MULTISISTEM SILVIKULTUR
Oleh :
Hutan merupakan salah satu
sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan manfaatnya memberikan
pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta bertambahnya jumlah penduduk maka menyebabkan
kebutuhan manusia menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada
ketergantungan manusia terhadap sektor kehutanan menjadi semakin meningkat
sehingga dapat mempengaruhi kondisi hutan secara ekologis. Oleh karena itu
diperlukan konsep pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya
diharapkan dapat menambah nilai ekonomi namun tetap menjaga fungsi ekologis.
Selama ini, peranan hutan
cenderung hanya dilihat sebagai penghasil komoditas, terutama kayu, sehingga
menjadi perebutan kepentingan berbagai pihak secara tidak terkendali yang
akhirnya mengancam keberadaan dan kelestariannya. Kesalahan persepsi dalam
melihat hutan hanya dari sisi ekonomi ini merupakan suatu kesalahan fatal.
Karena manfaat hutan yang terbesar adalah dari hasil non kayu berupa manfaat
ekologi.
Berdasarkan
hasil penelitian IPB (1999) dalam Departemen Kehutanan (2001), nilai guna
hutan, berupa nilai langsung (kayu, non kayu) hanya mencapai 4,5% sedangkan
sisanya merupakan nilai keberadaan (habitat, flora, fauna, penyangga kehidupan)
dan manfaat ekologi dan lingkungan hidup. Hal ini berarti pemanfaatan kawasan
hutan produksi selama lebih dari 32 tahun hanya menghasilkan nilai guna hutan
maksimum 4,5% dan telah menghilangkan manfaat lainnya sebesar 95%.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam telah terfragmentasi
menjadi berbagai penutupan lahan. Sesuai
dengan lokasi IUPHHK pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal hutan
produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal
hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), areal hutan rawang (tidak
produktif) bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar
dan padang alang-alang.
Fragmentasi habitat pada areal IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas
pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai
tuntutan terhadap hutan tersebut.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK
menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik. Solusi untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan
lainnya serta dapat mempertahankan kawasan hutan dapat dilakukan dengan multi
usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Restorasi ekosistem dengan menggunakan sistem
silvikultur yang tepat melalui Multisistem Silvikultur dengan pemilihan jenis
pohon yang secara ekologis sesuai dengan tapak/habitat lahan sangat perlu
dilakukan agar supaya hutan dapat pulih kembali dan memenuhi fungsinya baik
fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi.
Hingga
saat ini, Indonesia kehilangan hutan aslinya sebesar 72%. Penebangan hutan yang
tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan adanya penyusutan hutan
tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan 1985-1997 tercatat 1,6 juta
hektar per tahun, sedangkan pada 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun (Forest
Watch Indonesia, 2001).
Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, wilayah hutan di Indonesia luasnya
120,35 juta ha (61 % dari luas daratan)
yang menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari: Hutan Produksi 58,25 juta ha, Hutan Produksi
yang dapat dikonversi 8,08 juta ha, Hutan Lindung 33,52 juta ha dan Hutan
Konservasi 33,52 juta ha. (Rusli, 2008).
Dari 120,35 juta Ha kawasan hutan negara, hampir separuhnya, 46,5% atau
55,93 juta Ha, tidak dikelola secara intensif, karena ijin-ijin yang sebelumnya
ada tidak lagi beroperasi Untuk kawasan
hutan lindung, pada umumnya tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Kondisi demikian itu ikut memicu
terjadinya alih fungsi penggunaan kawasan hutan terutama berupa pemukiman,
kebun, tambang, yang hingga saat ini mencapai 17,6 juta Ha. Sensus desa oleh
Biro Pusat Statistik tahun 2007, menunjukkan bahwa sudah terdapat 16.570 desa
di dalam kawasan hutan negara di 15 propinsi.
(Kartodihardjo, 2013).
Untuk Hutan Produksi terjadi degradasi
yang sangat fantastis yaitu Jumlah HPH/IUPHHK
HA pada tahun 1992 jumlah HPH 580 unit
(luas menurut SK 61,38 Juta ha dan luas areal efektif 42, 97 juta ha)
dan pada tahun 2011 jumlah HPH menjadi 294 unit. (luas menurut SK
23,24 Juta ha dan luas areal
efektif 16, 27 juta ha). Pada tahun 2011 jumlah RKT yang
telah disyahkan 137 unit HPH.
Dari tahun 1992
s/d 2011 telah terjadi penurunan jumlah HPH/IUPHHK Hutan Alam 287 unit, dengan penurunan luas menurut SK
38,14 Juta ha dan penurunan luas efektif 26,70 Juta ha. Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri) pada 2011, 249 unit dengan luas izin 10.046.839 ha. Yang berarti kita kehilangan luas hutan produksi seluas kurang lebih
28 Juta ha yang sekarang telah menjadi peruntukan lain.
Permasalahan
lain yaitu dalam proses perpanjangan HPH/ IUPHHK yang diperpanjang yaitu luas
areal hutan efektif yang berhutan saja.
Misalnya luas HPH awal 225.000 ha pada waktu perpanjangan HPH/IUPHHK luas hutan
efektif areal berhutan 125..000 ha jadi dalam sk perpanjangan disetujui dan
dicantumkan luas 125..000 ha. Sisanya 100.000 ha yang merupakan areal hutan rawang (tidak produktif)
bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan
padang alang-alang menjadi open access dan berubah menjadi penggunaan lain.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam (294 unit) telah
terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Sesuai dengan lokasi IUPHHK pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS),
baik Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir,
areal hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua atau lebih
tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan
(LOA), areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, areal hutan
rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.
Areal Hutan Produksi pada IUPHHK terfragmentasi untuk berbagai
kepentingan seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran
wilayah yang demikian cepatnya di Indonesia. Fragmentasi habitat pada areal
IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan
dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK
menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik. Solusi untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan
lainnya serta dapat mempertahankan kawasan hutan dapat dilakukan dengan multi
usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari
yang terdiri dari dua atau lebih Sistim
Silvikultur yang diterapkan pada
suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan
meningkatkan produksi kayu dan hasil
hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. (Indrawan,
2008).
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan
pada penerapan Multisistem silvikultur
pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI diterapkan pada
areal hutan primer dan Log over Area (Hutan bekas tebangan TPTI). TPTII/SILIN
(Tebang Pilih Tanam Intensif/ Silvikultur Intensif) diterapan pada hutan
sekunder yang telah rusak/ areal hutan bekas illegal logging), kemudian pada
areal hutan rawang, semak belukar dan padang alang-alang diterapakan THPB
(Tebang Habis dengan Permudaan Buatan) dan THPB pola Agroforestry: Penanaman disesuaikan dengan pemilihan jenis pohon secara Ekologi
menurut Tapak yang sesuai untuk jenis-jenis pohon. Sehingga keberhasilan dan
produktifitas hasil dapat terjamin.
Berdasarkan data Dephut, 2009 dari HPH yang masih aktif pada tahun 2009
dari data spasial digital yang kami olah
dengan aplikasi GIS yang ada di kawasan Hutan Produksi dan Hutan Produksi
Terbatas yang terfragmentasi menjadi hutan primer, hutan sekunder dan non
hutan. Tutupan hutan ini disederhanakan
dengan tujuan untuk bisa menerapkan tiga sistem silvikultur (Multisistem
Silvikultur) pada keseluruhan kawasan HPH yang masih aktif. Kawasan hutan
primer dan LOA TPTI akan menggunakan sistem TPTI dengan permudaan alami dan
proses suksesi alami menjadi penentu kembalinya hutan bekas tebang pilih ke
kondisi yang lebih baik pada periode
waktu tertentu. Kawasan hutan sekunder
adalah kawasan yang bisa diterapkan SILIN (TPTII). Sedangkan kawasan non hutan akan digunakan
Sistem Silvikultur THPB.
Untuk
Hutan Kalimantan. Jika seluruh potensi kawasan hutan sekunder dan non hutan di
Kalimantan digunakan untuk pembangunan HPH dengan multisistem silvikultur, maka
akan ada tambahan potensi serapan karbon sebesar 60 juta ton karbon pada tahun
2020. Jika memperhitungkan potensi
karbon dari hutan alam (TPTI), maka total potensi serapan karbon sampai tahun
2020 mencapai 620,3 juta ton C.
Jika
menggunakan data untuk seluruh kawasan hutan di Indonesia, dengan
menggunakan data maka potensi serapan karbon dengan menggunakan multisistem
silvikultur. Prediksi total serapan karbon pada tahun 2020 bisa
mencapai 4,3 giga ton (GT). Angka ini
terlihat fantastis, mengingat prediksi emisi Indonesia pada tahun 2020 adalah
2,95 GT. Komitmen penurunan sebesar minimal 26% mengharuskan Indonesia mencapai
penurunan emisi sebesar minimal 0,77 GT. Pencapaian serapan karbon dengan menggunakan angka perhitungan serapan karbon sebesar 4,3
GT bukan tidak mungkin dicapai. Jika 50
% dari hitungan itu tercapai, bukan tidak mungkin sektor kehutanan bisa
menyumbang target pencapaian penurunan emisi sebesar minimal 26% pada tahun
2020. (Indrawan, A. Dan Bambang, T,A., 2011).
Penutup
Terjadinya
degradasi dan deforestasi hutan telah memberikan implikasi yang sangat luas dan
mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia. Fungsi-fungsi lingkungan
yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan manusia terabaikan,
beranekaragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan
yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang. Disadari bahwa suatu
ketika, sumberdaya hutan yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia akan habis
dan punah apabila pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan
berkelanjutan, yang tidak memperhatikan kelestarian fungsi produksi, fungsi
ekologi dan lingkungan dan fungsi sosial, ekonomi dan budaya.
Dengan diterapkannya Multisistem Silvikultur, produksi kayu dan
hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan, Ekonomi menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan Hidup dapat dipertanggung jawabkan dan kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif
sehingga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan berperan aktif dalam kegiatan
revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.
Catatan:
Kegiatan yang telah dilaksanakan Penulis sehubungan
dengan Multisistem Silvikultur (MSS):
- MSS
Dimuat dalam Buku II Pemikiran Guru Besar IPB.Pemikiran Guru Besar IPB.
Topik yang
ditulis penulis: “Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan
Penerapan Multusistem Silvikultur”.
DImuat dalam buku II. Pemikiran Guru
Besar IPB. Penerbit IPB Press, Bogor.Oktober 2009.
- Ketua Organizing
Comitee Lokakarya Multisistem Silvikultur.
Launcing “
Multisisitem Sivikultur” sebagai gagasan Penulis
Penulis sebagai Ketua Organizing Comitee pada Lokakarya Nasional Penerapan
Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktifitas dan
Pemantapan Kawasan Hutan Kerjasama
antara Fakultas Kehutanan IPB dengan Direktorat Bina Produksi
Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor,
23 Agustus 2008
C. SK Tim Pakar Multisistem Silvikultur tahun 2013,
2014 telah dikeluarkan oleh Dirjen Bina Usaha Kehutanan Dan pada Tahun 2015. Sk
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dimana
penulis Wakil Koordinator wilayah 2 Tim
Pakar Ekologi dan Lingkungan.
Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan. 2001. Kebijakan Pembangunan
Kehutanan Dalam Era Otonomi Daerah. Studium Generale – Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Kamis 8 Maret 2001, Bogor.
Forest Watch
Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW) 2002. The state of the forest:
Indonesia. FWI/GFW, Bogor and Washington, DC.
Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem
Silvikultur di Indonesia. Dipresentasikan pada Lokakarya Nasional Penerapan
Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka
Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. IICC, 23 Agustus 2008.
Indrawan, A dan Bambang. T.A. 2011. Implementasi
Multisistem Silvikultur dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan.Dipresentasikan pada Seminar Implementasi Multisistem
Silvikultur di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
19 Desember 2011.
Indrawan, A. 2013 Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Hutan Produksi Lestari di Indonesia berdasarkan Multisistem Silvikultur. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Silvikultur. Fakultas Kehutanan . Universitas Hasanudin,
Makassar. 29 Agustus 2013.
Kartodihardjo, H. 2013. Amputasi Kawasan Hutan
Negara. Milis Goglegroup Fahutan IPB.
Rusli, Y. 2008. Kondisi
Hutan Produksi Saat Ini. Prosiding
Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan
Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan.
Kerjasama antara Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.
0 comments:
Post a Comment