KEBIJAKAN
PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN PRODUKSI LESTARI DI INDONESIA
BERDASARKAN
MULTISISTEM SILVIKULTUR[1])
Oleh :
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan MS.[2])
Pendahuluan
Dengan beroperasinya
kegiatan HPH sejak tahun 1970 terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan
dengan adanya kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan dan kegiatan-kegiatan lainnya
berupa penebangan, penyaradan, pembuatan TPN dan TPK. juga timbul dampak induksi yang bukan
disebabkan karena aktivitas HPH. Dampak induksi berupa perambahan hutan oleh perladangan,
pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Sehingga areal bekas penebangan TPI/TPTI
kondisinya telah rusak dan rawan
terhadap perambahan terutama pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daerah
yang berpenduduk padat.
Eforia reformasi telah menyebabkan
terdegradasinya hutan alam Indonesia baik pada
hutan alam dataran rendah maupun dataran tinggi. Sudah saatnya Negara
Indonesia menjaga kelestarian hutan dan merestorasi hutannya yang telah
terdegradasi baik pada hutan alam dataran rendah (lowland) yang merupakan hutan
produksi maupun pada hutan2
daerah hulu (Upland), yang meliputi
Hutan Produksi Terbatas, Hutan Lindung maupun pada Kawasan Lindung karena
hutan2 tersebut mempunyai fungsi Hidrologi, Orologi dan perlindungan alam
lingkungan.
Di lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman
konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan,
okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) perkembangannya demikian cepat di
Indonesia.
Berdasarkan paduserasi TGHK –
RTRWP, wilayah hutan di Indonesia luasnya 120,35 juta ha (61 % dari luas
daratan) yang menurut fungsinya kawasan
hutan tersebut terdiri dari: Hutan
Produksi 58,25 juta ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi 8,08 juta ha,
Hutan Lindung 33,52 juta ha dan Hutan Konservasi 33,52 juta ha.( Rusli, 2008)
Jumlah HPH/IUPHHK HA
pada tahun 1992 jumlah HPH 580 unit
(luas menurut SK 61,38 Juta ha dan luas areal efektif 42, 97 juta ha)
dan pada tahun 2011 jumlah HPH menjadi 294 unit. (luas menurut SK
23,24 Juta ha dan luas areal
efektif 16, 27 juta ha). Pada tahun 2011 jumlah RKT yang
telah disyahkan 137 unit HPH.(Dirjen BPK, 2009; Yasman, 2012)
Dari tahun 1992 s/d 2011 telah
terjadi penurunan jumlah HPH/IUPHHK Hutan Alam
287 unit, dengan penurunan luas menurut SK 38,14 Juta ha dan penurunan
luas efektif 26,70 Juta ha. Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan Tanaman pada
2011, 249 unit dengan luas izin
10.046.839 ha.
Sejak diterbitkannya Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007
jo. Permenhut No. P.05// Menhut II/2008
tentang tata cara Permohonan IUPHHK dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam hutan
tanaman sebagai tindak lanjut dari PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 tahun 2008, sampai dengan
17 juni 2009 penerbitan IUPHHK-HTR oleh Bupati sebanyak 8 (delapan) unit dengan luas 15.305,95 ha. Dan sampai dengan 17 Juni
2009 realisasi pencadangan areal HTR telah ditetapkan 38 kabupaten/kota
yang tersebar di 15 propinsi dengan total luas 251.018 ha. (Dirjen BPK, 2009).
Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari (Sustained Forest Management).
Pengelolaan hutan untuk
kelestarian Ekosistem (Sustained Forest Management) yang sejak lama telah dicanangkan oleh
Depertemen Kehutanan pada hutan-hutan alam di Indonesia sangat diharapkan dapat
terwujud, sehingga fungsi hutan untuk ekonomi dan ekologi dapat tercapai.
Dalam proses menuju
tercapainya pengelolaan hutan lestari diperlukan langkah-langkah yang nyata
dengan kriteria yang jelas dan dapat diterapkan menurut hierarkinya baik secara
nasional maupun pada tingkat unit pengelolaan hutan yang tentunya perlu
disesuaikan dengan alam/kondisi Indonesia.
Pembangunan
hutan saat ini tidak hanya bertujuan untuk kelestarian hasil (“Sustained Jield principle”) tetapi juga untuk
kelestarian Ekosistem (Sustained Forest Management) yang disamping mengharapkan
manfaat langsung berupa kayu dan hasil hutan lainnya juga berupa manfaat
Ekologi yang meliputi hidrologi,
orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Ekosistem yang perlu dilestarikan pada areal
kawasan hutan meliputi:
1. Ekosistem Alam seperti Hutan Hujan Tropika, Hutan
Musim, Hutan Rawa, Hutan Gambut, Hutan Kerangas dan Hutan Mangrove.
2. Ekosistem Buatan pada kawasan hutan seperti Hutan
Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat
Ekosistem hutan juga berfungsi sebagai tempat hidup dan
mencari makan Masyarakat di sekitar
hutan (local people), habitat berbagai jenis
satwa liar dan tumbuh2an,
konservasi biodiversity, konservasi
plasma nutfah, hidroorologi dan
perlindungan alam lingkungan
Beberapa
kriteria pengelolaan hutan lestari yang tercantum dalam ITTO (International Tropical Timber Organization)
antara lain meliputi : jaminan kepastian sumber daya, kelangsungan produksi
kayu, konservasi flora dan fauna, tingkat dampak lingkungan yang dapat
diterima, manfaat sosial ekonomi, perencanaan dan penyesuaian berdasarkan
pengalaman. Indonesia telah menetapkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan
produksi alam secara lestari (Keputusan Menteri Kehutanan RI/No 252/1993 dalam
Manan, 1993).
Menyadari
hal tersebut, maka program pembangunan dan pemanfaatan hutan produksi dan hutan produksi terbatas dari aspek konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem dimasa mendatang harus diarahkan kepada
pemanfaatan yang bersifat multifungsi, dengan memperhatikan aspek lingkungan
(ekologi), ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan mengutamakan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Masyarakat
sekitar hutan yang merupakan stakeholder
dari sumberdaya hutan tersebut, memang seharusnya dilibatkan di dalam setiap
langkah pembangunan dan pemanfaatan hutan sehingga mereka akan lebih peduli
kepada hal-hal yang konkrit dan langsung dirasakan manfaatnya dalam jangka
pendek. Dengan demikian pemahaman mereka akan kelestarian hutan akan dapat
ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya pemanfaatan hutan bagi peningkatan kesejahteraan
mereka.
Secara teknis penilaian
pengelolaan hutan produksi yang mengacu
pada Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari ITTO (ITTO,
1998) yang dimodifikasi dan dituangkan
dalam SK Menteri Kehutanan No 4795/KPTS-II/2002, tgl 3 Juni 2002 tentang
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit
Pengelolaan. Sedangkan proses penilaian
Kriteria dan Indikator didasarkan pada
Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.03/VI-BPHA/2007
tentang Perubahan Keputusan Dirjen BPK No. 42/KPTS/VI-PHP/2003 tentang Pedoman
Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja IUPHHK pada Hutan Alam di Unit Manajemen
dalam Rangka PHAPL.
Sedangkan untuk kriteria dan
penilaian Hutan Tanaman Industri didasarkan pada Kepmenhut no 177/KPTS-II/2003
tentang Kriteria dan Indikator PHL pada Hutan Tanaman, Kepmenhut no
178/KPTS-II/2003 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja IUPHHK dan Kepmenhut no
180/KPTS-II/2003 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penilaian Lembaga Penilai
Independen (LPI).
Pada tgl 12 Juni 2009, keluar Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
kayu. Dan pada tgl 15 Juni 2009 disusul oleh terbitnya Peraturan Dirjen Bina
Produksi Kehutanan No. P.6/VI-SET/2009 tentang Standar Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas kayu. Departemen Kehutanan mulai memberlakukannya
pada September 2009.
Lembaga
yang berwenang menilai PHPL
adalah KAN (Komite Akreditasi Nasional
yang merupakan Lembaga Independen.PHPL bersifat mandatory dan harus
diterapkan pada semua Unit Pengelolaan Hutan baik Hutan Alam maupun Hutan Tanaman (HTI).
PHPL bersifat voluntary
sebagian besar menggunakan standard yang dikembangkan oleh Forest Stewardship
Council (FSC) pada tahun 1993 mencakup aspek legal, social, lingkungan dan
produksi. Di Indonesia sendiri, Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI) yang merupakan organisasi non-pemerintah juga
mengembangkan kriteria dan indikator untuk pengelolaan hutan alam lestari dan
pengelolaan hutan tanaman lestari.
PHPL yang bersifat mandatoty berdasarkan kriteria dan indikator yang
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sedangkan PHPL yang bersifat voluntary
sebagian besar menggunakan standard yang dikembangkan oleh Forest Stewardship
Council (FSC)
Dua perbedaan pertama yakni
instrumen pasar versus kebijakan serta berdasarkan kriteria yang ditetapkan
oleh standar yang berbeda sudah pasti mengandung implikasi yang berbeda
terhadap tujuan unit pengelola hutan (UPH) dalam hal memperoleh sertifikat
SFM. Yang sudah pasti adalah, UPH yang
juga memenuhi permintaan pasar akan melalui dua mekanisme tersebut sehingga
pastinya akan berimbas pada beban biaya sertifikasi. (Setyawati,
2012)
Perkembangan Sertifikasi hutan
di Indonesia baik yang voluntary maupun
yang mandatory adalah sbb: (Yasman, 2012)
1. Voluntary :
a. Lulus
standar LEI : 6 IUPHHK-HA dan 3 IUPHHK-HT
b. Lulus standar FSC : 5 IUPHHK-HA (semuanya
termasuk dalam daftar yang lulus standar LEI).
c. Luas areal : + 1.702.722 ha (+
1.162.722 ha IUPHHK-HA dan + 540.000 ha IUPHHK-HT)
2. Mandatory :
a. Penilaian sampai tahun 2009 (sertifikat masih
berlaku) :82 IUPHHK-HA dengan luas areal 7.451.859 ha
b.
Penilaian pada tahun 2010 : 13
IUPHHK-HA dengan luas areal 1.436.275 ha
Total
(a + b) : 95 UM = 8.888.134 Ha
Dari
Luas hutan yang dikelola IUPHHK HA/HT maka yang sudah bersertifikasi kurang dari 30%nya.
Adapun perbedaan antara sertifikasi
yang bersifat mandatory dan voluntary adalah sebagai berikut: (Kusumawardhani
2008)
Tabel 1.
Perbedaan antara Mekanisme
Sertifkasi Voluntary dan Mandatory di Indonesia
Sertifikasi Voluntary
|
Sertifikasi Mandatory
|
Sebagai instrument pasar (market driven)
|
Sebagai instrument
kebijakan
|
Berdasarkan kriteria dan indikator yang
disepakati oleh stakeholder
|
Berdasarkan kriteria dan indikator yang
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
|
Dilaksanakan oleh
lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh pengembang system (LEI, FSC, KAN)
|
Dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi yang
diakreditasi oleh Menhut
|
Sebagai persyaratan perdagangan
|
Sebagai bahan pertimbangan perpanjangan
ijin dan status perijinan HPH/IUPHHK
|
Sangsi oleh pasar
yang mempersyaratkan sertifikasi
|
Sangsi diberikan berdasarkan peraturan per –
undang2 an
|
Biaya oleh obyek
sertifikasi IUPHHK
|
Biaya oleh pemerintah (pengembangan system
dan tahap awal penerapan, dan selanjutnya oleh HPH/IUPHHK)
|
Dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan perusahaan
|
Dilaksanakan setiap tiga tahun dan saat
perpanjangan ijin
|
SVLK (Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu) yang dikembangkan Pemerintah Indonesia bekerja sama
Dengan Uni Eropa sejak tahun 2006 untuk memerangi perdagangan kayu illegal
sampai saat ini belum ditandatangani
Uni Eropa.
Dalam
Pertemuan tingkat Menteri Anggota Forum
Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Peru, Agustus 2013, para delegasi
berharap Indonesia dan Uni Eropa menandatangani
perjanjian kemitraan sukarela (Voluntary Partnership Agreement / VPA) pada 20
september 2013. Pemerintah Indonesia terus mendorong investor kehutanan untuk
meningkatkan ekspor produk kehutanan lestari.
Investor kehutanan di Indonesia cukup memiliki sertifikat berbasis
sistem verifikasi legalitas kayu yang
wajib dan berstandar tingi (harian Kompas, 20 Agustus 2013).
Restorasi Ekosistem
Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik
(flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan
hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati (Peraturan Menteri
Kehutanan, No. P.18//Menhut- II/2004; Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004.)
Sebagai akibat adanya degradasi
hutan hujan tropika baik didaerah hulu dan hilir DAS maka areal hutan menjadi
tidak produktif baik ditinjau secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Areal
hutan primer berubah menjadi areal hutan bekas tebangan TPTI, areal hutan bekas kebakaran, areal hutan
bekas illegal logging dan areal hutan
bekas perladangan. Areal tersebut dapat dapat berupa hutan sekunder, semak
belukar dan padang alang-alang, yang terbentuk sesuai dengan tingkat
kekerasan dan atau frekuensi degradasi
dari vegetasi alam yang sebelumnya merupakan hutan primer. Pada areal tersebut
terjadi proses suksesi sekunder yang
menuju pada keseimbangan alam yang
dinamis (Hutan Klimaks) kalau tidak terdapat gangguan lagi. Vegetasi yang
terbentuk setelah degradasi hutan merupakan pencerminan dari keadaan habitat.
Pemilihan jenis pohon yang sesuai
dengan ekologi lahan-lahan yang terdegradasi
sangat dibutuhkan untuk keberhasilan restorasi ekosistem. Jenis asli
setempat adalah jenis yang terbaik untuk ditanam pada daerah yang bersangkutan,
bila jenis asli tidak sesuai dengan pengembangan ekonomi daerah yang
bersangkutan dapat didatangkan jenis exotik baik dari luar pulau atau luar
daerah yang secara ekologi sesuai dengan areal restorasi.
Pada Areal Hutan Primer dan Areal
Hutan Bekas Tebangan (Log Over Area), TPTI secara ekologis paling sesuai untuk
diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon
komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan produksi dan 60 cm
keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPI tersebar dalam bentuk
rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis pohon komersial
ditebang pada areal bekas tebangan. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk
menjamin kelestarian manfaat hutan baik langsung maupun manfaat tidak langsung
melalui rotasi tebang dan siklus hara.
Areal Hutan Bekas Tebangan diperlakukan sebagai suatu ekosistem hutan,
pada areal yang permudaan alamnya kurang (Nilai Frekuensi tingkat permudaan semai ≤ 40%) dilakukan penanaman pengayaan
(Enrichment Planting). Dan pada areal
yang permudaan alamnya cukup (Nilai Frekuensi Tingkat permudaan
semai ≥ 40%) dilakukan pembebasan tajuk
baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal. Penanaman pengayaan bercermin pada
jenis-jenis pohon yang ditebang dengan
menggunakan jenis pohon terpilih
dari famili Dipterocarpaceae (Shorea
spp, Dipterocaprus, spp, Dryobalanops spp, Hopea spp dan Vatica spp dsb.)
maupun jenis-jenis pohon non Dipterocarpaceae yang bersifat setengah toleran
(Scyphyt) yaitu pada waktu muda membutuhkan naungan dan setelah dewasa
membutuhkan sinar matahari penuh.
Pemilihan jenis pohon untuk penanaman pengayaan yang sesuai dengan
keadaan ekologis daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya
sangat berperan dalam keberhasilan tanaman pengayaan yang akan dilakukan.
Pada daerah – daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang
alang-alang dipilih jenis jenis pohon yang bersifat intoleran yang membutuhkan
cahaya matahari penuh ( Jenis pohon Heliophyt) seperti Jabon (Anthocephalus cadamba, Anthocephalus
chinensis), Macaranga spp, Trema spp, Sengon (Paraserianthes falcataria),
Acacia mangium, Eucalyptus spp, Tectona grandis dsb.
Sistem Silvikultur:
Peraturan pemerintah No. 21
tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan
dan Hak Pemungutan Hasil Hutan menyatakan bahwa untuk menjamin kelestarian
hutan alam di luar Jawa, eksploitasi hutan hanya dilakukan secara tebang pilih,
sedangkan permudaannya dapat dilakukan secara alam dan buatan.
Dengan beroperasinya
kegiatan HPH sejak tahun 1970 (terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan
dengan adanya kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan) juga timbul dampak induksi yang
bukan disebabkan karena aktivitas HPH berupa perambahan hutan oleh perladangan
liar, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Sehingga areal bekas penebangan
TPI/TPTI kondisinya ada yang telah rusak dan rawan terhadap perambahan terutama
pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daerah yang berpenduduk padat.
Pada areal-areal bekas
penebangan TPTI/TPI yang kondisinya telah rusak dan rawan terhadap perambahan
membutuhkan suatu sistim-sistem silvikultur tersendiri.
Manan (1993)
mendefinisikan sistim silvikultur sebagai suatu proses penggantian suatu tegakan
hutan, melalui permudaan/penanaman, pemeliharaan dan pemanenan untuk
menghasilkan produksi kayu atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu.
Termasuk kedalamnya rekayasa untuk mempengaruhi sifat dan susunan hutan baru
yang terjadi.
Sistem Silvikultur merupakan salah satu bagian penting
(sub sistem) dari sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), yang dapat
menjamin kelestarian produksi, ekologi dan dampak positif sosial ekonomi
termasuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas kawasan hutan.
(Indrawan, 2008).
Sistem silvikultur dan teknik
silvikultur yang diterapkan
dalam pengelolaan hutan alam produksi (IUPHHK HA) di Indonesia pada saat
ini adalah Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih
Tanam Jalur (TPTJ) dan Teknik
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII/ Silvikultur Intensif
(Silin).
Sistem silvikultur TPTI
sebaiknya diterapkan pada Hutan Poduksi Primer dan pada LOA (Log Over Area)
TPTI.
Sistem silvikultur TPTJ dan Teknik silvikultur Silin sebaiknya
diterapkan pada hutan sekunder bekas ilegal loging yang merupakan hutan yang tidak produktif..
Dan Sistem silvikultur THPB
sebaiknya diterapkan pada areal hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang
alang-alang.
Perkembangan Kebijakan Pengelolaan
Hutan di Indonesia
Pengusahaan hutan di Indonesia dimulai sejak tahun 1870.(Anonom,
1986). yang merupakan tebang pilih dan
kebanyakan dengan limit diameter yang digunakan 50-60 cm, tanpa adanya
perlakuan silvikultur (Mursaid dan Sudiarto, 1958)
Panitia Perancang Hutan Industri (PPHI) yang dibentuk
1953, menyarankan pengusahaan hutan alam
di luar Jawa dapat dilakukan penebangan secara selektif dengan sistem tebang pilih dengan permudaan
alam (PPHI, 1958)
Untuk menjaga kelestarian hutan alam produksi di luar
Jawa tebang pilih dapat dilakukan dengan
rotasi tebang 60 tahun (Direktorat
Pengusahaan Hutan, 1968).
Dalam rangka pelaksanaan UU No
5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan UU No 6 tahun 1968 tentang
Penanaman Modal dalam Negeri, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pemerintah no 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan.
Pada tahun 1970 dibentuk Tim
Penyusun Peraturan Eksploitasi Hutan dipimpin oleh Direktur Lembaga Penelitian
Hutan: Ir.R.Sudiarto Warsopranoto yang anggotanya terdiri dari Staf Peneliti
Lembaga Penelitian Hutan dan wakil-wakil dari Direktorar-Direktorat dalam
lingkup Direktorat Jenderal Kehutanan. Rapat memutuskan untuk menyusun tiga
sistem ekisploitasi hutan yaitu Tebang Pilih, Tebang Habis dengan Permudaan
Alam dan Tebang Habis dengan Penanaman. Kepada tiga (3) orang ditugaskan untuk
menyusun naskah peraturannya yaitu: (Surianegara 1992)
1. Ir.R.Sudiarto Warsopranoto;
Naskah Tebang Pilih.
2. Dr. Ir. Ishemat Surianegara;
Naskah Tebang Habis dengan Permudaan Alam.
3. Ir, Gadjali: Naskah Tebang Habis dengan Penanaman.
Naskah Tebang Pilih, paling
banyak dibahas karena sistem ini diutamakan dalam Peraturan Pemerintah PP No 21
Tahun 1970. PP No 21 Tahun 1970. mengenai
Sistem Silvikultur untuk untuk pengusahaan Hutan Alam di Indonesia.
Naskah-naskah dari
Tim Penyusun Peraturan Eksploitasi Hutan dikirimkan ke Direktorat
Jenderal Kehutanan. Pada tanggal 13
Maret 1972 keluar Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman Tebang
Pilih Indonesia , Tebang Habis dengan Penanaman , Tebang Habis dengan Permudaan
Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya (
Direktorat Jenderal Kehutanan , 1972 ) :
Surat Keputusan Dirjen
Kehutanan Nomor 35 Tahun 1972 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Jumlah
Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas
Diameter yang Boleh Ditebang Sesuai SK Dirjen Kehutanan No. 35/
Kpts / DD / I /1972.
Batas Diameter (cm)
|
Rotasi Tebang
(tahun)
|
Jumlah Pohon Inti
(batang)
|
Diameter Pohon Inti
(cm)
|
50
|
35
|
25
|
> 35
|
40
|
45
|
25
|
> 35
|
30
|
55
|
40
|
> 20
|
Keterangan :
Riap diameter 1 cm/tahun
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa bila batas diameter (limit diameter) yang dapat ditebang 50 cm keatas,
maka rotasi tebang yang digunakan 35 tahun dengan jumlah pohon inti yang ditinggalkan adalah 25 batang dengan
diameter pohon inti 35 cm keatas.
Alternatif kedua adalah batas diameter yang boleh ditebang
diturunkan menjadi 40 cm keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 45 tahun
dengan jumlah pohon inti yang harus
ditinggalkan adalah 25 batang per ha dari diameter 35 cm keatas.
Alternatif ketiga adalah batas diameter yang boleh ditebang
diturunkan menjadi 30 cm keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 55 tahun
dengan jumlah pohon inti yang harus
ditinggalkan adalah 40 batang per ha dari diameter 20 cm keatas.
1. Evaluasi dan Revisi Tebang Pilih Indonesia
Lokakarya
Tebang Pilih Indonesia di Yogyakarta.
23-24 Juni 1980 menyimpulkan saran-saran untuk penyempurnaan TPI yang
terpenting adalah diameter terendah Pohon Inti dapat
diturunkan sampai 20 cm karena riap pohon yang berdiameter 10 cm keatas lebih
dari 1 cm per tahun (Surianegara, 1992)
Pada saat pelaksanaan SK
Dirjen Nomor 35 diatas yang jadi permasalahan penerapannya pada hutan-hutan
tropika basah kita adalah bervariasinya hutan-hutan Alam sehingga terbentur
pada kurangnya jumlah pohon inti pada bagian-bagian tertentu pada
Hutan-hutan Alam Produksi di Indonesia.
Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi pada tahun 1980 mengadakan penyempurnaan Pedoman Tebang Pilih
Indonesia sebagai berikut.
Tabel 3. Jumlah Pohon Inti yang Harus
Ditinggalkan dan Batas Diameter yang
Boleh Ditebang (Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi Tahun 1980)
No
|
Batas Diameter Tebangan (cm)
|
Rotasi Tebang
(tahun)
|
Jumlah Pohon Inti
(batang)
|
Diameter Pohon Inti
(cm)
|
1.
|
Hutan alam campuran
|
|||
50
|
35
|
25
|
> 20
|
|
2.
|
Hutan Eboni Campuran
|
|||
50
|
45
|
16
|
> 20
|
|
3.
|
Hutan Ramin Campuran
|
|||
35
|
35
|
15
|
> 20
|
Pada Tabel penyempurnaan pedoman TPI diatas telah terlihat bahwa
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada saat itu mencoba untuk memecahkan
masalah kurangnya jumlah pohon inti
yang dapat ditinggalkan pada areal bekas tebangan pada hutan-hutan tropika
basah Indonesia yaitu dengan mengemukakan dua tipe vegetasi lainnya selain
hutan alam campuran yaitu hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Pada
hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm keatas dengan
jumlah pohon inti 25 batang per ha (tidak 40 batang per ha lagi seperti Tabel 1
sebelumnya).
Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun dan batas diameter yang boleh ditebang
adalah 50 cm keatas dengan riap diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun)
2. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Pada tanggal 18 September 1989
keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim
silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia,
Pada SK Menteri Nomor 485/1989
tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
SK Menteri Kehutanan No.
485/1989 melahirkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor
564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia
Tabel 4. Jumlah Pohon Inti yang Harus
Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang pada Pedoman Tebang Pilih
Tanam Indonesia (Direktur Jenderal
Pengusahaan Hutan, 1989)
No
|
Batas Diameter
Tebangan (cm)
|
Rotasi Tebang
(tahun)
|
Jml Pohon Inti
(batang/ha)
|
Diameter Pohon Inti
(cm)
|
|
1.
|
Hutan alam campuran
|
||||
50
|
35
|
25
|
KD 20 -
49 cm
KTD > 50
|
||
2.
|
Hutan rawa
Hutan ramin campuran bila diameter 50 cm keatas tidak cukup :
Khusus
jenis ramin
|
||||
35
|
35
|
25
|
> 15
|
||
Pada Tabel 3 diatas dapat
dilihat bahwa bila dibandingkan dengan Tabel 2 mengenai syarat-syarat
pelaksanaan TPI (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1980) untuk hutan
campuran syarat-syarat pelaksanaannya sama, hanya untuk pohon inti terdapat uraian yang lebih rinci dalam TPTI sebagai
berikut : bila jenis komersil ditebang (KD) yang berdiameter 20-49 cm kurang
dari 25 pohon/ha dapat diambilkan dari jenis komersial tidak ditebang (KTD)
yang berdiameter 50 cm keatas. Sedangkan untuk hutan rawa (hutan ramin
campuran) khusus untuk jenis ramin jumlah
pohon inti menjadi 25 pohon/ha yang harus ditinggalkan dan diameter pohon
inti diturunkan menjadi > 15 cm.
Dari urut-urutan perkembangan
diatas terlihat bahwa pemerintah kita c.q. Departemen Kehutanan telah berusaha
untuk melestarikan hutan tropika basah kita dengan makin sempurnanya Pedoman
Tebang Pilih Indonesia khususnya Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian
manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan tanah melalui
siklus hara. Rotasi Tebang pada TPTI 35 Tahun dengan asumsi riap diameter 1 (satu) cm/tahun.
Tebang Jalur Tanam Indonesia
Keputusan Direktur
Jenderal Pengusahaan hutan No. 40/KPTS/IV-BPHH/1993 tanggal 18 Maret 1993. Tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Coba
Tebang Jalur dan Tanam Indonesia (TJTI), sbb:
Sasaran lokasi sistem silvikultur tebang jalur diterapkan pada hutan bekas
penebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia yang kondisinya telah rusak, yang rawan
terhadap perambahan, yang tidak cocok untuk sistem THPB dan hutan primer yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan.
Definisi Sistem Silvikultur
Tebang Jalur adalah suatu sistem
silvikultur yang dilakukan dengan cara membuka areal selebar tertentu dalam bentuk jalur dengan menebang pohon yang
berdiameter 20 cm keatas sehingga sinar matahari dapat mencapai permukaan
tanah. Kelestarian produksi
hutannya didasarkan pada keberhasilan permudaan buatan atau alam.
1. Tebang Jalur dengan Permudaan Buatan:
a. Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500
ha dan minimum 100 ha, untuk hutan
bekas tebangan dan hutan primer.
b. Lebar jalur yang ditebang sebagai
perlakuan dalam percobaan tiga macam terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan
lebar jalur yang tidak ditebang 50 m, 100m dan 200 m. Arah jalur penebangan
Utara-Selatan.
c. Jenis pohon yang digunakan dalam penanaman
adalah jenis pohon meranti lokal bernilai tinggi yang sudah dikuasai teknologi
budidayanya dan benih tersedia, atau jenis non timber product misalnya
Tengkawang, Jelutung dan Damar mata kucing.
d. Larikan tanaman searah dilakukan pada
jalur tebang, larikan tanaman yang dibersihkan selebar 1 (satu) meter. Jarak
antara sumbu larikan dan sumbu larikan lain 5 m dan pada bagian yang akan
dibuat lubang tanam sepanjang larikan diberi tanda ajir. Jarak antar ajir 5m.
Dengan demikian akan diperoleh jarak tanam 5 x 5 m.
e. Penanaman dilakukan pada permulaan musim
hujan satu tahun setelah penebangan.
f. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
(ITSP) dilakukan 1 (satu) tahun sebelum penebangan.
g. Pengadaan bibit dilakukan satu tahun
sebelum penebangan.
h. Penyulaman Tanaman :
Dilakukan 2-3 bulan sesudah
penanaman, pada waktu musim hujan pada tahun
pertama dan kedua.
i. Pemeliharaan
2. Tebang Jalur dengan Permudaan Alam
a. Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum
500 ha dan minimum 100 ha, untuk hutan
bekas tebangan dan hutan primer.
b. Lebar jalur yang ditebang sebagai
perlakuan dalam percobaan tiga macam terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan
lebar jalur yang tidak ditebang 50 m, 100m dan 200 m. Arah jalur memotong arah
angin
c. Jenis permudaan alam yang dipelihara dalam
jalur bekas tebangan adalah permudaan
alam dari jenis Dipterocarpaceae lokal bernilai tinggi.
d. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP),
dilakukan satu tahun sebelum penebangan.
Tebang Jalur Tanam Indonesia baru taraf uji
Coba dan tidak dilanjutkan.
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998
tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur
dalam pengelolaan hutan produksi, sbb:
a. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah
sistem silvikultur dengan tebang
persiapan dengan menebang pohon
pada areal LOA TPTI, dan dilakukan dengan Tebang Pilih dengan Limit diameter 40 cm diikuti dengan pembuatan jalur
bersih (penjaluran), dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor 22
m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis2 pohon
komersial. Dengan jarak tanam 5 m. Sehingga jarak tanaman menjadi
5 x 25 m.
b. Pengadaan bibit dapat berasal dari biji/benih (biji dan
cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari
famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).
Urut-urutan
pemberlakukan dan pencabutan Kepmenhut dan
Permenhut Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam:
a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun.
625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih
dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi.
b. Sk
Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998, tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem
Silvikultur TPTJ kepada PT. Sari
Bumi Kusuma
- Sk Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999, tgl 18 Januari
1999. tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur
TPTJ kepada PT. Erna Juliawati
- Pencabutan TPTJ: Kepmenhut No.
10172/Kpts-II/2002 tentang
perubahan kepmenhutbun No.
309/kpts-II/1999.
- Peraturan
Menhut No. P 30/ Menhut II/2005: Kepmenhut No. 10172/KPTS-II/2002 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
f. Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 : Peraturan
Menhut No. P 30/Menhut II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi, yang berarti Kepmenhut No.
10172/KPTS-II/2002 akan berlaku lagi
yang sejalan dengan sub d. Bahwa TPTJ
telah dicabut
g.
Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 masih memberlakukan TPTJ sebagai salah
satu sistem silvikultur yang akan digunakan.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif dengan Teknik Silvikultur Silin
SK Dirjen
Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005, memutuskan pemegang IUPHHK pada hutan alam sebagai model
Sistem silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6 (enam)
IUPHHK yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim
(Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar); PT. Balikpapan Forest Industri dan
PT. Ikani (Kaltim).
Keputusan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10
April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan Silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII) yang meliputi
25 pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam terdiri dari
8 (delapan) IUPHHK di Kaltim, Kalteng 8 (delapan) IUPHHK, Kalbar 1
(Satu) IUPHHK Sumatera Barat 1 (satu)
IUPHHK, Riau 1 (satu) IUPHHK Papua 2 (dua) IUPHHK, Papua Barat 3 (tiga) IUPHHK dan Maluku utara 1(satu) IUPHHK.
Sistem
TPTII (Silin) adalah bukan merupakan regim atau sistem silvikultur, tetapi
merupakan teknik silvikultur yang
mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara
jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam
tegakan tinggal (Sukotjo, 2009).
Tebang
Pilih Indonesia Intensif (Silvikultur Intensif) dapat meningkatkan produksi
kayu hutan alam pada masa yad. Sebaiknya dilaksanakan pada areal hutan bekas
illegal loging dan pada hutan2
rawang pada areal IUPHHK baik di daerah Lowland maupun di daerah Upland.
Seperti yang dilakukan oleh IUPHHK PT. Ikani yaitu melaksanakan TPTI pada hutan
primer dan hasil log dari hutan primer disisihkan dan digunakan untuk
mensubsidi TPTII (Silin) yang dilaksanakan pada hutan rawang yang potensinya
kurang sbb: Tidak melakukan tebang
persiapan pada hutan rawang dan hanya melakukan Penanaman Pengayaan (Enrichment
Planting) dengan jenis2 unggulan pada jalur bersih (lebar 3 m) dan jarak antar
tanaman pada jalur bersih 2 1/2 meter, jalur kotor/jalur konservasi dibuat
dengan lebar 17 m. Sehingga jarak tanam
menjadi 2 1/2 x 20 m.
Pada hutan
alam primer dan areal hutan bekas tebangan (LOA) TPTI pada Hutan Produksi (HP) maupun Hutan
Produksi Terbatas (HPT) yang potensinya masih baik dan terletak di daerah hulu
sungai pada Ekosistem Daerah Aliran
Sungai, sebaiknya diterapkan sistem TPTI yang menebang pohon secara tebang
pilih dengan permudaan alam. Karena system TPTI yang paling cocok secara
ekologi, untuk mempertahankan fungsi hutan baik hidrologi, orologi dan
perlindungan alam lingkungan.
Kelemahan
sistem TPTII (Silin) pada saat ini yaitu dilaksanakan pada LOA areal bekas
tebangan TPTI dengan tidak memperhatikan rotasi tebang yang dipersyaratkan
dalam pedoman TPTI. Rotasi tebang dalam TPTI 35 tahun.
Kelebihan TPTII (Silin) yaitu Enrichment
Planting dengan jenis-jenis unggulan diwajibkan dilaksanakan segera setelah
dilaksanakan penebangan dengan tidak memperhatikan cukup tidaknya permudaan yaitu
pada LOA yang berumur 0 tahun (ET+0)
sehingga mudah dikontrol.
Sedangkan
pada TPTI enrichment planting dilaksanakan pada areal LOA yang berumur 3 tahun (ET+3) pada lokasi areal bekas tebangan dengan permudaan tingkat semai kurang ( Penyebaran
/Frekuensi < 40%). Tidak mudah dikontrol.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif dilakukan
melalui rekayasa genetis, rekayasa
lingkungan dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit (pest and desease)
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu Jenis hutan alam khususnya jenis2
pohon dari famili Dipterocarpaceae, pada masa yad
TPTII (Silin)
merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
dan Penanaman Pengayaan (Enrichment planting) dari sistem TPTI. Meliputi
penebangan persiapan pada seluruh Blok (petak2 tebang) sesuai RKT
Silin tahun berjalan, penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up. Pada LOA hasil dari tebang persiapan
dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 meter dan jalur kotor yang ditinggalkan
berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur
bersih dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting) dengan jenis2 unggulan dengan jarak tanam
21/2 m. Sehingga jarak tanam menjadi 21/2
x 20 m2.
Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae unggulan
(Jenis Target) yang disarankan dan dapat merupakan pilihan untuk ditanam pada
areal TPTII (Silin) adalah Jenis jenis
pohon hasil uji jenis.
Jenis-jenis
pohon hasil uji Jenis dengan teknik Silvikultur adalah sbb: Shorea
leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados,
S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Sukotjo,
Subiakto dan Warsito, 2005).
Daur
Ekonomis Jenis2 unggulan (jenis Target) adalah 30 tahun (rotasi
tebang yang digunakan 30 tahun).
Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada tanggal 18 September 1989
keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim
silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, dimana pengelolaan
Hutan Produksi di Indonesia dapat dilakukan dengan sistim silvikultur :
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan
(THPB)
Pada SK Menteri Nomor 485/1989
tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
keputusan ini.
Lokakarya Pembangunan Timber
Estate yang dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
dengan moto “Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan
Tanaman Industri” karena padanan bahasa Indonesia dari “Timber
Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan
menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya Pembangunan Timber
Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17
Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan
dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan.
Pembangunan HTI dimulai dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI).
Tujuan Pembangunan HTI dalam PP No. 6 Tahun 1999 adalah untuk
memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak, dan untuk memenuhi bahan baku
Industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan hutan
produksi yang kritis dan tidak produktif.
Dalam PP No. 34 Tahun 2002
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan,
dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa sasaran pembangunan hutan tanaman
adalah pada lahan kosong, padang alang-alang dan hutan rawang (potensi kurang
dari 20 m3)
Multisistem Silvikultur
Pengelolaan hutan sejak HPH
dan HP HTI beroperasi baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman
(HTI) sampai saat saat ini umumnya
dilakukan dengan satu sistem silvikultur.
Pengelolaan hutan dengan satu
sistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan, dimana
areal hutan produksi khususnya pada IUPHHK hutan alam telah terftragmentasi
menjadi berbagai tutupan lahan sesuai dengan tingkat degradasi Hutan yang terjadi, pada areal ini sangat
membutuhkan diterapkannya Multisistem silvikultur.
Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di
kawasan hutan mengacu pada Peraturan
Pemerintah No. 3/2008. Pasal 38 ayat 1 yang berbunyi pada hutan
produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana
dimaksud pada Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem
silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dengan lingkungannya
Didukung pula oleh Permenhut
Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam
Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi
mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka
dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur,
yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan
dengan lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009).
Peraturan Menhut No.
P11/Menhut II/ 2009. juga memuat dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri
lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan
karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya (Menimbang pada PP No.
6/2007: pasal 34 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (1) jo. PP No. 3/2008)
Dan kepmenhut No. P.40 tahun 2007 bahwa sistem
silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja.
Sistem silvikultur yang digunakan pada
suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi tapak habitat pada kawasan hutan di areal tersebut baik
pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini sejalan sejalan
dengan Pasal 42 ayat (1) UU 41 RI tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan
bahwa Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik. Yang
mengambarkan pemilihan jenis pohon
harus sesuai dengan keadaan habitat dan
ekologi jenis pohon terpilih.
Namun dalam
pelaksanaannya peraturan Menteri Kehutanan tersebut masih banyak mengalami
hambatan terutama pada tataran teknis,
manajemen, kelembagaan serta pedoman pelaksanaan di lapangan. Sementara tuntutan pengelola IUPHHK untuk
melaksanakan multisistem silvikultur demikian besar.
Pada saat
ini kebijakan dan regulasi Kemenhut belum mendukung untuk diterapkannya
Multisisistem Silvikultur. Sedangkan Malaysia menerapkan filosofi Multisistem
Silvikultur dengan penanaman dan pemilihan jenis pohon berdasarkan Site (Tapak)
yang mengacu pada sistem silvikultur yang digunakan baik di hutan primer maupun
areal hutan yang telah terdegradasi.
Hal tersebut mendasari
perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan
hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman
pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu ekonomis menguntungkan ekologis dapat dipertanggung jawabkan,
secara sosial kondusif dan tetap
realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan
sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan
adanya pengawasan di lapangan yang efektif. Disamping itu, berkaitan dengan perpanjangan IUPHHK, para pemegang ijin
tidak hanya memperhatikan areal yang memilki potensi kayu tetapi harus
mempertanggung jawabkan seluruh arealnya terasuk areal-areal dengan kategori
non hutan.
Multisistem Silvikultur adalah sistem
pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih Sistim Silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha
dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut
perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan
satu atau lebih sistem silvikultur
(Multisistem Silvikultur) pada suatu
areal IUPHHK.
Memperhatikan
hal tersebut di atas dan dalam kerangka meningkatkan produktivitas hutan
produksi di dalam areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK),
maka upaya untuk merancang ulang pengelolaan areal hutan melalui penerapan
multisistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik kawasan hutan setempat
perlu mendapat perhatian para rimbawan. Melalui strategi ini, diharapkan
potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan
ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara
lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam
telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Fragmentasi areal IUPHHK
hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui Multisistim Slvikultur untuk
mengembalikan fungsi hutan baik fungsi ekonomis
berupa kayu dan hasil hutan lainnya maupun fungsi ekologis berupa
hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan serta fungsi sosial dan
budaya masyarakat disekitar hutan.
Sistem
silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem silvikultur pada areal
hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTII/Silin, THPB
dan THPB pola Agroforestry:
Berdasarkan simulasi dapat dibuktikan bahwa
penggunaan 3 sistem silvikultur TPTI, TPTII dan THPB dalam satu ijin kelola
IUPHHK akan menghasilkan/ nilai manfaat yang lebh tinggi dibandingkan
alternatif yang menggunakan penggunaan 2 sistem silvikultur dan bahkan jauh
lebih besar dibandingkan dengan penggunaan 1 sistem silvikultur tunggal. Berdasarkan
simulasi model, diantaranya dapat dibuktikan bahwa menggunakan 3 sistem
silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB) memberikan proyeksi total produksi 378%
lebih besar dibandingkan menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII). Selanjutnya campuran 3 sistem ini dapat
menyerap 257% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang lebih besar daripada
menggunakan campuran 2 sistem (TPTI dan TPTII). (Suryanto, 2009)
Penutup
Pada areal hutan primer dan LOA TPI/ TPTI sebaiknya diterapkan sistem
silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Sistem TPTJ dan atau Teknik
Silvikultur Silin (TPTII) sebaiknya diterapkan pada hutan sekunder yang
potensinya kurang yaitu areal hutan rawang bekas Ilegal Logging dan hutan-hutan
bekas kebakaran.
Adapun Areal yang penutupan
vegetasinya berupa tanah kosong semak
belukar dan alang-alang sebaiknya diterapkan sistem THPB dan atau THPB pola
Agroforestry, bila jenis-jenis asli intoleran (Jenis Cahaya dan Cepat Tumbuh)
tidak sesuai dengan pola perencanaan
industri daerah ybs. Dapat digunakan jenis komersial exotik cepat tumbuh berupa
jenis-jenis pohon Intoleran..
Dengan terfragmentasinya hutan
produksi pada IUPHHK maka untuk mempertahankan kawasan hutan dan menyelamatkan
areal hutan produksi sangat dibutuhkan
adanya Implementasi Multisistem
Silvikultur pada areal IUPHHK, MSS
dapat meningkatkan produksi kayu,
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mempertahankan kawasan hutan produksi.
Sampai saat ini kebijakan dan
regulasi Kementerian Kehutanan belum mendukung untuk diterapkannya Multisistem
Silvikultur. Penerapan Multisistem Silvikultur (MSS) membutuhkan payung hukum berupa Keputusan
Menteri Kehutanan tentang Penerapan
Multisistem Silvikultur pada Kawasan Hutan Produksi dan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan
IUPHHK Multisistem Silvikultur.
Pada saat ini pengelolaan hutan produksi di
Indonesia dibawah Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang membawahi
Direktorat Bina Usaha Hutan Alam (yang membina IUPHHK HA) dan Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman (yang
membina IUPHHK Hutan Tanaman/HTI). Untuk tidak mengalami hambatan birokrasi
dalam penerapan multisistem silvikultur sebaiknya dibentuk Direktorat Bina Usaha Hutan Produksi yang meliputi
Bina Usaha Hutan Alam dan Bina Usaha Hutan Tanaman.
Penanaman jenis pohon
berdasarkan Site (Tempat tumbuh) dengan sistem sivikultur yang dibutuhkan
sesuai dengan ekologi jenis pohon
merupakan keharusan. Keputusan
pemilihan jenis pohon sebaiknya diserahkan pada perusahaan pemegang hak (IUPHHK
Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman) dan tanaman yang ditanam dalam pembangunan IUPHHK Multisistem Silvikultur
menjadi asset perusahaan agar Implementasi Multisistem Silvikultur menarik
bagi para pengusaha.
Dengan
diterapkannya Multisistem Silvikultur,
produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan
ditingkatkan, Ekonomi menguntungkan,
Ekologi dan Lingkungan Hidup dapat
dipertanggung jawabkan dan kepastian
kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat
memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan membuka peluang
investasi dan berperan aktif dalam kegiatan
revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.
Daftar Pustaka
Anonim, 1986.
Sejarah Kehutanan Indonesia. Jilid I. Departemen Kehutanan,
Departemen Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK
159/Menhut-II/2004. tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Dephut.
Jakarta.
Departemen Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004.
tentang Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Dephut.
Jakarta.
Direktoraat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release
Kehutanan. Triwulan II. Juli 2009. Forest
Watch Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW) 2002 The state of the forest: Indonesia .
FWI/GFW, Bogor and Washington , DC .
Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia
Tahun 2008. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Badan Planologi Kehutanan,
Departemen Kehutanan .
Direktorat Pengusahaan Hutan, 1968.
Garis Kebijaksanaan Direktorat Jenderal Kehutanan Tentang Pengusahaan Hutan dan
Perdagangan Hasil Hutan. Rapat Kerja Kehutanan JAINTIM Tretes. November,
1968.
Indrawan,
A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding
Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan
Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan
Hutan. Kerjasama antara Fakultas
Kehutanan Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
Yasman, I. 2012. Aspek Kebijakan dan Regulasi dalam Pengurusan
Pengelolaan Hutan Alam Produksi (Dalam Perspektif Pengusahaan Hutan) Workshop/Seminar
“Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi : Tinjauan Aspek Teknis
Silvikuktur, Sosial-Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan” Samarinda, 13 November 2012
Kusumawardhani, L. 2008. Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL). Makalah yang disampaikan pada Workshop
“Sosialisasi Sistem Pemantauan Internal Kinerja PHAPL”, Hotel Twin Plaza,
Jakarta (26 Agustus 2008) dan Hotel Via Renata, Cimacan, Jawa Barat (27-28
Agustus 2008), IITO PD 389/05 Rev.2 (F).
Manan,
S. 1993. Hasil-hasil Komisi Pembinaan HPH – APHI.
Moersaid, K and R. Soediarto. 1958.
Silvicultural Aspect of The Tropical Rain Forest in Indonesia . Proceeding Simposium on
Humid Tropics Vegetation. Ciawi, December 1958. 285-294. Unesco Science
Cooperation Office for Southeast Asia, Jakarta .
PPHI,
1958, Hutan Industri. Jawatan Kehutanan. Jakarta.
Setyawati, S. 2012. Rekonstruksi Pengelolaan
Hutan Alam Produksi: Tinjauan dari Aspek Ekologi. Workshop/Seminar “Rekonstruksi Pengelolaan
Hutan Alam Produksi : Tinjauan Aspek Teknis Silvikuktur, Sosial-Ekonomi,
Ekologi dan Kebijakan” Samarinda, 13
November 2012
Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito 2005. Project Completion Report ITTO.
PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Soerianegara, 1992. Sejarah, Pelaksanaan dan Pengembangan Tebang Pilih
Indonesia (TPI). Prosiding Seminar
Nasional status silvikultur di Indonesia Saat ini.
Suryanto, 2009. Model dan Simulasi dalam Pengambilan Keputusan Sistem
Silvikultur dan Aspek Kebijakannya. Paper dibawakan pada Seminar Gelar Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
19 Nov 2009.
0 comments:
Post a Comment