Peranan
Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan
Multi Sistem Silvikultur (MSS)
dalam
Peningkatan Produktivitas Lahan Hutan[1])
Oleh :
Ir. Suwarno Sutarahardja[2])
I. Pendahuluan
Pengusahaan
hutan telah dilakukan sejak lama, bahkan sejak pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda melalui pendirian panglong
didaerah Sumatera Timur dan Kalimantan Tengah, dan berkembang lebih lanjut pada
pemerintahan Orde Lama setelah diterbitkannya PP no 64 tahun 1957 Tentang
Desentralisasi. Namun pengembangan Usaha Pemanfaatan Hutan dalam Unit Usaha
yang berazaskan kelestarian diluar P. Jawa baru dikembangkan pada pemerintahan
Orde Baru setelah keluarnya UU no 5 Tahun 1967 yang diikuti dengan PP no 22
Tahun 1968 Tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan
(IHH), PP no 21 Tahun 1970 Tentang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan ( HPHH), serta PP no
33Tahun 1970 Tentang Perencanaan Hutan.
Dalam rangka pengembangan investasi di berbagai bidang pemerintah RI
berupaya memfasilitasinya melalui UU no 1 Th 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) dan UU no 6 Th 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Kebijakan ini disambut oleh banyak pihak termasuk pengusaha hutan. Patungan
yang dimaksud sesungguhnya adalah modal asing dan modal dalam negeri
bekerjasama membentuk badan hukum di Indonesia (Joint Enterprise).
II. Pengelolaan
Hutan Produksi Saat Ini.
1. Dengan
beroperasinya kegiatan HPH sejak tahun 1970, maka berakibat terbukanya sarana
dan prasarana jalan hutan dan timbul dampak induksi yang bukan disebabkan karena aktivitas HPH,
yaitu antara lain berupa perambahan hutan oleh perladangan liar, pencurian
kayu, kebakaran hutan dsb.
2. Kondisi hutan produksi saat ini telah memasuki siklus
tebangan ke dua. Sebagian besar areal hutan berupa hutan bekas tebangan (LOA).
Potensi tegakan LOA rendah dan menyebar
secara sporadis. Kondisi ini perlu optimalisasi pengelolaan hutan produksi
untuk meningkatkan produktivitasnya.
3. Peningkatan
produktivitas selama ini hanya terfokus pada
areal yang berhutan saja, sedangkan yang rusak atau tidak berhutan belum
mendapatkan perhatian yang serius. Diperlukan peningkatan produktivitas dan
kualitas produk serta keanekaragaman hayati di areal hutan produksi.
4. Kondisi riil areal hutan alam saat ini sangat heterogen,
sehingga tidak optimal bila pengelolaan hutannya hanya dengan satu sistem
silvikultur
5. Didalam areal kerja IUPHHK-HA
saat ini banyak tumpang tindih dalam penggunaannya dengan sektor lain.
Dari
butir-butir diatas, maka dalam pengusahaan hutan alam yang saat ini diberikan
dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam
(IUPHHK-HA), sesuai dengan izinnya, maka perusahaan yang beroperasi di dalam
hutan alam tidak ada aturan kewajiban untuk melakukan penanaman pohon-pohon
pada areal hutan yang tidak atau kurang produktiv (tanah kosong, semak belukar
ataupun pada areal hutan yang produktivitasnya rendah), kecuali pada areal tanah
kosong bekas camp atau base-camp, bekas TPN (tempat pengumpulan kayu) dan bekas
TPK (tempat penimbunan kayu) serta hanya sebatas dalam hal pengayaan jenis
pohon pada arel-areal bekas tebangan.
Dalam
mengusahakan hutan melalui pemberian izin konsesi HPH atau IUPHHK-HA ini,
tampaknya kurang berhasil untuk mempertahankan produktivitas hutan. Sejak awal kegiatan
pemanfaatan hutan dilaksanakan pada akhir tahun 60an, produktivitas lahan hutan
terus selalu menurun. Berdasarkan Data dari APHI tahun 2013, ternyata pemegang
IUPHHK-HA dan Produktivitas Hutan menurun dari tahun ke tahun. Luas areal hutan
yang dimanfaatkan para pemegang IUPHHK-HA dari tahun 1992 tercatat ± 61.380.000
ha dan tahun 2011 tinggal ± 23.240.000 ha dengan produktivitas hutan rata-rata
dari 0,61 m3/ha/tahun menjadi 0,32 m3/ha/tahun (data dari
APHI yang dimaksud tersebut disajikan dalam tulisan ini dalam bentuk rangkuman).
Dalam
Tabel 1 dibawah ini, menunjukkan fakta terjadinya penurunan produktivitas lahan
hutan alam serta riapnya.
Tabel 1. Fakta Penurunan Hasil Tebangan & Riap (APHI, 2012)
Tahun
|
Hasil
Tebangan (m3/ha)
|
Riap
(m3/ha/thn)
|
1995
|
50 - 60
|
1,57
|
2004
(pilot Project)
|
40
|
1,14
|
2012
|
20
- 25
|
0,64
|
III.
Pengelolaan
Hutan Produksi ke Depan
A.
Arah
Pengembangan Hutan Produksi
1. Hutan alam produksi harus dikelola secara lestari
sebagai amanah undang-undang.
2.Setiap
areal hutan produksi harus dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur yang
tepat, sehingga dapat meningkatkan
produktivitasnya, aman secara ekologis dan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitarnya.
3. Kondisi areal hutan produksi yang akan diterapkan
sistem silvikultur tertentu harus sesuai kondisi ekologisnya.
4. Penggunaan jenis target diutamakan jenis unggulan lokal
B.
Dasar
Hukum
1. Pasal
34 Ayat (2) PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun
2008 : “Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada
hutan produksi dapat dilakukan dengan satu atau lebih
sistem silvikultur,
sesuai
dengan karakteristik sumber daya hutan dan
lingkungannya.”
2. Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.65/Menhut-II/2014, tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem silvikultur Dalam
areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi.
3.Peraturan Direktur Jenderal BPK Nomor : P.11/VIBPHA/2009, tentang Pedoman Tehnik Silvikultur Intensif
(SILIN).
IV.
Multi
Sistem Silvikultur (MSS)
1. MSS mempunyai pengertian tentang penerapan lebih dari satu sistem silvikultur
dalam rangka meningkatkan produktivitas
hasil hutan serta meningkatkan nilai financial dan ekonomi
pemanfaatan/pengusahaan hutan, yang tertuang dalam suatu periode rencana kerja
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK).
2. Kondisi areal hutan
produksi yang akan diterapkan dengan sistem silvikultur tertentu harus sesuai kondisi
ekologisnya.
Kondisi areal hutan produksi dalam setiap awal Penyusunan Rencana (RKU) dapat
diketahui penyebarannya berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (IHMB). Data IHMB adalah merupakan basis data untuk penyusunan Rencana
Kerja Usaha (RKU), sehingga dalam RKU yang disusun berbasis data IHMB akan
lebih terarah areal-areal yang akan dikelola dengan penerapan sistem silvikultur
tertentu, sesuai dengan kondisi lapangannya.
3. Sistem Silvikultur yang dapat diterapkan
sesuai dengan kondisi arealnya antara lain : TPTI, TR (Tebang Rumpang), TJTI, TPTJ
(baik dengan Sistem Silvikultur TPTJ Murni maupun dengan Sistem Silvikultur
TPTJ dengan Teknik Silvikultur Intensif atau SILIN), THPB, dan THPA (khusus di Hutan
Payau/Mangrove).
4. Kesesuaian pemilihan sistem silvikultur
yang akan diterapkan didasarkan pada Kriteria dan Indikator tertentu.
V.
Pemanfaatan
Hutan Alam
A.
Kebijakan
Sistem Silvikultur
1. Merujuk pada dasar hukum diatas,
dalam Peraturan Menteri Kehutanan,
tentang Penerapan Multi Sistem Silvikultur Dalam Areal IUPHHK pada Hutan
Produksi (Permenhut No. P.65/Menhut-II/2014), diatur dalam butir-butir sebagai
berikut dibawah ini.
2. Sistem
Silvikultur yang dapat diterapkan pada areal Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi (IUPHHK-HA) adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang
Rumpang (TR), Tebang Pilih Tanam
Jalur (TPTJ), Tebang
Jalur Tanam Indonesia (TJTI), Tebang
Habis Permudaan Buatan (THPB) dan khusus pada Hutan
Payau/Mangrove, dapat diterapkan Sistem Silvikultur Tebang Habis Permudaan Alam
(THPA).
Penerapan
sistem-sistem Silvikultur tersebut berdasarkan Kriteria dan Indikator yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal dan dituangkan dalam RKUPHHK-HA.
3. Perusahaan Pemegang IUPHHK-HA dapat menerapkan Multi Sistem
Silvikultur, yaitu penerapan lebih
dari satu Sistem Silvikultur
dalam waktu bersamaan di areal kerjanya yang dituangkan dalam Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi (RKUPHHK-HA).
4. Penerapan sistem silvikultur TPTI sebagaimana dimaksud dalam butir
2 diatas, untuk IUPHHK-HA
diterapkan pada hutan alam primer (virgin forest) atau hutan
bekas tebangan (logged
over area) di
areal IUPHHK-HA.
5. Penerapan
sistem silvikultur TPTJ sebagaimana dimaksud dalam butir 2 diatas, diterapkan pada hutan bekas tebangan (logged over
area) di areal IUPHHK-HA.
6. Sistem Silvikultur TPTJ dapat dilaksanakan
dengan Sistem Silvikultur TPTJ Murni maupun
menggunakan Sistem Silvikultur TPTJ dengan Teknik Silvikultur Intensif (SILIN).
7. Teknik
SILIN
sebagaimana dimaksud diatas antara lain
berupa pemilihan jenis,
pemuliaan pohon, penyediaan
bibit, manipulasi lingkungan, penanaman
dan pemeliharaan berdasarkan pedoman teknis yang ditetapkan Direktur
Jenderal.
8. Penerapan
sistem silvikultur THPB sebagaimana dimaksud diatas, untuk IUPHHK-HA dialokasikan pada areal hutan produksi
yang tidak berhutan. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur THPB pada IUPHHK-HA
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.
B.
Daur
dan Siklus Tebang
Siklus tebang pada
tegakan hutan alam ditentukan berdasarkan diameter tebangan :
a. Pada hutan
daratan tanah kering TPTI, TPTJ dan TJTI :
1)
30
(tiga puluh) tahun untuk diameter ≥ 40 (empat
puluh) cm pada hutan produksi biasa dan atau hutan produksi yang dapat
dikonversi dan ≥ 50 (lima puluh)
cm pada hutan
produksi terbatas dengan
sistem silvikultur TPTI atau TR.
2) 25 (duapuluh lima) tahun untuk sistem TPTJ pada jalur
tanam selebar
3 (tiga) meter dilakukan tebang
habis, dan di jalur antara ditebang pohon berdiameter ≥ 40 (empat puluh) cm.
3) Untuk
TJTI pada jalur tanam dengan lebar maksimal 140 (seratus empat puluh) meter,
dilakukan tebang habis (land clearing) dan pada jalur antara, dengan lebar
maksimal 35 (tiga puluh lima) meter dilakukan penebangan setelah penjarangan
pertama pada jalur tanam selesai dilaksanakan.
b. Pada
hutan rawa :
40 (empat puluh) tahun untuk diameter ≥ 30 (tiga puluh)
cm.
c. Pada hutan payau/mangrove :
20 (dua puluh) tahun untuk bahan baku chip, dan 30 (tiga
puluh) tahun untuk kayu arang diameter ≥ 10 (sepuluh) cm.
VI.
Pemilihan Sistem Silvikultur Dalam MSS
A. Persyaratan
Biofisik Areal Dalam MSS
1.Penentuan
Kriteria dan Indikator terhadap Biofisik Areal untuk dapat memberikan arahan dalam penentuan areal dalam
penerapan Multi Sistem Silvikultur yang tepat.
2.Selain
dari itu untuk mencapai efektifitas pemilihan dan penerapan sistem silvikultur
sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya.
3.Evaluasi
kondisi biofisik areal IUPHHK-HA dilakukan dengan overlay antara Peta Biofisik
dan Peta Sediaan Tegakan Hasil IHMB
4.Berdasarkan penilaian sifat-sifat fisik areal menggunakan
Kriteria dan indikator tertentu, maka dapat ditentukan pengelompokan yang sesuai dengan sistem silvikultur yang telah
ditetapkan (TPTI, TPTJ, dan THPB).
B. Skoring
Kondisi Fisik Areal
Skoring didasarkan pada Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 837/Kpts/UM/11/1980.
1. Klasifikasi Intensitas Hujan
Rata-rata Curah Hujan Tahunan (mm)
Tabel
2. Rata-rata Jumlah Hari Hujan Tahunan (hh)
No.
|
Kelas Intensitas Hujan
|
Intensitas Hujan (mm/hari hujan)
|
Keterangan
|
Bobot
|
1.
|
1.
|
< 13,6
|
Sangat rendah
|
10
|
2.
|
2.
|
13,6 – 20,7
|
Rendah
|
|
3.
|
3.
|
20,7 – 27,7
|
Sedang
|
|
4.
|
4.
|
27,7 – 34,8
|
Tinggi
|
|
5.
|
5.
|
> 34,8
|
Sangat Tinggi
|
2. Klasifikasi Jenis Tanah
Klasifikasi Didasarkan
Pada Kepekaan
Erosi Menurut Jenis Tanah
Tabel 3. Klasifikasi Jenis Tanah
No.
|
Kelas
Tanah
|
Jenis Tanah
|
Kepekaan
Erosi
|
Bobot
|
1.
|
1
|
Aluvial, Tanah Glei Planosol Hidromorf Kelabu, Laterita Air Tanah
|
Tidak Peka
|
15
|
2.
|
2
|
Latosol
|
Agak peka
|
|
3.
|
3
|
Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran
|
Kurang Peka
|
|
4.
|
4
|
Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolik
|
Peka
|
|
5.
|
5
|
Regosol, Litosol, Organosol, Rendzina
|
Sangat peka
|
3. Klasifikasi Tingkat Kelerengan
Klasifikasi Kelas Lereng,
Didasarkan Pada Tingkat Kemiringan Lereng
Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Kelerengan
No.
|
Kelas
Lereng
|
Kemiringan
Lereng
|
Keterangan
|
Bobot
|
1.
|
1
|
0
– 8 %
|
Datar
|
20
|
2.
|
2
|
8
– 15 %
|
Landai
|
|
3.
|
3
|
15
– 25 %
|
Agak
Curam
|
|
4.
|
4
|
25
– 45 %
|
Curam
|
|
5.
|
5
|
> 45 %
|
Sangat
Curam
|
4. Perhitungan
Skoring
Nilai Skor = (Kelas tanah X 15) + (Kelas lereng X 20) + (Kelas Intensitas Hujan X 10)
VII.
Hasil
Kegiatan IHMB
A.
Sediaan
Tegakan Jenis Komersil
Data
sediaan tegakan diperoleh dari hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala
(IHMB), yaitu meliputi :
1. Sediaan
tegakan untuk seluruh jenis dan untuk jenis komersil
2. Sediaan
tegakan per kelompok jenis
3. Sediaan
tegakan per kelas diameter
4. Sediaan
tegakan per hektar
5. Sediaan
tegakan per petak
B.
Kondisi
Hutan dan Tipe Vegetasi Hutan
Data
kondisi hutan/penutupan lahan hutan serta tipe vegetasi hutan dapat diperoleh
dari hasil IHMB atau dapat pula dari citra satelit terbaru maksimal berumur 2
tahun, apabila IHMB belum dilaksanakan.
1. Kondisi
Hutan
• Hutan
Primer
• Hutan
Bekas Tebangan
• Areal
Non Hutan
2. Tipe
Hutan
• Hutan
Dataran Tanah Kering
• Hutan
Rawa
• Hutan
Payau/Mangrove
VIII.
Kriteria
dan Indikator MSS
Tabel 5. Persyaratan
Bio-fisik Areal Untuk Penerapan MSS
No.
|
Kriteria
|
Indikator Kesesuaian Sistem
Silvikultur
|
|||
TPTI/TR
|
TPTI/TPTJ
|
TPTJ
|
THPB
|
||
1.
|
Skor Kondisi Fisik Areal
|
≤ 175
|
≤ 150
|
≤ 150
|
≤ 125
|
2.
|
Sediaan
tegakan hutan dari pohon komersil m3/ha
|
-
|
-
|
-
|
< 20
|
3.
|
Kondisi Hutan
|
Hutan Primer dan LOA
|
Hutan Primer dan LOA
|
LOA
|
LOA dan Non
Hutan (Padang alang-alang, semak, tanah kosong)
|
4.
|
Tipe Vegetasi/Hutan
|
1. Hutan Dataran tanah kering
2. Hutan Rawa
|
Hutan
Dataran Tanah Kering
|
1. Hutan Dataran tanah kering
2. Htn Rawa
|
1. Htn Dataran tanah kering
2. Htn Rawa
3. Hutan Payau/mang- rove
|
IX.
Peran
IHMB Dalam Multi Sistem Silvikultur
Penerapan sistem silvikultur di areal IUPHHK pada
hutan produksi harus berdasarkan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (RKUPHHK) yang berbasis pada hasil IHMB, dimana IHMB dilaksanakan sekali
dalam 10 tahun. Dengan kegiatan IHMB ini, maka kondisi hutan, baik sediaan
tegakan maupun penutupan lahannya dapat diketahui, karena dalam IHMB, contoh (sample) yang diambil tersebar pada
setiap petak (compartment), dengan
kata lain pencatatan kondisi hutan dilakukan petak by petak. Dengan demikian
akan dapat diketahui secara pasti petak-petak mana saja yang perlu ditingkatkan
produktivitasnya. Untuk selanjutnya dengan bantuan skor kondisi fisik areal,
maka dapat ditetapkan jenis system silvikultur yang perlu dilakukan pada suatu
areal hutan tertentu, sebagaimana dalam Tabel 6 diatas.
IHMB sendiri
digagas pada tahun 2000an oleh Sofyan Warsito (Fakultas Kehutanan UGM
dan Suwarno Sutarahardja (Fakultas Kehutanan IPB), dan baru direspon oleh
Departemen Kehutanan pada Tahun 2003. Dan untuk selanjutnya dilakukan
pembahasan-pembahasan, kemudian lahirlah secara resmi IHMB pada tahun 2007 yang
dibidani oleh Sofyan Warsito, Suwarno Sutarahardja, I Nengah Surati Jaya
(Fakultas Kehutanan IPB) dan Fadjar Pambudi (Fakultas Kehutanan Unmul), dengan
terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.34/Menhut-II/2007, kemudian
diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2009,
jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2011 dan diubah kembali
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2014.
Multi Sistem Silvikulture (MSS) digagas olen Andri
Indrrawan (Fakultas Kehutanan IPB) pada 23 Agustus 2008 dalam suatu seminar
nasional di IPB International Convention Center (IICC) Bogor dengan judul
“Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka
Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan”.
Selain dalam seminar tersebut, beliau selalu
mensosialisasikan pentingnya MSS dalam rangka memperbaiki produktivitas lahan
hutan pada pertemuan-pertemuan ilmiah, baik dilingkungan perguruan tinggi,
maupun dilingkungan para pelaku kegiatan pengelolaan hutan, swasta maupun
pemerintah.
Munculnya
gagasan tersebut adalah didasarkan pada pengalaman beliau ke lapangan, dimana
banyak dijumpai areal hutan di dalam hutan alam produksi, yang kondisinya
memprihatinkan, baik berupa tanah kosong, padang alang-alang, semak belukar,
maupun areal LOA yang produktivitasnya rendah dan tidak ada usaha untuk
memperbaiki dan mengelolanya.
Multi Sistem Silvikultur ini mulai direspon secara
resmi oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2009, yaitu tersirat dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.11/Menhut-II/2009
tentang Sistem silvikultur
Dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi.
Respon Kementerian Kehutanan lebih nyata lagi tentang MSS ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.65/Menhut-II/2014, tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem silvikultur Dalam areal Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi,
dimana MSS ini didefinisikan secara jelas pada pasal 1 dan penerapannya diatur
dalam pasal 6A.
X.
Penutup
Gagasan
Multi Sistem Silvikultur yang disampaikan oleh Prof. Andri Indrawan adalah
merupakan angin segar untuk meningkatkan kembali produktivitas lahan hutan dan
untuk memperbaiki kerusakan areal hutan sebagai akibat terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan,
yang merupakan dampak induksi yang bukan
disebabkan karena aktivitas IUPHHK, yaitu antara lain berupa perambahan hutan
oleh perladangan liar, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Pelaksanaan MSS ini
hendaknya merupakan tanggung jawab dari pemegang IUPHHK dan tertuang dalam
RKUPHHK.
Dengan gagasan tersebut, maka Prof. Andri Indrawan
adalah merupakan tokoh yang memperjuangkan pembangunan kehutanan dalam rangka
memperbaiki keterpurukan sumberdaya hutan, baik kualitas tegakan hutannya,
maupun pemantapan kawasannya.
Untuk IUPHHK-HA, mungkin perlu difasilitasi tentang
hak aset tanaman yang dilaksanakan dengan sistem THPB. Karena hutan ditanam
oleh pemegang IUPHHK-HA, bagaimana perlakuan asetnya, apakah tetap akan
dipungut DR apabila kelak tegakan hutan dipanen dan juga masalah-masalah
lainnya yang berkaitan dengan penenaman hutan pada hutan alam.
Bogor,
9 September 2015.
3 comments:
Aswrwb sistem MMS menurut sy masih berbasis pada produksi kayu, sebenarnya ada kelemahannya yaitu Pasar kayu hard Wood terbatas tolong di kaji harga jual log sejak 1985 sampai sekarang harga hanya berkisar 100sd 120 us / m3.sedang Cost eksploitasi , pemeliharaan dll makin naik yg awal 25us/ m3 sekarang mungkin mencapai 70 SD 80 us / m3, kondisi ini yang menyebabkan menurunnya gairah usaha kehutanan dan juga faktor yg lain sosial,ekonomi, keamanan dll.MSS secara teori silvikultur memang jawaban tepat. Tetapi apa bisa menjawab masalah lapangan yg bertumpuk tumpuk dari teknis administrasi kehutanan, masyarakat ,keamanan, dll.saran sy sebaiknya MSS juga perlu didukung aturan teknis sosial , lingkungan, ekonomi, dan dikaji benar2 supaya kelestarian hutan dan pembangunan kehutanan dapat tercapai.( mis apakah pelaku usaha tertarik hanya pada prod kayu saja atau dikembangkan deversikasi product non kayu,Pariwisata dll sehingga BCR ,danNPV menjamin kelangsungan usaha,salut buat Prof Andrie dkk semua ,hormat kami Waskito)
Terima Kasih Masukkannya P. Waskito. Saran2 bapak sangat berguna bagi kami.
Terima Kasih Masukkannya P. Waskito. Saran2 bapak sangat berguna bagi kami.
Post a Comment