KONDISI
SAAT INI DAN MASA DEPAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA[1])
Oleh :
Prof. Dr.
Ir. Andry Indrawan[2])
Pendahuluan
Indonesia merupakan
negara yang memiliki areal hutan tropis yang luas, kaya akan berbagai jenis
hidupan liar dan berbagai ekosistem, yang perlu dijaga dan dilestarikan
keberadaannya. Upaya-upaya untuk
menjaga dan melestarikan hutan sudah sering dilakukan tetapi keadaan hutan di Indonesia
semakin hancur karena prinsip membangun hutan yang berkelanjutan (Sustainable Forest Management) cenderung
diabaikan. Pola pembangunan dan pemanfaatan hutan hanya berorientasi kepada
pembalakan (timber oriented) tanpa
memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai lingkungan/ekologi, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat setempat, Hal Ini
mengakibatkan terjadinya eksploitasi hutan secara berlebihan, sehingga
potensi sumberdaya alam lainnya seperti hasil hutan non kayu (flora dan fauna)
menjadi rusak dan hilang tanpa memberikan hasil yang optimal.
Hutan tropis Indonesia telah memberikan posisi
penting dalam kaitannya sebagai paru-paru dunia dan penangkal pemanasan global
sebagai akibat efek dari rumah kaca. Dari segi keanekaragaman hayati, Indonesia
selain dikenal sebagai negara mega-biodiversity,
juga dikenal sebagai salah satu negara dengan laju pengurangan luas hutan alam
yang terbesar di dunia. (Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, 2001).
Berdasarkan hasil penelitian IPB (1999) dalam
Departemen Kehutanan (2001), nilai guna hutan, berupa nilai langsung (kayu, non
kayu) hanya mencapai 4,5% sedangkan sisanya merupakan nilai keberadaan
(habitat, flora, fauna, penyangga kehidupan). Hal ini berarti pemanfaatan
kawasan hutan produksi selama lebih dari 32 tahun hanya menghasilkan nilai guna
hutan maksimum 4,5% dan telah menghilangkan manfaat lainnya sebesar 95%.
Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan telah
memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa
depan manusia. Fungsi-fungsi lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung
kehidupan manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan fauna yang
membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan
hilang. Disadari bahwa suatu ketika, sumberdaya alam yang tersebar diseluruh
wilayah Indonesia
akan habis dan punah apabila pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan
berkelanjutan, yang tidak memperhatikan kelestarian fungsi produksi, fungsi
ekologi/lingkungan dan fungsi sosial, ekonomi dan budaya.
Penyebaran dan Kekayaan
Jenis (Species Richness)
Letak geografis Indonesia yang berada
diantara dua benua Asia dan Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan
adanya zone vegetasi dan type-type hutan. (Surianegara dan Indrawan, 2013)
Zone-zone
vegetasi hutan terdiri dari :
a. Zone barat
yang berada di bawah pengaruh vegetasi Asia meliputi pulau-pulau Sumatera dan
sebagian Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku
Dipterocapaceae
b. Zone timur
berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau-pulau Maluku, Nusa
Tenggara dan Irian jaya. Jenis
dominan adalah dari Suku Araucariaceae dan Myrtaceae.
c. Zone
peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu pulau-pulau
Jawa dan Sulawesi , terdapat jenis dari Suku
Araucariaceae, Myrtaceae, dan Verbenaceae. Sekalipun dapat diadakan pemisahan
demikian tidaklah berarti bahwa batas tersebut merupakan garis yang tegas dari
penyebaran vegetasi.
Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah
tropika mempunyai formasi hutan yang kaya akan jenis-jenis pohon yang
tersebar pada berbagai tipe ekosistem
alam seperti Ekosistem yang terbentuk
karena iklim yaitu: Ekosistem Hutan
Hujan Tropika, Ekosistem Hutan Musim dan Savana dan Ekosistem yang terbentuk
karena tanah dan air tanah: Ekosistem Hutan Payau, Ekosistem Hutan Rawa,
Ekosistem Hutan Gambut, Ekosistem Hutan Kerangas dan Ekosistem Hutan Pantai.
Menurut Perkiraan di Indonesia
terdapat sekitar 4000 jenis kayu. Perkiraan ini didasarkan kepada
material herbarium yang sudah dikumpulkan oleh Balai Penelitian Hutan dari
berbagai wilayah hutan di Indonesia yang jumlahnya sudah mendekati 4.000 jenis
pohon dengan diameter 40 cm ke atas. Dari jumlah tersebut oleh Balai Penelitian
Hasil Hutan sampai sekarang sudah berhasil dikumpulkan contoh kayu sebanyak
3.233 jenis yang terdiri dari 33.706 contoh autentik, meliputi 106 famili dan
785 genus. (Martawijaya
et al, 2005).
Dari 4.000 jenis kayu tersebut di atas diperkirakan 400 jenis di
antaranya dapat dianggap penting untuk Indonesia, karena merupakan jenis yang
sekarang sudah dimanfaatkan atau karena secara alami terdapat dalam jumlah
besar dan karena itu mempunyai potensi untuk memegang peranan di masa yang akan
datang (Anonymus, 1952 dalam Martawijaya et al, 2005 ).
Dari jumlah 400 jenis yang dapat dianggap penting itu
hanya sebagian saja yang sudah diketahui sifat dan kegunaannya, 259 jenis di
antaranya sudah dikenal dalam perdagangan dan dapat dikelompokkan menjadi 120
jenis kayu perdagangan. Dalam risalah ini baru dapat disajikan data mengenai 30
jenis kayu perdagangan yang meliputi 134 jenis botanis. ( Martawijaya et al, 2005).
Potensi
Hutan
Data mengenai penyebaran potensi
hutan di Indonesia masih bersifat sementara, karena belum ada inventarisasi
secara menyeluruh. Di bawah ini dikemukakan data yang belum lengkap mengenai
penyebaran potensi beberapa jenis kayu utama yang dinyatakan dalam m3
per ha: (Martawijaya et al, 2005).
Sumatera
Famili
Dipterocarpaceae dengan dominasi genus Shorea, Hopea, Anisoptera, Vatica dan Dipterocarpus
dengan massa
kayu yang berkisar antara 40 – 100 m3 per ha tersebar di seluruh
Sumatera.
Jenis
Tusam yang secara alami merupakan hutan murni terdapat di daerah Aceh dan
Sumatera Utara dengan massa
kayu sekitar 100 m3 per ha untuk pohon yang berdiameter 35 cm ke
atas.
Jenis
Bakau yang terdapat di sepanjang pantai timur, terutama di daerah Riau,
mempunyai massa kayu sekitar 60 m3
per ha (volume kayu tebal), sedangkan jenis ulin terdapat sporadis di daerah Palembang dan Jambi dengan massa kayu antara 30 – 60 m3 per
ha.
Kalimantan
Famili
Dipterocarpaceae dengan susunan genus
seperti di Sumatera (Shorea, Hopea, Anisoptera, Vatica dan Dipterocarpus) terdapat di daerah
Kalimantan bagian timur dengan massa kayu antara
45 -160 m3 per ha, sedangkan di bagian tengah dan barat terdapat massa kayu yang lebih
rendah, yaitu antara 30 – 100 m3 per ha.
Jenis Ramin terdapat banyak di daerah Kalimantan bagian barat
dan tengah dalam hutan rawa gambut bercampur dengan jenis-jenis kayu genus Dyera, Palaquium serta famili Dipterocarpaceae
dengan massa
kayu yang sangat bervariasi antara 60 – 100 m3 per ha.
Jenis Ulin tersebar di Kalimantan bagian selatan dan timur
dengan massa kayu antara 30 – 60 m3 per
ha, sedangkan jenis Agatis hidup berkelompok pada tanah yang mengandung pasir
kuarsa dengan massa
kayu antara 10 – 150 m3 per ha.
Jenis Bakau tersebar di sepanjang pantai timur Kalimantan dan
sebagian di pantai barat dengan massa
kayu sekitar 70 m3 per ha (10 cm ke atas).
Sulawesi
Famili
Dipterocarpaceae yang terbanyak
terdapat di daerah Sulawesi adalah genus Hopea
dan Vatica dengan massa kayu antara 30 - 45 m3 per
ha. Genus ini terdapat sporadis di daerah Sulawesi
bagian tengah dan utara.
Jenis
Merbau terutama terdapat di bagian tengah bercampur dengan jenis Pulai dengan massa kayu antara 40 – 75
m3 per ha.
Jenis
Eboni terutama terdapat di sekitar teluk Tomini dan Sulawesi
bagian tengah, hidup bercampur dengan jenis-jenis genus Santiria, Madhuca dan Hopea.
Jenis Agathis terdapat di Sulawesi
bagian utara, tengah dan tenggara dengan massa kayu sekitar 100 m3 per
ha.
Maluku
Famili Dipterocarpaceae yang banyak terdapat adalah jenis Shorea selanica dan genus Vatica di Pulau Seram, Buru, Obi, Sula
dan Halmahera dengan massa kayu sekitar 120 m3 per ha, sedangkan
jenis-jenis kayu genus Canarium dan Eucalyptus terdapat di Halmahera dan
Seram.
Irian Jaya
Famili
Dipterocarpaceae yang banyak terdapat
di daerah ini adalah genus Vatica
yang bercampur dengan genus Pometia, Intsia dan Eugenia dengan massa
kayu masing-masing sekitar 60 m3 per ha.
Jenis
Agatis terdapat secara berkelompok dalam tegakan campuran bermassa kayu sekitar
60 m3 per ha.
Jenis
bakau terdapat di beberapa tempat sepanjang pantai barat dengan massa kayu sekitar 60 m3
per ha.
Nusa Tenggara
Jenis
Duabanga moluccana terdapat di Pulau Sumbawa dan mempunyai potensi tinggi di
daerah ini dengan massa
kayu sekitar 118 m3 per ha.
Jawa dan Bali
Hutan
produksi di Jawa dan Bali pada umumnya merupakan hutan buatan yang berpotensi
cukup tinggi, antara lain terdiri dari hutan Jati seluas ± 760.000 ha, Tusam dan Agathis dengan jumlah luas ± 145.000 ha dan hutan rimba dengan jenis Rasamala dan
lain-lain seluas sekitar 85.000 ha.
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Indonesia dan Tebang
Pilih Tanam Indonesia.
Sistem Silvikultur dan Teknik
silvikultur
Sistem silvikultur dan teknik silvikultur
yang telah diterapkan dalam pengelolaan hutan alam produksi (IUPHHK
HA) di Indonesia pada saat ini adalah Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif TPTII / Silvikultur Intensif (Silin).
Sedangkan sistem silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan tanaman pada saat ini
digunakan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
1. Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam
produksi di Indonesia
Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut
dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor
35/Kpts/Dj/I/1972 tentang Pedoman Tebang
Pilih Indonesia, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
keputusan ini.
SK Menteri Kehutanan No. 485/1989 melahirkan Keputusan Direktur Jenderal
Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia
Pada Areal Hutan Bekas Tebangan, TPTI secara ekologis paling sesuai
untuk diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis2
pohon masak tebang komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan
produksi dan 60 cm keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPTI
tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan
pohon masak tebang pada areal bekas
tebangan.
Dari hasil laporan pengumpulan data/informasi pelaksanaan TPI, 1987
pada beberapa HPH (Riau : PT. Silvasaki, Jambi: PT. Hatma Santi, Kalbar: PT.
Kayu Lapis Indonesia, Kalsel: PT. Inhutani II dan PT. Hutan Kintap,
Kaltim: PT. Inhutani I, PT. ITCI dan PT. BFI) yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada dan Fakultas Kehutanan IPB dimana penulis termasuk dalam
Tim IPB sebagai bahan untuk Tim Materi Diskusi Penyempurnaan Pedoman TPI, yang
dipimpin Komar Sumarna, MS. (yang waktu itu Direktur Pelestarian Alam, Dirjen
PHPA, Dephut). Pada areal HPH tersebut, pada hutan2 bekas
tebangan jumlah pohon inti per ha dari diameter 20 cm keatas cukup yaitu
lebih besar dari 25 pohon per ha demikian pula
tingkat permudaan, tiang, pancang
dan semai cukup.
Hasil penelitian yang dilakukan
penulis pada areal bekas tebangan di areal
IUPHHK di Sumatra: PH PT. Hugurya/Aceh, HPH PT. Pertisa /Riau.
Kalimantan : HPH PT. INHUTANI II/ Pulau Laut (Kalsel), dan HPH. PT. Ratah
Timber/Kaltim pada areal LOA terdapat kerapatan pohon inti (pohon yang akan
membentuk tegakan utama yang akan ditebang
pada rotasi tebang berikutnya) cukup dan tingkat permudaan semai,
pancang dan tiang dari jenis komersial yang cukup, baik kerapatan (jumlah
pohon/ha) maupun penyebaran (frekuensi) nya.
Dari uraian diatas dari Jumlah pohun inti/ha dan permudaan dari jenis
komersial yang cukup berarti kelestarian hasil hutan pada rotasi ke 2 (dua),
dst akan terjamin.
Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian
ekosistem hutan alam dan kelestarian hasil dengan manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang.
Rotasi Tebang pada TPTI 35 Tahun dengan asumsi riap diameter 1 (satu) cm/tahun
Namun demikian perlu pula mendapatkan perhatian bahwa penelitian sistem
pengelolaan hutan dengan sistem TPTI, dengan simulasi data pada pengukuran plot
permanen secara time series 10 tahun
dengan menggunakan Software Dynamic Simulation Powersim 1.03 ALFA (Indrawan, 2003) sbb:
Respons Sistem Pengelolaan
Areal Hak Pengusahaan Hutan Dengan Sistim TPI dan TPTI, adalah sebagai berikut
(Indrawan, 2003)
Sistim pengelolaan areal HPH, dengan sistim TPI
dan sistem TPTI yang dilakukan oleh HPH pada sebagian besar areal hutan setelah
tebangan adalah sistim tebang pilih dengan limit diameter. Pada hutan produksi
ditebang jenis-jenis pohon komersial dengan batas diameter tebangan adalah ³ 50 cm dan pada hutan produksi terbatas ditebang
pohon-pohon dengan limit diameter ³
60 cm dengan rotasi tebang 35 tahun.
Pengelola HPH membiarkan hutan setelah tebangan
(logged over area) apa adanya, proses rehabilitasinya diserahkan pada alam,
yang berarti proses suksesi sekunder berjalan pada areal hutan setelah
tebangan.
Sistim penebangan menghasilkan tegakan hutan
bekas tebangan dengan komposisi dan sruktur hutan bekas tebangan yang tertentu
bentuknya dan tidak seragam pada areal HPH, tergantung dari struktur dan
komposisi hutan sebelum ditebang (Hutan Primer).
Struktur dan komposisi hutan primer akan
menentukan tingkat kekerasan pemanenan
hutannya. Makin tinggi tingkat kerapatan jenis-jenis pohon masak tebang
dari jenis komersial ditebang (KD) maka makin tinggi dampak kerusakannya.
Dampak kerusakan pada areal hutan bekas tebangan akan
berpengaruh pada:
a. Ketersediaan pohon inti dan permudaannya.
b. Ketersediaan hara tanah hutan.
c.
Komponen
lingkungan lainnya seperti iklim mikro
yang meliputi temperature dan
kelembaban udara.
Berdasarkan
model yang telah dibuat, maka dilakukan simulasi terhadap parameter-parameter
model dalam jangka waktu dua kali rotasi tebang (70 tahun) menurut yang ditetapkan oleh TPI
maupun TPTI, pada plot permanen areal hutan bekas tebangan HPH. PT. INHUTANI
II. Simulasi dilakukan dengan menggunakan riap diameter rata2 hasil
penelitian pada plot permanent selama sepuluh tahun dengan riap diameter rata-rata tingkat pohon
(diameter 20-50 cm) = 1,22 cm/tahun dan
riap diameter rata-rata tingkat tiang (diameter 10-20 cm) = 1, 1147 cm/tahun.
Pada
gambar 1. dapat dilihat respons simulasi pada pohon masak tebang dari jenis
pohon komersial ditebang, dimana respons
simulasi rotasi tebang I sebesar ± 24 tahun setelah penebangan I dan
rotasi tebang II ± 37
tahun, setelah penebangan II Hal ini
berarti rotasi tebang tidak selalu sama dan akan berubah mengikuti komposisi dan struktur hutan yang terbentuk setelah penebangan dan perkembangan
pertumbuhannya menurut waktu.
Rotasi
tebang I, II, dst menurut ketentuan TPI
maupun TPTI adalah 35 tahun dengan asumsi riap diameter 1 cm per tahun (Ditrjen Kehutanan 1972, Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi, 1980; Ditjen Pengusahaan Hutan, 1989).
Penebangan
dengan sistim TPI maupun sistim TPTI diperbolehkan menebang jenis komersial
ditebang dengan limit diameter 50 cm pada hutan produksi dengan meninggalkan
pohon inti 25 pohon/ha (diameter 20 – 49cm) dari jenis komersial ditebang.
Gambar: 1. Respons Perkembangan Kerapatan Pohon Masak
Tebang terhadap Penebangan Jenis Pohon Komersial Ditebang pada Areal HPH PT.
INHUTANI II.
Simulasi
telah memperhitungkan intensitas tebangan yaitu merupakan perkalian antara %
tebangan dengan kerapatan layak tebang, setelah penebangan I pada areal tegakan
sisa terdapat ± 7 pohon masak tebang/ha, setelah penebangan II
(Rotasi tebang ke II) pada areal tegakan
sisa terdapat 1 pohon masak tebang per ha dan setelah penebangan ke III (rotasi
tebang ke II) pada areal tegakan sisa tidak terdapat pohon masak tebang. Pengaruh penebangan pada rotasi tebang I dan
II, juga bepengaruh pada perkembangan tingkat pohon dan permudaannya, respons
pada kerapatan tingkat semai dapat dilihat pada gambar 2.
Pada gambar 3. dan gambar 4. berikut ini dapat dilihat
pengaruh penebangan pada rotasi tebang I dan II terhadap perkembangan kerapatan
tingkat pancang dan tiang :
Gambar: 3. Respons Perkembangan Kerapatan Tingkat
Pancang terhadap Penebangan Jenis Pohon Komersial Ditebang pada Areal HPH PT.
INHUTANI II.
Gambar: 4. Respons Perkembangan Kerapatan Tingkat Tiang terhadap Penebangan
Jenis Pohon Komersial Ditebang pada Areal HPH PT. INHUTANI II.
Sedangkan respons perkembangan kerapatan tingkat pohon dapat dilihat pada gambar 5. berikut ini :
Sedangkan respons perkembangan kerapatan tingkat pohon dapat dilihat pada gambar 5. berikut ini :
Gambar: 5. Respons Perkembangan
Kerapatan Tingkat Pohon terhadap Penebangan Jenis Pohon Komersial Ditebang pada
Areal HPH PT. INHUTANI II.
Pada gambar 1, 2, 3, 4, dan 5 dapat dilihat bahwa penebangan
akan berpengaruh pada perkembangan kerapatan tingkat pohon dan permudaannya,
pada saat penebangan I kerapatan pohon dan permudaan menurun yang kemudian
kerapatan akan pulih pada rotasi tebang I (± 24 tahun) untuk dapat
ditebang pada penebangan II, pada waktu penebangan II kerapatan pohon dan
permudaan menurun, yang kemudian kerapatan pohon dan permudaan akan pulih
kembali pada waktu rotasi tebang II (± 37 tahun) untuk kemudian
diadakan penebangan III, dst.
Penebangan juga berpengaruh terhadap akumulasi hara dalam
serasah (kg/ha) dan kandungan hara dalam tanah (kg/ha), seperti dapat dilihat
pada gambar 6. dan gambar 7.
Akumulasi hara dalam serasah dan kandungan hara tanah naik
turunnya juga dipengaruhi oleh penebangan dan pemulihannya dipengaruhi oleh
waktu, dari penebangan I sampai rotasi
tebang I (± 24 tahun) dan dari penebangan
II sampai rotasi tebang II (± 37
tahun), respons simulasi untuk akumulasi hara dalam serasah dapat dilihat pada
gambar 6. dan kandungan hara tanah dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar: 6. Respons Akumulasi Hara dalam Serasah (Kg/Ha) terhadap Penebangan
Jenis Pohon Komersial Ditebang pada Areal HPH PT. INHUTANI II.
Gambar: 7. Respons
Kandungan Hara Tanah (Kg/Ha) terhadap Penebangan Jenis Pohon Komersial Ditebang
pada Areal HPH PT. INHUTANI II
Hasil penelitian dengan plot permanent, pada LOA (Log Over Area)
menunjukkan bahwa system pengelolaan dengan TPI dan TPTI yang dilaksanakan pada
HPH PT. Inhutani II Pulau Laut Kalsel. Respons simulasi dengan ekstrapolasi 70
tahun menunjukkan bahwa rotasi tebang tidak selalu sama dan makin melebar
sesuai dengan perubahan waktu. Pada HPH PT Inhutani II dari penebangan 1 sampai rotasi
tebang I untuk pulih dan dapat
ditebang kembali membutuhkan waktu ±
24 tahun dan dari
penebangan 2 sampai rotasi tebang II untuk pulih dan dapat ditebang kembali
membutuhkan waktu ± 37 tahun
dst. Pada rotasi tebang berikutnya
siklus tebang akan makin melebar.
Verifikasi model Simulasi HPH PT. INHUTANI
II, pada HPH PT. RATAH TIMBER CO. menghasilkan
respon simulasi penebangan 1 sampai rotasi tebang I untuk pulih dan dapat ditebang kembali
membutuhkan waktu ± 30 tahun
dan dari penebangan 2 sampai rotasi
tebang II untuk pulih dan dapat ditebang kembali membutuhkan waktu ± 43 tahun
dst. Pada rotasi tebang berikutnya siklus tebang akan makin melebar.
Karena Penambahan unsur Hara di hutan hanya tergantung dari Curah Hujan
, Kotoran satwa liar dan dari bahan induk tetapi kecil sekali. ( Dalam TPTI
Rotasi Tebang ditetapkan 35 tahun dengan
asumsi pertumbuhan diameter pohon jenis komersial ditebang 1 cm/tahun).
2. Tebang
Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
Urut-urutan pemberlakukan dan pencabutan Kepmenhut dan Permenhut Sistem silvikultur TPTJ diatur
dalam:
a. Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10
September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam
pengelolaan hutan produksi.
b. Sk
Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998, tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem
Silvikultur TPTJ kepada PT. Sari Bumi Kusuma.
c. Sk Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999, tgl 18
Januari 1999. tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur
TPTJ kepada PT. Erna Juliawati.
d. Pencabutan TPTJ: Kepmenhut No.
10172/Kpts-II/2002 tentang perubahan
kepmenhutbun No. 309/kpts-II/1999.
e. Peraturan Menhut No. P 30/Menhut II/2005: Kepmenhut
No. 10172/KPTS-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi.
f. Peraturan
Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 : Peraturan Menhut No. P 30/Menhut
II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi,
yang berarti Kepmenhut No. 10172/KPTS-II/2002 akan berlaku lagi yang sejalan dengan sub d. Bahwa TPTJ telah
dicabut
Sistem
silvikultur TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS
II/1997 dan SK. Menhutbun.
625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih
dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi, sbb:
a.
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah
sistem silvikultur dengan tebang
persiapan dengan menebang pohon
pada areal LOA TPTI, dan dilakukan dengan Tebang Pilih dengan Limit diameter 40 cm diikuti dengan pembuatan jalur
bersih (penjaluran), dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor 22
m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis2 pohon
komersial. Dengan jarak tanam 5 m. Sehingga jarak tanaman menjadi
5 x 25 m.
b.
Pengadaan bibit dapat berasal dari biji/benih (biji dan
cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari
famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).
2.1. Teknik Silvikultur Intensif (Silin)/TPTI Intensif
SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005
tanggal 3 Mei 2005, memutuskan
pemegang IUPHHK pada hutan alam sebagai model Sistem silvikultur TPTII
(Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6 (enam) IUPHHK yaitu PT Sari Bumi
Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim (Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur
(Kalbar); PT. Balikpapan Forest Industri dan PT. Ikani (Kaltim).
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-BPHA/2007
tanggal 10 April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan Silvikultur Tebang Pilih
Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang
meliputi 25 pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam terdiri dari
8 (delapan) IUPHHK di Kaltim, Kalteng 8 (delapan) IUPHHK, Kalbar 1
(Satu) IUPHHK Sumatera Barat 1 (satu)
IUPHHK, Riau 1 (satu) IUPHHK Papua 2 (dua) IUPHHK, Papua Barat 3 (tiga) IUPHHK dan Maluku Utara 1 (satu) IUPHHK.
TPTII (Silin), dilakukan melalui
rekayasa genetis, rekayasa lingkungan
dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit (pest and desease)
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu jenis komersial pada masa yad, dari
hutan alam khususnya jenis2 pohon dari famili Dipterocarpaceae.
TPTII (Silin) merupakan teknik silvikultur
yang merupakan pengembangan dari sistem
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (Enrichment planting)
dari sistem TPTI. TPTII (Silin) dilaksanakan pada LOA TPTI dengan
tidak memperhatikan rotasi tebang yang dipersyaratkan oleh TPTI yaitu 35 tahun.
TPTII (Silin) dilaksanakan pada areal
LOA TPTI dibawah rotasi tebang 35 tahun.(dengan tidak ada ketentuan berapa
tahun). Meliputi penebangan persiapan
pada seluruh Blok (petak2 tebang) sesuai RKT Silin tahun berjalan,
penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up. Pada LOA hasil dari tebang persiapan
dilanjutkan dengan membuat jalur bersih,
tebang jalur bersih selebar 3 meter dan jalur kotor yang ditinggalkan
berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur
bersih dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting) dengan menggunakan
jenis2 terpilih/jenis target
dengan jarak antar tanaman 21/2 m. Sehingga jarak
tanam menjadi 21/2 x 20 m2.
Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae
terpilih (Jenis Target) yang disarankan
dan dapat merupakan pilihan untuk
ditanam pada areal TPTII (Silin) adalah
Jenis-jenis pohon hasil uji jenis. Jenis-jenis pohon hasil uji Jenis
dengan teknik Silvikultur adalah sbb: Shorea leprosula, S. parvifolia, S.
johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S. selanica, S.
macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Sukotjo, Subiakto dan Warsito,
2005).
Daur ekonomis tanaman Jenis2 Unggulan/Jenis Target adalah 30
tahun.
Sistem Silvikultur Tebang Pilih
Tanam Jalur (TPTJ) dengan Teknik Silvikultur
TPTI Intensif (Silin), sebaiknya
tidak diterapkan pada hutan primer
dan Log Over Area (LOA) TPTI pada Hutan Produksi dan pada Hutan Produksi Terbatas yang terdapat di hulu
sungai dengan potensi hutannya masih tinggi. Pada areal hutan ini sebaiknya
dilaksanakan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Hasil penelitian pada pengukuran dengan plot permanent, secara time
series selama 7 tahun yang dilaksanakan pada Log Over Area (LOA) IUPHHK PT. Gunung Meranti, Simulasi data dengan
menggunakan menggunakan perangkat lunak Stella 9.0.2, menghasilkan respon simulasi pada gambar 8. berikut ini: (Wahyudi, et. al., 2011)
Gambar 8. Respon Perkembangan Kerapatan Tingkat Pohon Masak Tebang terhadap
Pemanenan Jenis Komersial ditebang di IUPHHK PT Gunung Meranti
Pada gambar 8. dapat dilihat bahwa rotasi tebang I
membutuhkan waktu 26 tahun dan rotasi
tebang kedua membutuhkan waktu 40 yahun untuk pulih kembali dan dapat ditebang.
Penambahan waktu pada siklus tebang ke-2 selama 14 tahun dari siklus tebang
ke-1 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang
disebabkan adanya biomassa yang diangkut keluar dari ekosistem hutan melalui
kegiatan penebangan pohon.
Dari uraian respons hasil simulasi TPTII ( Silin) pada LOA Hutan produksi di
IUPHHK, Teknik
Silvikultur Intensif (Silin)/TPTI
Intensif sebaiknya
diterapkan pada areal hutan rawang al: areal hutan produksi bekas illegal logging yang
potensinya rendah. Kendala untuk
melaksanakan Silin pada areal hutan rawang
adalah dana yang tersedia mengingat
biaya pembangunan silin berkisar antara 5-9 juta rupiah/ha dan kisaran biaya
ini dipengaruhi vegetasi penutup lahan dan lokasi IUPHHK.
Biaya penanaman silin dapat ditanggulangi dengan diterapkannya Multisistem silvikultur dengan
penerapan Sistim Silvikultur yang sesuai dengan kondisi penutupan lahan pada
ekosistem areal IUPHHK Hutan Alam. Hasil
produksi dari areal TPTI disisihkan
untuk penanaman tanaman jenis
unggulan/jenis target pada areal di
hutan sekunder yang tidak produktif pada areal Silin dengan tanpa memungut kayu
pada hutan rawang tsb, seperti yang telah dilakukan oleh IUPHHK PT. Ikani di
Kalimantan Timur.
Demikian pula dimungkinkan akan
terjadi subsidi silang
dalam unit IUPHHK Multisistem. Dengan penanaman hutan tanaman dari jenis
cepat tumbuh (fast growing species) dengan menggunakan sistem silvikultur THPB dan atau THPB pola Agroforestry pada areal
IUPHHK Hutan Alam yang telah terfragmentasi menjadi areal hutan yang tidak
produktif berupa hutan rawang, semak belukar dan padang alang-alang. hasilnya dapat disisihkan untuk penanaman
pada areal hutan alam bekas illegal logging dengan menggunakan Teknik
Silvikultur TPTII (Silin) yang menanam jenis-jenis target dari hasil rekayasa
genetis jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae yang mempunyai daur
ekonomis 30 tahun.
3. Sistem
Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam
produksi di Indonesia, dimana pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia dapat
dilakukan dengan sistim silvikultur :
1.
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2.
Tebang Habis dengan Permudaan Alam
(THPA)
3.
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan
(THPB)
Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang
dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto
“Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman
Industri” karena padanan bahasa Indonesia
dari “Timber Estate” pada Lokakarya
Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan
Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan
Hutan.
Pembangunan HTI dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun
1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
Tujuan Pembangunan HTI dalam PP No.
6 Tahun 1999 adalah untuk memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak, dan
untuk memenuhi bahan baku Industri, sehingga membangun HTI sama dengan
merehabilitasi kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif.
Dalam PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan
bahwa sasaran pembangunan hutan tanaman adalah pada lahan kosong, padang
alang-alang dan hutan rawang (potensi kurang dari 20 m3)
Mindawati et.al., (2011) menyatakan bahwa, telah terjadi
penurunan kualitas tapak HTI jenis
Eucalyptus urograndis dari rotasi I
ke Rotasi II.sbb: penurunan kadar hara tanah N, K dan C-Org pada lapisan top
soil (0-20cm) dan penurunan kadar hara tanah N, Ca dan C-Org pada lapisan tanah
20-40 %. Demikian pula dari rotasi pertama ke rotasi kedua telah terjadi penurunan dimensi
tegakan (diameter batang, tinggi total dan biomassa).
Penurunan pertumbuhan volume, pertumbuhan diameter pada rotasi 1 dan rotasi
2 dapat dilihat pada gambar 9, 10, dan 11 berikut ini (Mindawati et.al., 2011).
Gambar 9. Pertumbuhan Volume Tegakan E. Urograndis
pada rotasi 1 dan rotasi 2.
Gambar 10. Pertumbuhan Diameter Tegakan E. Urograndis
pada rotasi 1 dan rotasi 2.
Gambar 11. Pertumbuhan Tinggi Total
Tegakan E. Urograndis pada rotasi 1 dan rotasi 2.
Wasis, 2005 menyatakan bahwa pada HTI Acacia Mangium secara nyata telah
terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang dicerminkan oleh penurunan
peninggi pada daur kedua jika dibandingkan dengan daur pertama. Peninggi di
lokasi penelitian secara nyata berkorelasi negatif dengan biomassa bintil akar,
sedangkan umur, kandungan bahan organik dan kandungan air tersedia secara nyata
berkorelasi positif dengan pertumbuhan A.
mangium. Dibandingkan daur pertama
pada daur kedua telah terjadi penurunan dimensi tegakan (diameter batang,
tinggi total dan biomassa), penurunan pH
tanah, kadar C organik tanah, N, Ca dan Mg tanah, kadar N, P dan K pada
jaringan tanaman, kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg pada biomassa. Selain itu neraca hara (N, P, K, Ca dan
Mg) pada daur kedua bersifat
negatif.
THPB pola agrofrorestry dapat dilakukan dengan penanaman tanaman pokok
dengan tanaman pertanian atau tanaman
perkebunan seperti penanaman
coklat pada tegakan hutan di Afrika dan penanaman tanaman kapol pada tegakan
hutan di RRC. (Kartawinata, 2008)
Di Indonesia Rehabilitasi lahan dengan menggunakan sistem Agroforestry
dengan tanaman coklat di lakukan
disekitar Taman Nasional Lore
Lindu dan di sekitar Taman Nasional Rawa
Aopa (Hatfindo Prima, 2005).
Degradasi Hutan Alam Produksi
Hingga saat ini, Indonesia kehilangan hutan aslinya
sebesar 72%. Penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun
menyebabkan adanya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan
hutan 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada 1997-2000
menjadi 3,8 juta hektar per tahun (Forest Watch Indonesia, 2001).
Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, wilayah hutan di Indonesia luasnya
120,35 juta ha (61 % dari luas daratan)
yang menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari: Hutan Produksi 58,25 juta ha, Hutan
Produksi yang dapat dikonversi 8,08 juta ha, Hutan Lindung 33,52 juta ha dan
Hutan Konservasi 33,52 juta ha.( Rusli, 2008)
Dari 120,35 juta Ha kawasan hutan negara, hampir
separuhnya, 46,5% atau 55,93 juta Ha, tidak dikelola secara intensif, karena
ijin-ijin yang sebelumnya ada tidak lagi beroperasi atau untuk kawasan hutan
lindung, pada umumnya tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintah
Daerah. Kondisi demikian itu ikut memicu terjadinya alih fungsi
penggunaan kawasan hutan terutama berupa pemukiman, kebun, tambang, yang hingga
saat ini mencapai 17,6 juta Ha. Sensus desa oleh Biro Pusat Statistik tahun
2007, menunjukkan bahwa sudah terdapat 16.570 desa di dalam kawasan hutan
negara di 15 propinsi. (Hariadi, 2013)
Jumlah HPH/IUPHHK HA pada tahun 1992 jumlah
HPH 580 unit (luas menurut SK 61,38 Juta
ha dan luas areal efektif 42, 97 juta
ha) dan pada tahun 2011 jumlah HPH
menjadi 294 unit. (luas menurut SK 23,24
Juta ha dan luas areal efektif
16, 27 juta ha). Pada tahun 2011
jumlah RKT yang telah disyahkan 137 unit HPH.(Dirjen BPK, 2009; Yasman, 2012)
Dari tahun 1992 s/d 2011 telah terjadi penurunan jumlah
HPH/IUPHHK Hutan Alam 287 unit, dengan penurunan
luas menurut SK 38,14 Juta ha dan penurunan luas efektif 26,70 Juta ha.
Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan Tanaman pada 2011, 249 unit dengan luas izin 10.046.839 ha.
Eforia reformasi dan penebangan liar (Ilegal
Loging). Telah menyebabkan ter-degradasinya hutan alam
Indonesia baik pada hutan alam dataran
rendah maupun dataran tinggi. Sudah saatnya Negara Indonesia menjaga
kelestarian hutan dan merestorasi hutannya yang telah terdegradasi baik pada
hutan alam dataran rendah (lowland) yang merupakan hutan produksi maupun pada hutan2 daerah hulu (Upland),
yang meliputi hutan produksi terbatas,
Hutan Lindung maupun pada Kawasan Lindung karena hutan2 tersebut merupakan
mempunyai fungsi Hidrologi, Orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Masalah penebangan liar dipicu oleh
beberapa hal, antara lain: kapasitas yang berlebihan dari industri pengolahan
kayu Indonesia; tingginya permintaan kayu liar baik domestik maupun luar
negeri, proses otonomi daerah yang terlalu cepat; dan penegakan hukum yang
rendah. Perbandingan konsumsi kayu untuk
industri dengan jumlah tebangan (resmi dan liar menurut beberapa penelitian (1997-2004)
disajikan pada Tabel 1 (FWI, 2002). Tebangan liar ternyata menyuplai kebutuhan kayu industri
sebesar rata-rata 65%. Bisa dikatakan bahwa kapasitas produksi industri perkayuan
jauh di atas volume tebangan yang diijinkan pemerintah.
Tabel 1. Perbandingan konsumsi kayu untuk industri
dengan jumlah tebangan (resmi dan liar menurut beberapa penelitian (1997-2004)
(Prasetyo, 2004).
Peneliti
|
Tahun
|
Konsumsi
Industri (m3)
|
Asumsi
tebangan resmi (m3)
|
Tebangan liar (Konsumsi-tebangan resmi) (m3)
|
Tebangan
liar (%)
|
Tacconi et al.
(2004)
|
2001
|
56
|
10
|
46
|
82%
|
Brown (2002)
|
2000
|
73
|
17
|
56
|
76%
|
NRM-MFP-Bappenas FFWG (2004)
|
2004
|
53
|
17
|
36
|
68%
|
Palmer (2000)
|
1997
|
108
|
43
|
65
|
60%
|
1998
|
84
|
52
|
32
|
38%
|
|
BRIK (2003)
|
2003
|
42
|
42
|
0
|
0%
|
Sustained
Forest Management ( Kelestarian Ekosistem Hutan)
Pembangunan hutan saat ini
tidak hanya bertujuan untuk
kelestarian hasil (“Sustained
Jield principle”) tetapi untuk kelestarian Ekosistem (Sustained Forest
Management) yang disamping mengharapkan manfaat langsung berupa kayu dan hasil
hutan lainnya juga berupa manfaat Ekologi yang meliputi hidrologi, orologi dan perlindungan alam
lingkungan.
Ekosistem yang perlu dilestarikan pada areal kawasan
hutan meliputi:
1. Ekosistem Alam seperti Hutan Hujan
Tropika, Hutan Musim, Hutan Rawa, Hutan Gambut, Hutan Kerangas dan Hutan
Mangrove.
2. Ekosistem Buatan pada kawasan hutan seperti Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat
Ekosistem hutan juga
berfungsi sebagai tempat hidup dan mencari makan Masyarakat di sekitar hutan (local people),
habitat berbagai jenis satwa liar dan
tumbuh2an, konservasi
biodiversity, konservasi plasma nutfah,
hidroorologi dan perlindungan alam
lingkungan.
Beberapa kriteria pengelolaan
hutan lestari yang tercantum dalam ITTO (International
Tropical Timber Organization) antara lain meliputi : jaminan kepastian
sumber daya, kelangsungan produksi kayu, konservasi flora dan fauna, tingkat
dampak lingkungan yang dapat diterima, manfaat sosial ekonomi, perencanaan dan
penyesuaian berdasarkan pengalaman. Indonesia telah menetapkan kriteria dan
indikator pengelolaan hutan produksi alam secara lestari (Keputusan Menteri
Kehutanan RI/No 252/1993 dalam Manan, 1993).
Menyadari hal tersebut, maka
program pembangunan dan pemanfaatan hutan produksi dan hutan produksi terbatas dari aspek konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem dimasa mendatang harus diarahkan kepada
pemanfaatan yang bersifat multifungsi, dengan memperhatikan aspek lingkungan,
ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan mengutamakan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Masyarakat sekitar hutan yang merupakan stakeholder dari sumberdaya hutan
tersebut, memang seharusnya dilibatkan di dalam setiap langkah pembangunan dan
pemanfaatan hutan sehingga mereka akan lebih peduli kepada hal-hal yang konkrit
dan langsung dirasakan manfaatnya dalam jangka pendek. Dengan demikian
pemahaman mereka akan kelestarian hutan akan dapat ditingkatkan sejalan dengan
meningkatnya pemanfaatan hutan bagi peningkatan kesejahteraan mereka.
Kelestarian
Ekosistem hutan (Sustained Forest Management) sesuai yang dicanangkan oleh
Dephut/Kemenhut tidak tercapai karena kebijakan Dephut dan atau Kemenhut saat ini tidak mendukung tercapainya
kelestarian ekosistem hutan demi untuk mempertahankan kawasan hutan produksi
yang dikelola dalam bentuk IUPHHK HA. hal ini disebabkan karena:
1.
Merosotnya luas areal
hutan produksi pada IUPHHK Hutan Alam antara lain disebabkan karena:dalam
perpanjangan IUPHHK HA yang digunakan adalah luas areal Efektif/berhutan,
sehinggga luas hutan alam produksi makin merosot. contoh kasus pada IUPHHK PT. KODECO TIMBER :
a. SK IUPHHK No. 339/KPTS/Um/12/1968, Tanggal 11
Desember 1968 dengan Luas Areal 270.000
ha
b. SK Perpanjangan No. 1625/Menhut/IV/1992, tanggal 15
September 1992 dengan Luas Areal IUPHHK 136.300 ha dn SK HPH Pembaharuan No
849/ KPTS-VII/1999 tanggal 11 Oktober 1999, dengan luas areal 99.570 ha.
c. Luas areal Efektif yang dapat dikelola 65.593 ha. yang merupakan areal hutan LOA Bekas
ilegal logging. Sistem silvikultur yang direncanakan akan diterapkan adalah: Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif
(TPTII) dengan luas 40.616 ha, Tebang
Habis Dengan Permudaan Buatan (THPB) dengan Luas 15.927 ha. Dan THPB Pola
Agroforestry 9.050 ha.
Di dalam areal kerja IUPHHK PT. Kodeco Timber saat ini banyak tumpang
tindih penggunaan dengan bidang lain. Tumpang tindih penggunaan dimaksud
meliputi alokasi areal Transmigrasi, serta + 25 unit Kuasa Pertambangan (KP).
2.
Sertifikasi hutan baik yang mandatory
maupun yang voluntary dalam rangka Sustained Forest Managemen ( Kelestarian
Ekosistem Hutan) dilaksanakan pada luas areal efektif dari IUPHHK HA dan IUPHHK
HT. Dari Luas hutan yang dikelola
IUPHHK HA/HT maka yang sudah bersertifikasi
kurang dari 30%nya.
Perkembangan Sertifikasi hutan di Indonesia baik yang voluntary maupun yang
mandatory adalah sbb: (Yasman, 2012)
a. Voluntary :
a1. Lulus standar LEI : 6 IUPHHK-HA dan 3 IUPHHK-HT
a2. Lulus standar FSC : 5 IUPHHK-HA (semuanya termasuk dalam daftar
yang lulus standar LEI).
a3. Luas areal : + 1.702.722 ha (+ 1.162.722 ha IUPHHK-HA
dan + 540.000 ha IUPHHK-HT)
b. Mandatory :
b1. Penilaian sampai tahun
2009 (sertifikat masih berlaku) :82 IUPHHK-HA dengan luas areal 7.451.859 ha
b2. Penilaian pada tahun 2010 : 13 IUPHHK-HA dengan luas areal 1.436.275 ha
Total (a +
b) : 95 UM = 8.888.134 Ha
Sedangkan Pengesahan RKT dari Tahun 2004 s/d 31 Maret 2012 dapat dilihat pada tabel 2.
berikut : (Yasman, 2012).
Tabel 2. Perkembangan Pengesahan RKT dari Tahun 2004 s/d 31 Maret 2012
RKT
|
Tahun Pengesahan RKT
|
||||||||
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012*)
|
|
Jumlah IUPHHK
|
291
|
321
|
321
|
310
|
308
|
304
|
304
|
294
|
295
|
RKT Disyahkan
Persentase
|
154
53 %
|
154
48%
|
191
59%
|
216
70%
|
220
71%
|
210
69%
|
189
62%
|
137
46%
|
46
15%
|
Tidak Disyahkan
|
137
|
167
|
130
|
94
|
88
|
94
|
115
|
137
|
249
|
Keterangan: *) s,d 31 Maret 2012
Berdasarkan uraian diatas bahwa merosotnya
Jumlah IUPHHK dan merosotnya luas areal hutan produksi pada IUPHHK Hutan Alam
antara lain disebabkan karena dalam perpanjangan IUPHHK HA yang digunakan
adalah luas areal berhutan saja
sehinggga luas hutan alam produksi pada areal IUPHHK HA makin berkurang.
Sertifikasi hutan baik yang mandatory maupun yang voluntary dalam rangka
Sustained Forest Manajemen (Kelestarian Ekosistem Hutan) dilaksanakan
pada areal hutan efektif yang dikelola
oleh IUPHHK HA dan IUPHHK HT.
Sedangkan luas areal yang tidak berhutan yang berupa semak belukar, padang
alang-alang dsb dan bukan merupakan luas efektif tidak mendapat perhatian.
Masa Depan Hutan Alam Produksi di
Indonesia
Multisistem Silvikultur
Dengan beroperasinya kegiatan HPH sejak tahun 1970 terbukanya sarana
dan prasarana jalan hutan dengan adanya kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan dan
kegiatan-kegiatan lainnya berupa penebangan, penyaradan, pembuatan TPN dan
TPK. juga timbul dampak induksi yang
bukan disebabkan karena aktivitas HPH. Dampak induksi berupa perambahan hutan
oleh perladangan, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Sehingga areal bekas
penebangan TPI/TPTI kondisinya telah
rusak dan rawan terhadap perambahan terutama pada wilayah-wilayah yang
berbatasan dengan daerah yang berpenduduk padat.
Eforia reformasi telah menyebabkan terdegradasinya hutan alam Indonesia
baik pada hutan alam dataran rendah
maupun dataran tinggi.. Sudah saatnya Negara Indonesia menjaga kelestarian
hutan dan merestorasi hutannya yang telah terdegradasi baik pada hutan alam
dataran rendah (lowland) yang merupakan hutan produksi maupun pada hutan2 daerah hulu (Upland),
yang meliputi Hutan Produksi Terbatas,
Hutan Lindung maupun pada Kawasan Lindung karena hutan2 tersebut mempunyai
fungsi Hidrologi, Orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Di lain pihak degradasi, deforestasi
dan ancaman konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan,
perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) perkembangannya demikian
cepat di Indonesia.
Dari tahun 1992 s/d 2011 telah terjadi penurunan jumlah
HPH/IUPHHK Hutan Alam 287 unit, dengan
penurunan luas menurut SK 38,14 Juta ha dan penurunan luas efektif 26,70 Juta
ha. Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan Tanaman pada 2011, 249 unit dengan luas izin 10.046.839 ha.
Pengelolaan hutan sejak HPH dan HP HTI beroperasi baik pada
IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) sampai saat saat ini umumnya dilakukan dengan satu sistem
silvikultur.
Pengelolaan hutan dengan satu sistem silvikultur sudah tidak cocok lagi
dengan kenyataan di lapangan, dimana areal hutan produksi khususnya pada IUPHHK
hutan alam telah terftragmentasi menjadi berbagai tutupan lahan sesuai dengan
tingkat degradasi Hutan yang terjadi,
pada areal ini sangat membutuhkan diterapkannya Multisistem silvikultur.
Legalitas penerapan
Multisistem Silvikultur di kawasan hutan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 3/2008. Pasal 38
ayat 1 yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI
dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan
dengan satu atau lebih sistem silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber
daya hutan dengan lingkungannya
Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar
Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah
Basah/Rawa, Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan
alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK
dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang
sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya. (Permenhut
Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut
No. P11/Menhut II/ 2009).
Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009. juga memuat dalam satu KPHP atau
IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem
silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan
lingkungannya (Menimbang pada PP No. 6/2007: pasal 34 ayat (2) dan Pasal 38
ayat (1) jo. PP No. 3/2008)
Dan kepmenhut No. P.40 tahun 2007
bahwa sistem silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam
areal kerja. Sistem silvikultur yang digunakan
pada suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi tapak habitat pada kawasan hutan di areal tersebut baik
pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini sejalan sejalan
dengan Pasal 42 ayat (1) UU 41 RI tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan
bahwa Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik. Yang
mengambarkan pemilihan jenis pohon harus sesuai dengan keadaan habitat dan ekologi
jenis pohon terpilih.
Namun dalam pelaksanaannya peraturan Menteri Kehutanan
tersebut masih banyak mengalami hambatan terutama pada tataran teknis, manajemen, kelembagaan serta pedoman
pelaksanaan di lapangan. Sementara
tuntutan pengelola IUPHHK untuk melaksanakan multisistem silvikultur demikian
besar.
Pada saat ini kebijakan dan regulasi Kemenhut belum
mendukung untuk diterapkannya Multisisistem Silvikultur. Sedangkan Malaysia dan Jerman menerapkan filosofi
Multisistem Silvikultur dengan penanaman dan pemilihan jenis pohon berdasarkan
Site (Tapak) yang mengacu pada sistem silvikultur yang digunakan baik di hutan
primer maupun areal hutan yang telah terdegradasi.
Hal tersebut mendasari perlunya
penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan
karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada
prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu
ekonomis menguntungkan ekologis
dapat dipertanggung jawabkan, secara
sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan,
teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap
lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang efektif. Disamping itu, berkaitan dengan perpanjangan
IUPHHK, para pemegang ijin tidak hanya memperhatikan areal yang memilki potensi
kayu tetapi harus mempertanggung jawabkan seluruh arealnya terasuk areal-areal
dengan kategori non hutan.
Multisistem
Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari
dua atau lebih Sistim Silvikultur yang
diterapkan pada suatu IUPHHK dan
merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Terfragmentasinya
habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan
yang lebih baik dengan menerapkan satu
atau lebih sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur) pada suatu areal IUPHHK.
Memperhatikan hal tersebut di atas dan dalam kerangka
meningkatkan produktivitas hutan produksi di dalam areal kerja Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka upaya untuk merancang ulang
pengelolaan areal hutan melalui penerapan multisistem silvikultur yang sesuai
dengan karakteristik kawasan hutan setempat perlu mendapat perhatian para
rimbawan. Melalui strategi ini, diharapkan potensi hutan alam produksi di areal
kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan
kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian
fungsi ekologi dan fungsi sosial.
Pada saat ini areal
IUPHHK hutan alam telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan.
Fragmentasi areal IUPHHK hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui
Multisistim Slvikultur untuk mengembalikan fungsi hutan baik fungsi
ekonomis berupa kayu dan hasil hutan
lainnya maupun fungsi ekologis berupa hidrologi, orologi dan perlindungan alam
lingkungan serta fungsi sosial dan budaya masyarakat disekitar hutan.
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan
pada penerapan Multisistem silvikultur
pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTII/Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry:
Berdasarkan
simulasi dapat dibuktikan bahwa penggunaan 3 sistem silvikultur TPTI, TPTII dan
THPB dalam satu ijin kelola IUPHHK akan menghasilkan/ nilai manfaat yang lebh
tinggi dibandingkan alternatif yang menggunakan penggunaan 2 sistem silvikultur
dan bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan penggunaan 1 sistem silvikultur
tunggal. Berdasarkan simulasi model, diantaranya dapat dibuktikan bahwa
menggunakan 3 sistem silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB) memberikan proyeksi
total produksi 378% lebih besar dibandingkan menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI
dan TPTII). Selanjutnya campuran 3
sistem ini dapat menyerap 257% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang lebih besar
daripada menggunakan campuran 2 sistem (TPTI dan TPTII). (Suryanto, 2009)
Penutup
Sejalan dengan
perubahan paradigma pengelolaan hutan yang menuntut manfaat pengelolaan hutan
tidak hanya terfokus pada produksi kayu semata tetapi harus memberikan manfaat
pada pelestarian lingkungan dan peningkatan manfaat sosial masyarakat, maka
peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan perlu ditingkatkan agar
dapat diakui secara global. Di lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman
konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan,
okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) yang demikian cepatnya di Indonesia
maka diperlukan fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan
kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut, salah satunya
melalui sistem silvikultur yang digunakan.
“Lokakarya Nasional Penerapan
Multisistem Silvikultur pada Pengsahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan
Produktifitas dan Pemantapan Kawasan Hutan” telah dilaksanakan pada tanggal
23 Agustus 2008 bertempat di IPB Internasional Convention Center
Lokakarya nasional penerapan multisistem silvikultur pada pengusahaan hutan
produksi dalam rangka peningkatan produktifitas dan pemantapan kawasan hutan
ini merupakan kerjasama antara Fakultas
Kehutanan IPB dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen
Kehutanan.
Pada lokakarya ini diharapkan adanya kebersamaan visi dan misi dalam
menangani penerapan multisistem silvikultur dalam suatu unit IUPHHK, Adanya
komitment bersama untuk menangani permasalahan pengelolaan hutan alam produksi
di Indonesia, adanya program kegiatan yang lebih holistik dan tidak tumpang tindih
dalam kewenangan pengelolaan /pengusahaan hutan produksi di Indonesia
Terfragmentasinya
habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan Paradigma pengelolaan hutan yang
lebih baik dengan menerapkan dua atau lebih sistem silvikultur (multisistem
silvikultur) pada suatu areal IUPHHK.
Pada areal hutan primer dan LOA TPI/TPTI sebaiknya diterapkan sistem
silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Sistem TPTJ dan atau Teknik
Silvikultur Silin (TPTII) sebaiknya diterapkan pada hutan sekunder yang potensinya
kurang yaitu areal hutan rawang bekas Ilegal Logging dan hutan-hutan bekas
kebakaran.
Adapun Areal yang penutupan vegetasinya berupa tanah kosong semak belukar
dan alang-alang sebaiknya diterapkan sistem THPB dan atau THPB pola
Agroforestry, bila jenis-jenis asli intoleran (Jenis Cahaya dan Cepat Tumbuh)
tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah ybs. Dapat digunakan jenis
komersial exotik cepat tumbuh berupa jenis-jenis pohon Intoleran.
Dengan terfragmentasinya hutan produksi pada IUPHHK maka untuk
mempertahankan kawasan hutan dan menyelamatkan areal hutan produksi sangat
dibutuhkan adanya Implementasi
Multisistem Silvikultur pada areal IUPHHK, MSS dapat meningkatkan produksi kayu,
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mempertahankan kawasan hutan produksi.
Sampai saat ini kebijakan dan regulasi Kementerian Kehutanan belum
mendukung untuk diterapkannya Multisistem Silvikultur. Penerapan Multisistem
Silvikultur (MSS) membutuhkan payung
hukum berupa Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penerapan Multisistem Silvikultur pada
Kawasan Hutan Produksi dan Peraturan
Pemerintah tentang Pembangunan IUPHHK Multisistem Silvikultur.
Pada saat ini pengelolaan hutan
produksi di Indonesia dibawah Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang membawahi
Direktorat Bina Usaha Hutan Alam (yang membina IUPHHK HA) dan Direktorat Bina
Usaha Hutan Tanaman (yang membina IUPHHK Hutan Tanaman/HTI). Untuk tidak
mengalami hambatan birokrasi dalam penerapan multisistem silvikultur sebaiknya
dibentuk Direktorat Bina Usaha Hutan
Produksi yang meliputi Bina Usaha Hutan Alam dan Bina Usaha Hutan
Tanaman.
Penanaman jenis pohon berdasarkan
Site (Tempat tumbuh) dengan sistem sivikultur yang dibutuhkan sesuai dengan ekologi
jenis pohon merupakan keharusan. Keputusan pemilihan jenis pohon sebaiknya
diserahkan pada perusahaan pemegang hak (IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan
Tanaman) dan tanaman yang ditanam dalam
pembangunan IUPHHK Multisistem Silvikultur menjadi asset perusahaan agar
Implementasi Multisistem Silvikultur menarik bagi para pengusaha.
Dengan diterapkannya Multisistem
Silvikultur, produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan
ditingkatkan, Ekonomi menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan Hidup dapat
dipertanggung jawabkan dan kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan.
Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat
memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan membuka peluang
investasi dan berperan aktif dalam
kegiatan revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.
Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan. 2001. Kebijakan Pembangunan Kehutanan
Dalam Era Otonomi Daerah. Studium Generale – Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Kamis 8 Maret 2001, Bogor.
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan
Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972. tentang Tebang Pilih
Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, Tebang Habis dengan Permudaan
Buatan dan Pedoman Pengawasannya, Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1980. Pedoman
Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur. Pelaksanaan dan
Pengawasan. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989.
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989.
tentang Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan.
Departemen Kehutanan, Jakarta.
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi
Alam. 2001. Talkshow Peningkatan Konservasi. Studium Generale – Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Kamis 7 Juni 2001, Bogor.
Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW)
2002 The state of the forest: Indonesia. FWI/GFW, Bogor and Washington, DC.
Hariadi, 2009. Amputasi Kawasan Hutan Negara. Google Group
Fahutan IPB.
Martawijaya, A, I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira.
2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Prasetyo, F.A. 2004. Sarasehan nasional “Sertifikasi di
Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian Sumberdaya Alam dan Pemberantasan Kemiskinan” . Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI), Jakarta 19 Oktober 2004.
Manan, S. 1993. Hasil-hasil Komisi Pembinaan HPH – APHI.
Mindawati, N., A. Indrawan, I. Mansur dan O. Rusdiana, 2011. Kajian Kualitas Tapak Hutan Tanaman Industri, Jenis Eucalyptus urograndis Sebagai Bahan Baku
Industri Pulp dalam Pengelolaan Hutan Lestari
(Studi Kasus di IUPHHK PT. Toba Pulp Lestari, Simalungun, Medan). Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito. 2005. Project Completion Report
ITTO. PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Surianegara dan Indrawan. 2013. Ekologi Hutan
Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Suryanto, 2009. Model dan Simulasi dalam Pengambilan
Keputusan Sistem Silvikultur dan Aspek Kebijakannya. Paper dibawakan pada Seminar Gelar
Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 19 Nov 2009.
Indrawan, A. 2003. Model Sistem Pengelolaan Tegakan
Hutan Alam Setelah Penebangan Dengan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol
IX, No. 2. Juli- Desember. 2003.
Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem
Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem
Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan
Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan
Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan,
Departemen Kehutanan. Bogor.
PT Hatfindo Prima. 2005. Forest Resources Management for Carbon
Sequestration Projects (FORMACS). Care
International Indonesia. Jakarta.
Yasman,
I. 2012. Aspek Kebijakan dan Regulasi dalam Pengurusan Pengelolaan Hutan Alam
Produksi (Dalam Perspektif Pengusahaan Hutan) Workshop/Seminar “Rekonstruksi
Pengelolaan Hutan Alam Produksi : Tinjauan Aspek Teknis Silvikuktur, Sosial-Ekonomi,
Ekologi dan Kebijakan” Samarinda, 13 November 2012.
Wahyudi, A. Indrawan, I. Mansur dan P. Pamungkas, 2010. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Sistem Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif. Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT. Gunung Meranti.
Propinsi Kalimantan Tengah. Desertasi.
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Wasis, B. 2005. Kajian Perbandingan Kualitas Tempat
Tumbuh antara Rotasi Pertama dan Rotasi Kedua pada Hutan Tanaman Acacia
mangium Wild. Studi Kasus di IUPHHK HT.
PT. Musi Hutan Persada. Propinsi Sumatera Selatan. Desertasi. Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
3 comments:
Tulisan Prof. Dr. Andry Indrawan menjadi referensi berharga bagi generasi muda, khususnya stakeholder kehutanan, guna mengetahui gambaran yang utuh tentang sejarah pengelolaan hutan serta hasil-hasil yang telah dicapai. Pengetahuan ini berguna untuk menyusun rencana ke depan serta menjadi bekal berharga bagi para rimbawan baru. Selamat dan terus berkarya Professor. Salam. Dr. Wahyudi, Universitas Palangka Raya
Terima Kasih DR. Wahyudi, Mudah-mudahan Sustained Forest Management (Kelestarian Ekosistem Hutan) Indonesia dapat segera dicapai untuk kemaslahatan sesama baik generasi masa kini maupun generasi yad.. Salam untuk Teman-teman Dosen Di Universitas Palangka Raya.
Thank's
Post a Comment