Oleh :
Pendahuluan
Sumberdaya hutan beserta lingkungannya
merupakan kesatuan sistem ekologis atau ekosistem yang mempunyai manfaat
langsung dan tak langsung bagi manusia. Dalam ekosistem sumberdaya ini manusia
bertindak sebagai konsumen, dan berperan aktif dalam menjaga kelangsungan dan
manfaatnya.
Kegiatan pengusahaan hutan dalam
bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam adalah salah satu
pendayagunaan sumberdaya alam oleh kegiatan manusia. Kegiatan ini pada
hakekatnya adalah melakukan perubahan-perubahan dari ekosistem hutan yang
umumnya sudah mantap.
Perubahan dan gangguan terhadap
ekosistem sumberdaya alam dan lingkungannya akan menimbulkan masalah lingkungan
hidup yang baru, baik yang positif maupun negatif. Masalah lingkungan hidup ini
ada yang langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, seperti masalah
kesehatan, sosial ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Ada pula dampak yang
tidak langsung dirasakan, seperti kerusakan ekosistem alam, berupa menurunnya
produktifitas hutan.
Multisistem Silvikultur
Sejak keluarnya Peraturan
pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan sejak itu HPH mulai
beroperasi di Indonesia dan disusul dengan
Surat keputusan
Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972
tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan 29
– 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto “Kini Menanam Esok
Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman Industri” karena
padanan bahasa indonesia dari “Timber Estate” pada Lokakarya
Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang
Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan
Reboisasi dan Permudaan Hutan.
Pengelolaan hutan sejak HPH dan HP HTI beroperasi baik pada
IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) sampai saat saat ini umumnya dilakukan dengan satu sistem
silvikultur.
Pengelolaan hutan dengan satu sistem silvikultur sudah
tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan, dimana areal hutan produksi
khususnya pada IUPHHK hutan alam telah terftragmentasi menjadi berbagai tutupan
lahan sesuai dengan tingkat degradasi Hutan
yang terjadi. Yang sangat membutuhkan diterapkannya Multisistem
silvikultur.
Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan
produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih Sistim Silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha
dengan tujuan: mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Terfragmentasinya
habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan
yang lebih baik dengan menerapkan satu
atau lebih sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur) pada suatu areal
IUPHHK.
Memperhatikan hal
tersebut di atas dan dalam kerangka meningkatkan produktivitas hutan produksi
di dalam areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka
upaya untuk merancang ulang pengelolaan areal hutan melalui penerapan
multisistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik kawasan hutan setempat
perlu mendapat perhatian para rimbawan. Melalui strategi ini, diharapkan
potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan
ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara
lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam
telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Fragmentasi areal IUPHHK
hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui Multisistim Slvikultur untuk
mengembalikan fungsi hutan baik fungsi ekonomis
berupa kayu dan hasil hutan lainnya maupun fungsi ekologis berupa
hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan serta fungsi sosial dan
budaya masyarakat disekitar hutan.
Berdasarkan
simulasi model, diantaranya dapat dibuktikan bahwa menggunakan 3 sistem
silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB) memberikan proyeksi total produksi 378%
lebih besar dibandingkan menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII). Selanjutnya campuran 3 sistem ini dapat
menyerap 257% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang lebih besar daripada
menggunakan campuran 2 sistem (TPTI dan TPTII).
Dari aspek kebijakannya, penerapan multisistem silvikultur membutuhkan
suatu aturan perundangan atau petunjuk teknis yang dapat menjelaskan dan mempertegas suatu kriteria batas dan arah
penggunaan sistem silvikultur pada kondisi kluster kawasan yang sesuai.
Permenhut No. N0. P11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur belum dapat
digunakan sebagai dasar penerapan multisistem silvikultur di tingkat lapangan
karena dapat menyebabkan tabrakan 3 sistem dalam pemanfaatan kluster kawasan
hutan bekas tebangan. (Suryanto, 2009)
Restorasi Ekosistem
Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik
(flora dan fauna) serta unsur biotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan
hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati (Peraturan Menteri
Kehutanan,
No. P.18//Menhut- II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004.)
No. P.18//Menhut- II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004.)
Restorasi ekosistem pada hutan hujan Tropika meliputi Ekosistem Daerah
Aliran Sungai (DAS) baik ekosistem hulu, tengah maupun hilir. Sebagai akibat
adanya degradasi hutan hujan tropika baik didaerah hulu dan hilir DAS maka
areal hutan menjadi tidak produktif baik ditinjau secara ekologi, ekonomi
maupun sosial. Areal hutan primer berubah menjadi areal hutan bekas tebangan
TPTI, areal hutan bekas kebakaran, areal
hutan bekas illegal logging dan areal
hutan bakes perladangan. Areal tersebut dapat berupa hutan sekunder, semak
belukar dan padang alang-alang. Dimana pada areal tersebut terdapat berbagai macam vegetasi yang
terbentuk sesuai dengan tingkat degradasi vegetasi pada areal tersebut.
Restorasi ekosistem dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat
perlu dilakukan agar supaya hutan dapat pulih kembali dan memenuhi fungsinya
baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi.
Pemilihan Jenis Pohon
Sebagai akibat adanya degradasi hutan hujan tropika
baik didaerah hulu dan hilir DAS maka areal hutan menjadi tidak produktif baik
ditinjau secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Areal hutan primer berubah
menjadi areal hutan bekas tebangan TPTI,
areal hutan bekas kebakaran, areal hutan bekas illegal logging dan areal
hutan bekas perladangan. Areal tersebut dapat dapat berupa hutan sekunder,
semak belukar dan padang alang-alang, yang terbentuk sesuai dengan tingkat
kekerasan dan atau frekuensi degradasi
dari vegetasi alam yang sebelumnya merupakan hutan primer. Pada areal tersebut
terjadi proses suksesi sekunder yang menuju pada keseimbangan alam yang dinamis
(Hutan Klimaks) kalau tidak terdapat gangguan lagi. Vegetasi yang terbentuk
setelah degradasi hutan merupakan pencerminan dari keadaan habitat.
Pada Areal Hutan Bekas Tebangan TPTI secara ekologis paling sesuai
untuk diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon
komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan produksi dan 60 cm
keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPI tersebar dalam bentuk
rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis pohon komersial
ditebang pada areal bekas tebangan. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk
menjamin kelestarian manfaat hutan baik langsung maupun manfaat tidak langsung
melalui rotasi tebang dan siklus hara.
Areal Hutan Bekas Tebangan TPTI diperlakukan sebagai suatu ekosistem
hutan, pada areal yang permudaan alamnya kurang (Nilai Frekuensi
permudaan semai ≤ 40%) dilakukan
penanaman pengayaan (Enrichment Planting). Dan pada areal yang permudaan alamnya cukup (Nilai
Frekuensi Tingkat permudaan semai ≥ 40%) dilakukan pembebasan tajuk baik
pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal. Penanaman
pengayaan bercermin pada jenis-jenis pohon yang ditebang dengan menggunakan jenis pohon terpilih dari famili Dipterocarpaceae
(Shorea spp, Dipterocaprus, spp,
Dryobalanops spp, Hopea spp dan Vatica spp dsb.) maupun jenis-jenis pohon
non Dipterocarpaceae yang bersifat setengah toleran (Scyphyt) yaitu pada waktu
muda membutuhkan naungan dan setelah dewasa membutuhkan sinar matahari
penuh.
Pada areal hutan yang tidak produktif dapat digunakan sistim silvikultur
TPTJ dan atau sistim TPTII
dengan teknik silvikultur Silin.
Untuk sistem TPTJ Pengadaan bibit dapat berasal dari
biji/benih (biji dan cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk
jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema
canestens).( SK. Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10
September 1998),
Untuk Teknik Silvikultur Silin (TPTII), Jenis-jenis pohon
dari famili Dipterocarpaceae unggulan (Jenis-jenis Target) yang disarankan dan dapat merupakan pilihan untuk ditanam pada
areal TPTII (Silin) adalah Jenis jenis
pohon hasil uji jenis.. Jenis-jenis
pohon hasil uji adalah sbb: Shorea
leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S.
platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp.
(Sukotjo, Subiakto dan Warsito, 2005).
Pada daerah-daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang alang-alang
dipilih jenis jenis pohon yang bersifat intoleran yang membutuhkan cahaya
matahari penuh (Jenis pohon Heliophyt) seperti Jabon (Anthocephalus cadamba, Anthocephalus chinensis, Macaranga spp,
Trema spp), Sengon (Paraserianthes falcataria, Acacia mangium, Eucalyptus spp,
Tectona grandis), dsb.
Pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan ekologi
lahan-lahan yang terdegradasi sangat
dibutuhkan untuk keberhasilan restorasi ekosistem. Jenis asli setempat adalah
jenis yang terbaik untuk ditanam pada daerah yang bersangkutan, bila jenis asli
tidak sesuai dengan pengembangan ekonomi daerah yang bersangkutan dapat
didatangkan jenis exotik baik dari luar pulau atau luar daerah yang secara
ekologi sesuai dengan areal restorasi. Dalam pemilihan jenis untuk Multisistim
Silvikultur (MSS) pertama-tama perlu ditentukan jenis-jenis pohon yang sesuai
dengan masing-masing tipe iklim, mulai iklim humida (basah) hingga iklim yang
kering.
Ditentukan pula jenis-jenis pohon menurut kesesuaiannya pada letak
tinggi di atas permukaan laut.
Selanjutnya dipilih menurut persyaratannya mengenai keadaan tanah dan
kedudukan serta sifat dalam tegakan hutan (toleransinya terhadap
cahaya).Persyaratan tumbuh dari jenis-jenis pohon terhadap tipe hujan, letak
tinggi di atas permukaan laut, toleransinya terhadap cahaya dan hubungannya
dengan keadaan tanah disajikan pada Tabel 2. (Soerianegara dan Indrawan, 2015).
Tabel 2. Hubungan antara jenis-jenis tanaman dengan keadaan ekologis
No.
|
Jenis
Tanaman
|
Tipe
Hujan
|
Kebutuhan
Cahaya
|
Ketinggian
dpl (m)
|
Keadaan
tanah
|
||
Kedalaman
|
Kesuburan
|
Drainage (ketahanan jenis terhadap kekurangan Oksigen (O2))
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
1.
|
Acacia
auriculiformis
|
C,
D
|
Intoleran
|
0
- 800
|
Toleran
thd. tanah dangkal
|
Toleran
thd. tanah kurus
|
-
|
2.
|
Acacia
decurens
|
A,
B, C
|
Intoleran
|
1000
- 2000
|
Tidak
diketahui
|
Tidak
diketahui
|
-
|
3.
|
Acacia
catechu
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
0
– 400
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
pada tanah kurus
|
-
|
4.
|
Agathis
borneensis
|
A,
B
|
Setengah
toleran
|
0
– 400
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Membutuhkan
tanah subur
|
-
|
5.
|
Agathis
labillardieri
|
A,
B
|
Setengah
toleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Membutuhkan
tanah subur
|
-
|
6.
|
Agathis
loranthifolia
|
A,
B
|
Setengah
toleran
|
400
– 1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Membutuhkan
tanah subur
|
-
|
7.
|
Albizia
falcataria
|
A,
B, C
|
Intoleran
|
0
– 1200
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Membutuhkan
tanah subur
|
50
– 60 hari
|
8.
|
Albizia
lebbeck
|
C,
D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
60
– 70 hari
|
9.
|
Altingia
excelsa
|
A
|
Toleran
|
600
– 1600
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Membutuhkan
tanah subur
|
-
|
10.
|
Athocephalus
cadamba
|
A,
B, C, D
|
Intoleran
|
0
– 1200
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Tidak
diketahui
|
-
|
11.
|
Cassia
siamea
|
C,
D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
40
– 50 hari
|
12.
|
Castanea
javanica
|
A
|
Toleran
|
300
– 1600
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Membutuhkan
tanah subur
|
30
– 40 hari
|
13.
|
Casuarina
equisetifolia
|
A,
B, C, D
|
Intoleran
|
0
– 400
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
90
– 100 hari
|
14.
|
Casuarina
junghuhniana
|
A,
B, C, D
|
Intoleran
|
400
– 1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
15.
|
Dalbergia
latifolia
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
70
– 80 hari
|
16.
|
Dalbergia
sisse
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
50
– 60
|
17.
|
Dryobalanops
aromatica
|
A
|
Setengah
toleran
|
0
– 400
|
Tidak
diketahui
|
Tidak
diketahui
|
-
|
18.
|
Eucalyptus
alba
|
C,
D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
40
– 50 hari
|
19.
|
Eucalyptus
alba sub species platyphylla
|
D
|
Intoleran
|
-
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
20.
|
Eucalyptus
deglupta
|
A,
B
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
21.
|
Eucalyptus
grandis
|
C,
D
|
Intoleran
|
800
– 1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
22.
|
Eucalyptus
saligna
|
C,
D
|
Intoleran
|
800
– 1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
23.
|
Eucalyptus
umbellata
|
C,
D
|
Intoleran
|
800
– 1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
24.
|
Gmelina
arborea
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Membutuhkan
tanah subur
|
-
|
25.
|
Legerstroemia
speciosa
|
A,
B
|
Setengah
toleran
|
0
– 400
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
26.
|
Maesopsis
eminii
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
400
– 1200
|
Tidak
diketahui
|
Tidak
diketahui
|
-
|
27.
|
Melaleuca
leucadendron
|
A,
B, C, D
|
Intoleran
|
0
– 400
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
28.
|
Pinus
caribaea
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
0
– 800
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
29.
|
Pinus
insularis
|
B,
C
|
Intoleran
|
800
– 1200
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
40
– 50 hari
|
30.
|
Pinus kasya
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
800
– 1200
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
31.
|
Pinus
merkusii
|
B,
C, D
|
Intoleran
|
200
– 1700
|
Toleran
thd tanah dangkal
|
Toleran
thd tanah kurus
|
40
– 50 hari
|
32.
|
Podocarpus
imbricatus
|
A,
B, C
|
Setengah
toleran
|
1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
33.
|
Pterospermum
javanicum
|
A,
B, C
|
Intoleran
|
0
- 400
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
34.
|
Santalum
album
|
C,
D
|
Intoleran
|
0
- 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
10
– 20 hari
|
35.
|
Schima
noronhoe
|
A,
B
|
Toleran
|
800
– 1200
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Membutuhkan
tanah subur
|
-
|
36.
|
Swietenia
macrophylla
|
B,
C, D
|
Toleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
70
– 80 hari
|
37.
|
Swietenia
mahagoni
|
C,
D
|
Toleran
|
0
– 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
70
– 80 hari
|
38.
|
Shorea javanica
|
A,
B, C
|
Setengah
toleran
|
0
– 400
|
Tidak
diketahui
|
Toleran
thd tanah kurus
|
-
|
39.
|
Shorea
leprosula
|
A,
B, C,
|
Setengah
toleran
|
0
– 400
|
Tidak
diketahui
|
Toleran
thd tanah kurus
|
60
– 70 hari
|
40.
|
Tectona
grandis
|
C,
D
|
Intoleran
|
0
- 800
|
Membutuhkan
tanah dalam
|
Toleran
thd tanah kurus
|
0
– 10 hari
|
Keterangan
:
Sumber
: de Hulster, 1974. Reforestation in eroded soil
H. Djiun, 1960.
Diktat Silvikultur khusus
Sukotjo, 1976. Silvika
Areal Hutan Bekas Kebakaran
Beberapa kali terjadi kebakaran
hutan besar sejak tahun 1980 yaitu tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1994 dan 1997/1998
meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan dan
Sumatra Barat (KLH dan UNDP, 1998) disamping Sulawesi dan Irian Jaya. Kebakaran hutan terbesar 1982-1983 di Kaltim yang
meliputi 3,5 juta ha (56 kali luas
Negara Singapura), sangat mengejutkan dunia.
Bencana kebakaran hutan yang terbesar sapanjang sejarah Indonesia terjadi
pada tahun 2015 dan mencapai puncaknya sekitar Juni-Oktober yang membakar 2,61
juta ha hutan dan lahan yang menyebabkan
kerugian 221 triliun rupiah dan mnimbulkan kabut asap pekat yang mengakibatkan
24 orang menungggal serta 600.000 jiwa menderita inveksi saluran pernafasan akut (ispa) (CNN
Indonesia, (2015)
Rehabilitasi Hutan
Bekas Kebakaran mutlak dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
produktivitas Areal Hutan Bekas Kebakaran. Beberapa pemikiran pokok dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Pada Areal Hutan
Bekas Kebakaran yang terbakar dengan kerusakan berat (jumlah pohon hidup dan
sehat 25-50 %) dan kerusakan sangat berat (jumlah pohon yang hidup dan sehat
< 25%) diterapkan sistim Tebang Habis
Dengan Permudaan Buatan (THPB).
Pada areal Hutan Bekas Tebangan yang terbakar ringan
(pohon hidup >75 %) dan terbakar sedang (pohon hidup 50 – 75 %) dapat
dilakukan dengan sistim Tebang Pilih Tanam Jalur ( TPTJ).
Pada virgin
forest yang terbakar ringan dan sedang dapat dilakukan dengan sistim TPTI.
Sedangkan pada virgin forest yang terbakar berat dan sangat berat dapat
dilakukan THPB (Tebang Habis dengan permudaan buatan)
Penutup
Rehabilitasi
Areal Hutan yang
telah terdegradasi baik karena kebakaran hutan dan kegiatan2 lainnya sebaiknya
segera dilakukan dangan melibatkab perusahaan pemegang Hak Baik IUPHHK, Perkebunan. dan masyarakat di sekitar hutan. Rehabilitasi
hutan dapat dilakukan dengan sistim Comunity Development melalui Hutan Rakyat
atau Hutan Tanaman Industri dengan
Koperasi Tani Hutan.
Kepmen
LHK dan PP untuk Multisistem Silvikultur diharapkan segera terealisir. Yang
diikuti dengan . Pedoman dan Petunjuk
Teknis tentang Rehabilitasi areal hutan
yang tersegradasi terutama areal hutan bekas kebakaran.
Daftar
Pustaka
CNN Indonesia.
2015 Bencana Besar di Indonesia Sepanjang 2015.
Departemen
Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004.
tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Dephut. Jakarta.
Departemen
Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004. tentang
Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Dephut. Jakarta.
KLH dan UNDP. 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di
Indonesia. Dampak, Faktor dan Evaluasi. Kantor menteri Negara Lingkungan Hidup.
Jakarta.
Soekotjo, A. Subiakto dan
S. Warsito 2005. Project Completion Report ITTO. PD 41. Faculty of Forestry.
Gajah Mada University. Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Teknik
Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Soerianegara dan Indrawan, 2015. Ekologi Hutan
Indonesia. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.
Suryanto, 2009. Model dan
Simulasi dalam Pengambilan Keputusan Sistem Silvikultur dan Aspek Kebijakannya.
Paper dibawakan pada Seminar Gelar Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, 19 Nov 2009.
2 comments:
Prof, kenapa tidak diuraikan perlunya restorasi ekosistem dengan menggunakan metode multisystem silvikultur pada kasus kebakaran hutan 2015?
Terima Kasih masukkannya P. Rusli
Post a Comment