal bekas tebangan.
Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat
jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan tanah melalui
siklus hara. Rotasi Tebang pada TPTI 35 Tahun dengan asumsi riap
diameter 1 (satu) cm/tahun
Namun
demikian perlu pula mendapatkan perhatian bahwa penelitian sistem
pengelolaan hutan dengan sistem TPTI, dengan simulasi data pada
pengukuran plot permanen secara time series 10 tahun dengan menggunakan
Sofware Dynamic Simulation Powersim 1.03 ALFA. (Indrawan, 2003)
Hasil
penelitian dengan plot permanent, pada LOA (Log Over Area) menunjukkan
bahwa system pengelolaan dengan TPI dan TPTI yang dilaksanakan pada HPH
PT. Inhutani II Pulau Laut Kalsel. Respons simulasi dengan ekstrapolasi
70 tahun menunjukkan bahwa rotasi tebang tidak selalu sama dan makin
melebar sesuai dengan perubahan waktu. Pada HPH PT Inhutani II dari penebangan 1 sampai rotasi tebang I untuk pulih dan dapat ditebang kembali membutuhkan waktu lebih kurang 24 tahun dan dari penebangan 2 sampai rotasi tebang II
untuk pulih dan dapat ditebang kembali membutuhkan waktu lebih kurang
37 tahun dst. Pada rotasi tebang berikutnya siklus tebang akan makin
melebar.
Verifikasi model Simulasi HPH PT. INHUTANI II, pada HPH PT. RATAH TIMBER CO. menghasilkan respon simulasi penebangan 1 sampai rotasi tebang I untuk pulih dan dapat ditebang kembali membutuhkan waktu lebih kurang 30 tahun dan dari penebangan 2 sampai rotasi tebang II untuk pulih dan dapat ditebang kembali membutuhkan waktu lebih kurang 43 tahun dst. Pada rotasi tebang berikutnya siklus tebang akan makin melebar.
Karena
Penambahan unsur Hara di hutan hanya tergantung dari Curah Hujan ,
Kotoran satwa liar dan dari bahan induk tetapi kecil sekali. ( Dalam
TPTI Rotasi Tebang yaitu tiap 35 tahun dengan asumsi pertumbuhan
diameter pohon jenis komersial ditebang 1 cm/tahun).
Berdasarkan penelitian Yanuar S.D., Elias dan A. Indrawan (1992) di
areal HPH PT Kayu Pesaguan (Alas Kusuma Group), Kalimantan Barat
rata-rata keterbukaan tanah karena penebangan satu pohon berkisar antara
1,71 – 1,93% atau 171,054m2 – 193,152m2 dan rata-rata keterbukaan tanah karena penebangan dan penyaradan satu pohon adalah berkisar antara 2,70 – 3,15% atau 268,28 m2 - 314,62 m2 dan rata-rata pengurangan jumlah pohon untuk penebangan satu pohon adalah berkisar antara 7,6 – 9,2 pohon.
Berdasarkan hasil penelitian diatas jelas terlihat bahwa sistem
penebangan yang diakibatkan karena TPTI menciptakan keterbukaan
penutupan tajuk.
Hasil
penelitian Indrawan, A. et al. (1986), pada areal hutan dua tahun
setelah penebangan (logged over area) hutan hujan tropika di Areal Hutan
HPH PT. Pertisa Trading Company LTD, Riau dan HPH PT. Hugurya, Aceh
pada celah2/ Gaps menunjukkan hasil yang menggembirakan, pada celah2/gaps mempunyai jumlah yang cukup dari semai jenis-jenis kayu perdagangan.
Idealnya bila satu pohon tumbang (ditebang) pada rotasi tebang
berikutnya untuk tiap gap/celah cukup digantikan semai jenis kayu
perdagangan yang pada masa yang akan datang akan menjadi satu pohon
komersil yang sehat untuk rotasi tebang berikutnya (rotasi tebang
pertama/35 tahun). Sedangkan pada tiap gap/celah terdapat jumlah yang
cukup dari jenis-jenis kayu perdagangan. Oleh karena itu untuk mengelola
hutan kita dapat dilakukan pemeliharaan berupa pembebasan horizontal
dari gaps/celah2
yang terbentuk karena penebangan, untuk merangsang pertumbuhan semai
jenis pohon komersial terutama jenis-jenis pohon dari Famili
Dipterocarpaceae (meranti, keruing, kamper dsb.)
TPTI
telah mencanangkan untuk menanami areal bekas Jalan sarad, bekas TPN,
TPK dsb tersebut dengan jenis-jenis pohon intoleran dan komersial dengan
jenis pohon asli setempat. Seperti Jabon (Anthocephalus cadamba), Pulai
(Alstonia scholaris) dsb.
Pembebasan
horizontal pada areal bekas tebangan sangat bermanfaat bagi regenerasi
hutan tropika basah, terbukti dengan berhasilnya PT. INHUTANI I di
Berau, Kalimantan Timur. dalam meregenerasi permudaan alam areal hutan
bekas tebangan dari jenis-jenis kayu perdagangan dari Famili
Dipterocarpaceae.
Permudaan Gap/celah secara ekologi lebih cocok karena Gap/celah yang
terbentuk karena robohnya satu pohon menciptakan areal terbuka yang
merupakan habitat yang ideal untuk tumbuh dan berkembangnya jenis-jenis
komersial ditebang khususnya jenis-jenis pohon dari Famili
Dipterocarpaceae yang membutuhkan naungan, cahaya yang masuk sesuai
untuk permudaan hutan karena rumpang yang terbentuk mirip dengan bila
pohon roboh secara alami di Hutan Alam (Virgin Forest).
Tebang Jalur Tanam Indonesia
Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No. 40/KPTS/IV-BPHH/1993 tanggal 18
Maret 1993. Tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Tebang Jalur dan Tanam
Indonesia (TJTI), sbb:
Sasaran
lokasi sistem silvikultur tebang jalur diterapkan pada hutan bekas
penebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia yang kondisinya telah rusak,
yang rawan terhadap perambahan, yang tidak cocok untuk sistem THPB dan
hutan primer yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan.
Definisi
Sistem Silvikultur Tebang Jalur adalah suatu sistem silvikultur yang
dilakukan dengan cara membuka areal selebar tertentu dalam bentuk jalur
dengan menebang pohon yang berdiameter 20 cm keatas sehingga sinar
matahari dapat mencapai permukaan tanah. Kelestarian produksi hutannya
didasarkan pada keberhasilan permudaan buatan atau alam.
1. Tebang Jalur dengan Permudaan Buatan:
- Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500 ha dan minimum 100 ha, untuk hutan bekas tebangan dan hutan primer.
- Lebar jalur yang ditebang sebagai perlakuan dalam percobaan tiga macam terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan lebar jalur yang tidak ditebang 50 m, 100m dan 200 m. Arah jalur penebangan Utara-Selatan.
- Jenis pohon yang digunakan dalam penanaman adalah jenis pohon meranti lokal bernilai tinggi yang sudah dikuasai teknologi budidayanya dan benih tersedia, atau jenis non timber product misalnya Tengkawang, Jelutung dan Damar mata kucing.
- Larikan tanaman searah dilakukan pada jalur tebang, larikan tanaman yang dibersihkan selebar 1 (satu) meter. Jarak antara sumbu larikan dan sumbu larikan lain 5 m dan pada bagian yang akan dibuat lubang tanam sepanjang larikan diberi tanda ajir. Jarak antar ajir 5m. Dengan demikian akan diperoleh jarak tanam 5 x 5 m.
- Penanaman dilakukan pada permulaan musim hujan satu tahun setelah penebangan.
- Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) dilakukan 1 (satu) tahun sebelum penebangan.
- Pengadaan bibit dilakukan satu tahun sebelum penebangan.
- Penyulaman Tanaman :
Dilakukan 2-3 bulan sesudah penanaman, pada waktu musim hujan pada tahun pertama dan kedua.
- Pemeliharaan
2. Tebang Jalur dengan Permudaan Alam
- Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500 ha dan minimum 100 ha, untuk hutan bekas tebangan dan hutan primer.
- Lebar jalur yang ditebang sebagai perlakuan dalam percobaan tiga macam terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan lebar jalur yang tidak ditebang 50 m, 100m dan 200 m. Arah jalur memotong arah angin
- Jenis permudaan alam yang dipelihara dalam jalur bekas tebangan adalah permudaan alam dari jenis Dipterocarpaceae lokal bernilai tinggi.
- Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), dilakukan satu tahun sebelum penebangan.
Tebang Jalur Tanam Indonesia baru taraf uji Coba dan tidak dilanjutkan.
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
Sistem
silvikultur TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10 September
1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam
pengelolaan hutan produksi, sbb:
- Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur dengan tebang persiapan dengan menebang pohon pada areal LOA TPTI, dan dilakukan dengan Tebang Pilih dengan Limit diameter 40 cm diikuti dengan pembuatan jalur bersih (penjaluran), dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor 22 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis2 pohon komersial. Dengan jarak tanam 5 m. Sehingga jarak tanaman menjadi 5 x 25 m.
- Pengadaan bibit dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).
Urut-urutan pemberlakukan dan pencabutan Kepmenhut dan Permenhut Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam:
- Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi.
- Sk Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998, tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Sari Bumi Kusuma
- Sk Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999, tgl 18 Januari 1999. tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Erna Juliawati
- Pencabutan TPTJ: Kepmenhut No. 10172/Kpts-II/2002 tentang perubahan kepmenhutbun No. 309/kpts-II/1999.
- Peraturan Menhut No. P 30/ Menhut II/2005: Kepmenhut No. 10172/KPTS-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi.
- Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 : Peraturan Menhut No. P 30/ Menhut II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi, yang berarti Kepmenhut No. 10172/KPTS-II/2002 akan berlaku lagi yang sejalan dengan sub d. Bahwa TPTJ telah dicabut
- Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 masih memberlakukan TPTJ sebagai salah satu sistem silvikultur yang akan digunakan.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif dengan Teknik Silvikultur Silin
SK
Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005,
memutuskan pemegang IUPHHK pada hutan alam sebagai model Sistem
silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6 (enam)
IUPHHK yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim
(Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar); PT. Balikpapan Forest Industri
dan PT. Ikani (Kaltim).
Keputusan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-BPHA/2007
tanggal 10 April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan Silvikultur
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang meliputi 25 pemegang
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam
terdiri dari 8 (delapan) IUPHHK di Kaltim, Kalteng 8 (delapan) IUPHHK,
Kalbar 1 (Satu) IUPHHK Sumatera Barat 1 (satu) IUPHHK, Riau 1 (satu)
IUPHHK Papua 2 (dua) IUPHHK, Papua Barat 3 (tiga) IUPHHK dan Maluku
utara 1(satu) IUPHHK.
Sistem
TPTII (Silin) adalah bukan merupakan regim atau sistem silvikultur,
tetapi merupakan teknik silvikultur yang mengharuskan adanya tanaman
pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan
cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal
(Sukotjo, 2009).
Tebang
Pilih Indonesia Intensif (Silvikultur Intensif) dapat meningkatkan
produksi kayu hutan alam pada masa yad. Sebaiknya dilaksanakan pada
areal hutan bekas illegal loging dan pada hutan2
rawang pada areal IUPHHK baik di daerah Lowland maupun di daerah
Upland. Seperti yang dilakukan oleh IUPHHK PT. Ikani yaitu melaksanakan
TPTI pada hutan primer dan hasil log dari hutan primer disisihkan dan
digunakan untuk mensubsidi TPTII (Silin) yang dilaksanakan pada hutan
rawang yang potensinya kurang sbb: Tidak melakukan tebang persiapan
pada hutan rawang dan hanya melakukan Penanaman Pengayaan (Enrichment
Planting) dengan jenis2
unggulan pada jalur bersih (lebar 3 m) dan jarak antar tanaman pada
jalur bersih 2 1/2 meter, jalur kotor/jalur konservasi dibuat dengan
lebar 17 m. Sehingga jarak tanam menjadi 2 1/2 x 20 m.
Pada
hutan alam primer dan areal hutan bekas tebangan (LOA) TPTI pada Hutan
Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang potensinya
masih baik dan terletak di daerah hulu sungai pada Ekosistem Daerah
Aliran Sungai, sebaiknya diterapkan sistem TPTI yang menebang pohon
secara tebang pilih dengan permudaan alam. Karena system TPTI yang
paling cocok secara ekologi, untuk mempertahankan fungsi hutan baik
hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Kelemahan
sistem TPTII (Silin) pada saat ini yaitu dilaksanakan pada LOA areal
bekas tebangan TPTI dengan tidak memperhatikan siklus tebang yang
dipersyaratkan dalam pedoman TPTI. Siklus tebang dalam TPTI 35 tahun
dengan rotasi tebang 70 tahun.
Kelebihan
TPTII (Silin) yaitu Enrichment Planting dengan jenis-jenis unggulan
diwajibkan dilaksanakan segera setelah dilaksanakan penebangan dengan
tidak memperhatikan cukup tidaknya permudaan yaitu pada LOA yang
berumur 0 tahun (ET+0) sehingga mudah dikontrol.
Sedangkan
pada TPTI enrichment planting dilaksanakan pada areal LOA yang berumur
3 tahun (ET+3) pada lokasi areal bekas tebangan dengan permudaan
tingkat semai kurang ( Penyebaran /Frekuensi < 40%). Tidak mudah
dikontrol.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif dilakukan melalui rekayasa genetis, rekayasa lingkungan dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit (pest and desease) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu Jenis hutan alam khususnya jenis2 pohon dari famili Dipterocarpaceae, pada masa yad
TPTII
(Silin) merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari
sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan
(Enrichment planting) dari sistem TPTI. Meliputi penebangan persiapan
pada seluruh Blok (petak2
tebang) sesuai RKT Silin tahun berjalan, penebangan dilakukan dengan
limit diameter 40 cm up. Pada LOA hasil dari tebang persiapan dilakukan
tebang jalur bersih selebar 3 meter dan jalur kotor yang ditinggalkan
berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros
jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting) dengan
jenis2 unggulan dengan jarak tanam 21/2 m. Sehingga jarak tanam menjadi 21/2 x 20 m2.
Jenis-jenis
pohon dari famili Dipterocarpaceae unggulan (Jenis Target) yang
disarankan dan dapat merupakan pilihan untuk ditanam pada areal TPTII
(Silin) adalah Jenis jenis pohon hasil uji jenis.
Jenis-jenis
pohon hasil uji Jenis dengan teknik Silvikultur adalah sbb: Shorea
leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S.
platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp.
(Sukotjo, Subiakto dan Warsito, 2005).
Daur Ekonomis Jenis2 unggulan (jenis Target) adalah 30 tahun (rotasi tebang yang digunakan 30 tahun).
Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada
tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam
produksi di Indonesia, dimana pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia
dapat dilakukan dengan sistim silvikultur :
- Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
- Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
- Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada
SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
Lokakarya
Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto “Kini Menanam Esok Memanen”
merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman Industri” karena padanan
bahasa Indonesia dari “Timber Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber
Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya
Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman
Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan
Hutan.
Pembangunan
HTI dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990
tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
Tujuan
Pembangunan HTI dalam PP No. 6 Tahun 1999 adalah untuk memperbaiki
potensi hutan yang terlanjur rusak, dan untuk memenuhi bahan baku
Industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan
hutan produksi yang kritis dan tidak produktif.
Dalam
PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan
disebutkan bahwa sasaran pembangunan hutan tanaman adalah pada lahan
kosong, padang alang-alang dan hutan rawang (potensi kurang dari 20 m3)
Nina
( 2011) menyatakan bahwa, telah terjadi penurunan kualitas tapak HTI
jenis Eucalyptus urograndis dari rotasi I ke Rotasi II.sbb: penurunan
kadar hara tanah N, K dan C-Org pada lapisan top soil (0-20cm) dan
penurunan kadar hara tanah N, Ca dan C-Org pada lapisan tanah 20-40 %.
Demikian pula dari rotasi pertama ke rotasi kedua telah terjadi
penurunan dimensi tegakan (diameter batang, tinggi total dan biomassa).
Penurunan
pertumbuhan volume, pertumbuhan diameter pada rotasi 1 dan rotasi 2
dapat dilihat pada gambar 1, 2, dan 3 berikut ini (Nina, 2011).
Gambar 1. Pertumbuhan Volume Tegakan E. Urograndis pada rotasi 1 dan rotasi 2. |
Gambar 2. Pertumbuhan Diameter Tegakan E Urograndis pada rotasi 1 dan rotasi 2. |
Gambar 3. Pertumbuhan Tinggi Tegakan E Urograndis pada rotasi dan rotasi 2.
|
Wasis,
2005 menyatakan bahwa pada HTI Acacia Mangium secara nyata telah
terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang dicerminkan oleh penurunan
peninggi pada daur kedua jika dibandingkan dengan daur pertama.
Peninggi di lokasi penelitian secara nyata berkorelasi negatif dengan
biomassa bintil akar, sedangkan umur, kandungan bahan organik dan
kandungan air tersedia secara nyata berkorelasi positif dengan
pertumbuhan A. mangium. Dibandingkan daur pertama pada daur kedua telah
terjadi penurunan dimensi tegakan (diameter batang, tinggi total dan
biomassa), penurunan pH tanah, kadar C organik tanah, N, Ca dan Mg
tanah, kadar N, P dan K pada jaringan tanaman, kandungan hara N, P, K,
Ca dan Mg pada biomassa. Selain itu neraca hara (N, P, K, Ca dan Mg)
pada daur kedua bersifat negatif.
THPB
pola agrofrorestry dapat dilakukan dengan penanaman tanaman pokok
dengan tanaman pertanian atau tanaman perkebunan seperti penanaman
coklat pada tegakan hutan di Afrika dan penanaman tanaman kapol pada
tegakan hutan di RRC. (Kartawinata, 2008)
Di
Indonesia Rehabilitasi lahan dengan menggunakan sistem Agroforestry
dengan tanaman coklat di lakukan disekitar Taman Nasional Lore Lindu
dan di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa (Hatfindo Prima, 2005).
Eforia
reformasi menyebabkan degradasi pada sumber daya hutan, saat ini
sasaran penebangan liar (illegal loging) bukan hanya pada kawasan hutan
produksi saja, tetapi sudah masuk kedalam kawasan konservasi (taman
nasional, hutan lindung, dan kawasan konservasi lainnya).
Di
lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman konversi hutan untuk
berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan, okupasi
masyarakat dan pemekaran wilayah) yang demikian cepatnya di Indonesia
maka diperlukan fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan
kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut, salah
satunya sistem silvikultur yang digunakan. Sistem silvikultur yang
digunakan pada suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi
habitat pada kawasan hutan di areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan
Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini sejalan sejalan dengan Pasal
42 ayat (1) UU 41 RI tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa
Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik. Yang
mengambarkan pemilihan jenis pohon harus sesuai dengan keadaan habitat
dan ekologi jenis pohon terpilih.
Mengingat
kondisi hutan di sebagian besar areal IUPHHK umumnya terdiri dari areal
bekas tebangan, areal hutan rusak/tidak produktif, areal non hutan dan
di beberapa tempat masih terdapat areal hutan primer, untuk mengelola
hutan yang sangat bervariasi tersebut dibutuhkan lebih dari satu sistem
silvikultur (Multisistem Silvikultur). Kaitannya dengan sistem
pengelolaan hutan alam produksi lestari, maka dalam satu unit
pengelolaan hutan sangat dimungkinkan untuk diterapkan lebih dari satu
sistem silvikultur,
Kondisi
ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 3/2008, Pasal 38, ayat 1
yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI
dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat
dilakukan dengan satu atau lebih sistim silvikultur.
Didukung
pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem
Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah
Basah/Rawa, Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi mengingat beragamnya kondisi
hutan alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP
atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu
sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan
dengan lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009).
Peraturan
Menhut No. P11/Menhut II/ 2009. juga memuat dalam satu KPHP atau IUPHHK
dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem
silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan
lingkungannya (Menimbang pada PP No. 6/2007: pasal 34 ayat (2) dan Pasal
38 ayat (1) jo. PP No. 3/2008)
Dan kepmenhut No. P.40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja.
Terfragmentasinya
habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan Paradigma pengelolaan
hutan yang lebih baik dengan menerapkan dua atau lebih sistem
silvikultur (multisistem silvikultur) pada suatu areal IUPHHK.
Pembinaan
IUPHHK Hutan Alam dan IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) dengan Monosistem
silvikultur dilaksanakan sejak HPH mulai beroperasi (1970) dan sejak
pembangunan HTI (1984) sampai dengan saat ini.
Monosistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan yang ada di lapangan, Pada Hutan2
alam, Hutan Primer dan LOA pada areal IUPHHK dan hutan tanaman (HTI)
terjadi illegal loging dan tekanan untuk penggunaan lain seperti
Illegal Mining, Perkebunan dan Okupasi Masyarakat.
Multisistem
silvikultur memanfaatkan berbagai habitat pada suatu unit IUPHHK baik
hutan alam Primer dan LOA TPTI yang masih baik potensinya maupun hutan
alam yang sudah terdegradasi menjadi Hutan sekunder yang tidak
produktif, Semak belukar dan Alang2.
Pemilihan jenis pohon yang cocok dan sesuai dengan habitat tempat
tumbuh dan keadaan ekologi jenis-jenis pohon terpilih akan lebih
efisien dan intensif dalam pemanfaatan berbagai habitat lahan pada suatu
unit areal IUPHHK.
Dengan
diterapkannya Multisistem Silvikultur, produksi kayu dan hasil hutan
lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan, ekonomi menguntungkan,
Ekologi dan lingkungan hidup dapat dipertanggung jawabkan dan
kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan.
Multisistem Silvikultur
Sejak
keluarnya Peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan sejak itu HPH mulai
beroperasi di Indonesia dan disusul dengan Surat keputusan Dirjen
Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972 , tentang Pedoman
Tebang Pilih Indonesia , Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis
dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya.
Lokakarya
Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto “Kini Menanam Esok Memanen”
merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman Industri” karena padanan
bahasa indonesia dari “Timber Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya
Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman
Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan
Hutan.
Pengelolaan
hutan sejak HPH dan HP HTI beroperasi baik pada IUPHHK Hutan Alam
maupun IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) sampai saat saat ini umumnya
dilakukan dengan satu sistem silvikultur.
Pengelolaan
hutan dengan satu sistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan
kenyataan di lapangan, dimana areal hutan produksi khususnya pada IUPHHK
hutan alam telah terftragmentasi menjadi berbagai tutupan lahan sesuai
dengan tingkat degradasi Hutan yang terjadi. Yang sangat membutuhkan
diterapkannya Multisistem silvikultur.
Multisistem
Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang
terdiri dari dua atau lebih Sistim Silvikultur yang diterapkan pada
suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan
dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Sistem
silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem
silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari
TPTI, TPTII/Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry:
Presentasi
Multisistem Silvikultur yang dibawakan oleh penulis pada Seminar dan
Lokakarya yang telah diadakan pada tahun sejak 2008 s/d 2011 adalah
sebagai berikut:
- Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktifitas dan Pemantapan Kawasan Hutan Kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB dengan Direktorat Bina Produksi Kehutanan.Departemen Kehutanan. Bogor, 23 Agustus 2008.
- Seminar Gelar Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta, 19 Nov 2009
- Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur Dipresentasikan pada Workshop Multisistem Silvikultur. Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Melalui Multisistem Silvikultur. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan) dengan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah X ( Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan). Pontianak, 4 November 2010.
- Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multusistem Silvikultur .dipresentasikan pada Seminar Nasional Pelestarian Hutan Indonesia dan Keanekaragaman Hayatinya dalam Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global. Bogor, 10 Maret 2011.
- Seminar Implementasi Multisistem Silvikultur di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, 15 Desember 2011.
Penerapan
Multisistem Silvikultur (MSS) membutuhkan payung hukum berupa
Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penerapan Multisistem Silvikultur
pada Kawasan Hutan Produksi dan Peraturan Pemerintah tentang
Pembangunan IUPHHK Multisistem Silvikultur.
Pada
saat ini pengelolaan hutan produksi di Indonesia dibawah Direktorat
Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang membawahi Direktorat Bina Usaha Hutan
Alam (yang membina IUPHHK HA) dan Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman
(yang membina IUPHHK Hutan Tanaman/HTI)
Untuk
tidak mengalami hambatan birokrasi dalam penerapan multisistem
silvikultur sebaiknya dibentuk Direktorat Bina Usaha Hutan Produksi
yang meliputi Bina Usaha Hutan Alam dan Bina Usaha Hutan Tanaman.
Dengan diterapkannya Multisistem Silvikultur, produksi kayu
dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan, Ekonomi
menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan Hidup dapat dipertanggung
jawabkan dan kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan
usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat memperluas
lapangan kerja, meningkatkan pendapatan membuka peluang investasi dan
berperan aktif dalam kegiatan revegetasi untuk pencegahan pemanasan
global.
Penutup.
Pada
tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam
produksi di Indonesia, dimana pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia
dapat dilakukan dengan sistim silvikultur :
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada
SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
Sistim silvikultur yang digunakan saat ini adalah sistem silvikultur TPTI, TPTJ TPTII dan THPB.
Sistem
TPI/ TPTI tidak dapat dipersalahkan karena kenyataannya yang selama
ini berlaku dan dijalankan di lapangan selama tiga dasawarsa adalah
bukan sistem TPI/TPTI tetapi Sistim Tebang Pilih dengan Limit Diameter.
Pada areal hutan primer dan LOA TPI/ TPTI sebaiknya diterapkan sisitem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Sistem
TPTJ dan atau Teknik Silvikultur Silin (TPTII) sebaiknya diterapkan
pada hutan sekunder yang potensinya kurang yaitu areal hutan rawang
bekas Ilegal Logging dan hutan-hutan bekas kebakaran.
Adapun
Areal yang penutupan vegetasinya berupa tanah kosong semak belukar
dan alang-alang sebaiknya diterapkan sistem THPB dan atau THPB pola
Agroforestry, bila jenis-jenis asli intoleran (Jenis Cahaya dan Cepat
Tumbuh) tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah ybs. Dapat
digunakan jenis komersial exotik cepat tumbuh berupa jenis-jenis pohon
Intoleran..
Keputusan
pemilihan jenis pohon sebaiknya diserahkan pada perusahaan pemegang hak
(IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman) agar Implementasi
Multisistem Silvikultur menarik bagi para pengusaha.
Dengan
terfragmentasinya hutan produksi pada IUPHHK maka untuk mempertahankan
kawasan hutan dan menyelamatkan areal hutan produksi sangat dibutuhkan
adanya Implementasi Multisistem Silvikultur pada areal IUPHHK, MSS
dapat meningkatkan produksi kayu, meningkatkan penyerapan tenaga kerja
dan mempertahankan kawasan hutan produksi.
Berdasarkan
penelitian Suryanto, (2009) simulasi model, diantaranya dapat
dibuktikan bahwa menggunakan 3 sistem silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB)
memberikan proyeksi total produksi 378% lebih besar dibandingkan
menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII). Selanjutnya campuran 3
sistem ini dapat menyerap 257% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang
lebih besar daripada menggunakan campuran 2 sistem (TPTI dan TPTII)
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan. 2001. Kebijakan Pembangunan Kehutanan Dalam Era Otonomi
Daerah. Studium Generale – Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Kamis 8 Maret 2001, Bogor.
Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam. 2001. Talkshow
Peningkatan Konservasi. Studium Generale – Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Kamis 7 Juni 2001, Bogor.
Indrawan,
A. 2000. Perkembangan Suksesi Hutan Alam Setelah Penebangan dalam
Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Disertasi Tidak Diterbitkan.
Indrawan,
A. 2003. Model Sistem Pengelolaan Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan
Dengan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen
Hutan Tropika. Vol IX, No. 2. Juli- Desember. 2003
Indrawan,
A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia.
Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada
Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan
Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan
Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
Kosasih,
E. 2001. Pengetahuan Dan Keterampilan Dasar Rimbawan. Studium Generale –
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Kamis 15 Maret 2001, Bogor.
Manan, S. 1993. Hasil-hasil Komisi Pembinaan HPH – APHI.
Natadiwirya,
M. Dan M. Matikainen. 2001. Pemanenan Hasil Hutan Dan Peranan
Peningkatan Efisiensi Penyaradan Dalam Pelaksanaan Ril. Studium Generale
– Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Kamis 22 Maret 2001,
Bogor.
Nina,
M. 2011. Kajian Kualitas Tapak Hutan Tanaman Industri, Jenis Eucalyptus
urograndis Sebagai Bahan Baku Industri Pulp dalam Pengelolaan Hutan
Lestari (Studi Kasus di IUPHHK PT. Toba Pulp Lestari, Simalungun,
Medan). Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tidak Diterbitkan.
PT
Hatfindo Prima. 2005. Forest Resources Management for Carbon
Sequestration Projects (FORMACS). Care International Indonesia.
Jakarta.
Soedarsono, M. A. 2000. Visi Kehutanan Di Masa Depan. Media Persaki 1 : 6-13
Soekotjo,
A. Subiakto dan S. Warsito 2005. Project Completion Report ITTO. PD 41.
Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suryanto,
2009. Model dan Simulasi dalam Pengambilan Keputusan Sistem Silvikultur
dan Aspek Kebijakannya. Paper dibawakan pada Seminar Gelar Teknologi
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 19 Nov 2009.
Suryasanusiputra,
H. 2001. Pengusahaan Hutan Di Era Otonomi Daerah. Studium Generale –
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Kamis 29 Maret 2001, Bogor
Wasis,
B. 2005. Kajian Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Rotasi
Pertama dan Rotasi Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Wild. Studi
Kasus di IUPHHK HT. PT. Musi Hutan Persada. Propinsi Sumatera Selatan.
Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak
Diterbitkan.
[1]) Dibawakan pada Workshop/ Seminar Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi: Tinjauan Aspek Teknis Silvikultur, Sosial - Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan. Balai Besar Penelitian Dipterocarpa. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan. Samarinda , 13 November 2012.
[2]) Guru Besar Emeritus Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
1 comments:
Aswrwb trima kasih pa Prof Andri tulisannya soal MSS, memang ini salah satu jawaban pengelolaan hutan Ht Alam terutama yg tergradated agar bisa tetap lestari dan berkembang, saran sy analisa ekonomi pasar n industrinya hrs terintegrated juga, agar ada lokomotif penarik Hutan sebagai unit Usaha yg menguntungkan, hormat sy waskito
Post a Comment