Thursday, December 31, 2015

Peranan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan Multi Sistem Silvikultur (MSS) dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Hutan

Peranan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan
Multi Sistem Silvikultur (MSS)
dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Hutan[1])

Oleh :
Ir. Suwarno Sutarahardja[2])

I.        Pendahuluan
Pengusahaan hutan telah dilakukan sejak lama, bahkan sejak pemerintahan Kolonial Hindia Belanda melalui pendirian panglong didaerah Sumatera Timur dan Kalimantan Tengah, dan berkembang lebih lanjut pada pemerintahan Orde Lama setelah diterbitkannya PP no 64 tahun 1957 Tentang Desentralisasi. Namun pengembangan Usaha Pemanfaatan Hutan dalam Unit Usaha yang berazaskan kelestarian diluar P. Jawa baru dikembangkan pada pemerintahan Orde Baru setelah keluarnya UU no 5 Tahun 1967 yang diikuti dengan PP no 22 Tahun 1968 Tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH), PP no 21 Tahun 1970 Tentang  Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan ( HPHH), serta PP no 33Tahun 1970 Tentang Perencanaan Hutan.
Dalam rangka pengembangan investasi di berbagai bidang pemerintah RI berupaya memfasilitasinya melalui UU no 1 Th 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU no 6 Th 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kebijakan ini disambut oleh banyak pihak termasuk pengusaha hutan. Patungan yang dimaksud sesungguhnya adalah modal asing dan modal dalam negeri bekerjasama membentuk badan hukum di Indonesia (Joint Enterprise).

II.       Pengelolaan Hutan Produksi Saat Ini.
1. Dengan beroperasinya kegiatan HPH sejak tahun 1970, maka berakibat terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan dan timbul dampak induksi  yang bukan disebabkan karena aktivitas HPH, yaitu antara lain berupa perambahan hutan oleh perladangan liar, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb.
2. Kondisi  hutan produksi saat ini telah memasuki siklus tebangan ke dua. Sebagian besar areal hutan berupa hutan bekas tebangan (LOA). Potensi tegakan LOA  rendah dan menyebar secara sporadis. Kondisi ini perlu optimalisasi pengelolaan hutan produksi untuk meningkatkan produktivitasnya.
3.  Peningkatan  produktivitas selama ini hanya terfokus pada areal yang berhutan saja, sedangkan yang rusak atau tidak berhutan belum mendapatkan perhatian yang serius. Diperlukan peningkatan produktivitas dan kualitas produk serta keanekaragaman hayati di areal hutan produksi.
4.  Kondisi riil  areal hutan alam saat ini sangat heterogen, sehingga tidak optimal bila pengelolaan hutannya hanya dengan satu sistem silvikultur
5. Didalam areal  kerja IUPHHK-HA saat ini banyak tumpang tindih dalam penggunaannya dengan sektor lain.

Dari butir-butir diatas, maka dalam pengusahaan hutan alam yang saat ini diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA), sesuai dengan izinnya, maka perusahaan yang beroperasi di dalam hutan alam tidak ada aturan kewajiban untuk melakukan penanaman pohon-pohon pada areal hutan yang tidak atau kurang produktiv (tanah kosong, semak belukar ataupun pada areal hutan yang produktivitasnya rendah), kecuali pada areal tanah kosong bekas camp atau base-camp, bekas TPN (tempat pengumpulan kayu) dan bekas TPK (tempat penimbunan kayu) serta hanya sebatas dalam hal pengayaan jenis pohon pada arel-areal bekas tebangan.
Dalam mengusahakan hutan melalui pemberian izin konsesi HPH atau IUPHHK-HA ini, tampaknya kurang berhasil untuk mempertahankan produktivitas hutan. Sejak awal kegiatan pemanfaatan hutan dilaksanakan pada akhir tahun 60an, produktivitas lahan hutan terus selalu menurun. Berdasarkan Data dari APHI tahun 2013, ternyata pemegang IUPHHK-HA dan Produktivitas Hutan menurun dari tahun ke tahun. Luas areal hutan yang dimanfaatkan para pemegang IUPHHK-HA dari tahun 1992 tercatat ± 61.380.000 ha dan tahun 2011 tinggal ± 23.240.000 ha dengan produktivitas hutan rata-rata dari 0,61 m3/ha/tahun menjadi 0,32 m3/ha/tahun (data dari APHI yang dimaksud tersebut disajikan dalam tulisan ini dalam bentuk rangkuman).
Dalam Tabel 1 dibawah ini, menunjukkan fakta terjadinya penurunan produktivitas lahan hutan alam serta riapnya.
Tabel 1. Fakta Penurunan Hasil Tebangan & Riap (APHI, 2012)
Tahun
Hasil Tebangan (m3/ha)
Riap (m3/ha/thn)
1995
50 - 60
1,57
2004 (pilot  Project)
40
1,14
2012
20 - 25
0,64
  
III.             Pengelolaan Hutan Produksi ke Depan
A.    Arah Pengembangan Hutan Produksi
1. Hutan alam produksi harus dikelola secara lestari sebagai  amanah  undang-undang.
2.Setiap areal hutan produksi harus dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat, sehingga dapat  meningkatkan produktivitasnya, aman secara ekologis dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. 
3. Kondisi  areal hutan produksi yang akan diterapkan sistem silvikultur tertentu harus sesuai kondisi ekologisnya.
4.  Penggunaan jenis target diutamakan jenis unggulan lokal
B.     Dasar Hukum
1. Pasal 34 Ayat (2) PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 : “Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem  silvikultur,  sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.”
2. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.65/Menhut-II/2014, tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem silvikultur Dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi.
3.Peraturan Direktur Jenderal BPK Nomor :  P.11/VIBPHA/2009, tentang Pedoman Tehnik Silvikultur Intensif (SILIN).

IV.             Multi Sistem Silvikultur (MSS)
1.   MSS mempunyai pengertian tentang penerapan lebih dari satu sistem silvikultur dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil hutan serta meningkatkan nilai financial dan ekonomi pemanfaatan/pengusahaan hutan, yang tertuang dalam suatu periode rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK).  
2.  Kondisi  areal hutan produksi yang akan diterapkan dengan sistem silvikultur tertentu harus sesuai kondisi ekologisnya. Kondisi areal hutan produksi dalam setiap awal Penyusunan Rencana (RKU) dapat diketahui penyebarannya berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB). Data IHMB adalah merupakan basis data untuk penyusunan Rencana Kerja Usaha (RKU), sehingga dalam RKU yang disusun berbasis data IHMB akan lebih terarah areal-areal yang akan dikelola dengan penerapan sistem silvikultur tertentu, sesuai dengan kondisi lapangannya.
3.  Sistem Silvikultur yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi arealnya antara lain : TPTI, TR (Tebang Rumpang), TJTI, TPTJ (baik dengan Sistem Silvikultur TPTJ Murni maupun dengan Sistem Silvikultur TPTJ dengan Teknik Silvikultur Intensif atau SILIN),  THPB, dan THPA (khusus di Hutan Payau/Mangrove).
4.  Kesesuaian pemilihan sistem silvikultur yang akan diterapkan didasarkan pada Kriteria dan Indikator tertentu.
  
V.                Pemanfaatan Hutan Alam
A.      Kebijakan Sistem Silvikultur
1.  Merujuk pada dasar hukum diatas, dalam  Peraturan Menteri Kehutanan, tentang Penerapan Multi Sistem Silvikultur Dalam Areal IUPHHK pada Hutan Produksi (Permenhut No. P.65/Menhut-II/2014), diatur dalam butir-butir sebagai berikut dibawah ini.
2.  Sistem Silvikultur  yang dapat diterapkan pada areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada  Hutan Produksi (IUPHHK-HA) adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Rumpang (TR), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dan khusus pada Hutan Payau/Mangrove, dapat diterapkan Sistem Silvikultur Tebang Habis Permudaan Alam (THPA). Penerapan sistem-sistem Silvikultur tersebut berdasarkan Kriteria dan Indikator yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal dan dituangkan dalam RKUPHHK-HA.
3. Perusahaan Pemegang IUPHHK-HA dapat menerapkan Multi Sistem Silvikultur, yaitu penerapan lebih dari satu Sistem Silvikultur dalam waktu bersamaan di areal kerjanya yang dituangkan dalam Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi (RKUPHHK-HA).
4.  Penerapan sistem silvikultur TPTI sebagaimana dimaksud dalam butir 2 diatas, untuk IUPHHK-HA diterapkan pada hutan alam primer (virgin forest) atau  hutan  bekas  tebangan  (logged  over  area)  di  areal IUPHHK-HA.
5.  Penerapan sistem silvikultur TPTJ sebagaimana dimaksud dalam  butir 2 diatas, diterapkan pada hutan bekas tebangan (logged over area) di areal IUPHHK-HA.  
6.  Sistem Silvikultur TPTJ  dapat dilaksanakan dengan  Sistem Silvikultur TPTJ Murni maupun menggunakan Sistem Silvikultur TPTJ dengan Teknik Silvikultur Intensif (SILIN).
7.  Teknik SILIN  sebagaimana  dimaksud  diatas  antara  lain  berupa  pemilihan jenis, pemuliaan  pohon,  penyediaan  bibit, manipulasi  lingkungan,  penanaman  dan pemeliharaan berdasarkan pedoman teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal.
8.  Penerapan sistem silvikultur THPB sebagaimana dimaksud diatas, untuk IUPHHK-HA dialokasikan pada areal hutan produksi yang tidak berhutan. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur THPB pada IUPHHK-HA ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.

B.       Daur dan Siklus Tebang
Siklus tebang pada tegakan hutan alam ditentukan berdasarkan diameter tebangan :  
a.  Pada hutan daratan tanah kering TPTI, TPTJ dan TJTI :
1)   30 (tiga puluh) tahun untuk diameter ≥ 40   (empat puluh) cm pada hutan produksi biasa dan atau hutan produksi yang dapat dikonversi dan  ≥ 50 (lima  puluh)  cm  pada  hutan  produksi  terbatas  dengan  sistem silvikultur TPTI atau TR.
2)   25 (duapuluh lima) tahun untuk sistem TPTJ pada jalur tanam selebar 3 (tiga) meter dilakukan tebang habis, dan di jalur antara ditebang pohon berdiameter ≥ 40 (empat puluh) cm.
3)   Untuk TJTI pada jalur tanam dengan lebar maksimal 140 (seratus empat puluh) meter, dilakukan tebang habis (land clearing) dan pada jalur antara, dengan lebar maksimal 35 (tiga puluh lima) meter dilakukan penebangan setelah penjarangan pertama pada jalur tanam selesai dilaksanakan.
b. Pada hutan rawa :
                        40 (empat puluh) tahun untuk diameter ≥ 30 (tiga puluh) cm.
c.  Pada hutan payau/mangrove :
20 (dua puluh) tahun untuk bahan baku chip, dan 30 (tiga puluh) tahun untuk kayu arang diameter ≥ 10 (sepuluh) cm.
VI.             Pemilihan Sistem Silvikultur Dalam MSS
A.      Persyaratan Biofisik Areal Dalam MSS
1.Penentuan Kriteria dan Indikator terhadap Biofisik Areal untuk dapat memberikan arahan dalam penentuan areal dalam penerapan Multi Sistem Silvikultur yang tepat.
2.Selain dari itu untuk mencapai efektifitas pemilihan dan penerapan sistem silvikultur sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya.
3.Evaluasi kondisi biofisik areal IUPHHK-HA dilakukan dengan overlay antara Peta Biofisik dan Peta Sediaan Tegakan Hasil IHMB
4.Berdasarkan penilaian sifat-sifat fisik areal menggunakan Kriteria dan indikator tertentu, maka dapat ditentukan pengelompokan yang sesuai dengan sistem silvikultur yang telah ditetapkan (TPTI, TPTJ, dan THPB).
B.       Skoring Kondisi Fisik Areal
Skoring didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/UM/11/1980.
1.      Klasifikasi Intensitas Hujan
Rata-rata Curah Hujan Tahunan (mm)
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Hari Hujan Tahunan (hh)
No.
Kelas Intensitas Hujan
Intensitas Hujan (mm/hari hujan)
Keterangan
Bobot
1.
1.
< 13,6
Sangat rendah


10

2.
2.
13,6 – 20,7
Rendah
3.
3.
20,7 – 27,7
Sedang
4.
4.
27,7 – 34,8
Tinggi
5.
5.
> 34,8
 Sangat Tinggi
2.  Klasifikasi Jenis Tanah
Klasifikasi Didasarkan Pada Kepekaan Erosi Menurut Jenis Tanah
Tabel 3. Klasifikasi Jenis Tanah
No.
Kelas
Tanah
Jenis Tanah
Kepekaan Erosi
Bobot
1.
1
Aluvial, Tanah Glei Planosol Hidromorf Kelabu, Laterita Air Tanah
Tidak Peka



15
2.
2
Latosol
Agak peka
3.
3
Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran
Kurang Peka
4.
4
Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolik
Peka
5.
5
Regosol, Litosol, Organosol, Rendzina
Sangat peka

3.      Klasifikasi Tingkat Kelerengan
Klasifikasi Kelas Lereng, Didasarkan Pada Tingkat Kemiringan Lereng
Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Kelerengan
No.
Kelas Lereng
Kemiringan Lereng
Keterangan
Bobot
1.
1
0 – 8 %
Datar


20
2.
2
8 – 15 %
Landai
3.
3
15 – 25 %
Agak Curam
4.
4
25 – 45 %
Curam
5.
5
> 45 %
Sangat Curam

4.      Perhitungan Skoring
Nilai Skor = (Kelas tanah X 15) + (Kelas lereng X 20) + (Kelas Intensitas Hujan X 10)

VII.          Hasil Kegiatan IHMB
A.      Sediaan Tegakan Jenis Komersil
Data sediaan tegakan diperoleh dari hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB), yaitu meliputi :
1.    Sediaan tegakan untuk seluruh jenis dan untuk jenis komersil
2.    Sediaan tegakan per kelompok  jenis
3.    Sediaan tegakan per kelas diameter
4.    Sediaan tegakan per hektar
5.    Sediaan tegakan per petak

B.       Kondisi Hutan dan Tipe Vegetasi Hutan
Data kondisi hutan/penutupan lahan hutan serta tipe vegetasi hutan dapat diperoleh dari hasil IHMB atau dapat pula dari citra satelit terbaru maksimal berumur 2 tahun, apabila IHMB belum dilaksanakan.
1.    Kondisi Hutan
  Hutan Primer
  Hutan Bekas Tebangan
  Areal Non Hutan
2.    Tipe Hutan
   Hutan Dataran Tanah Kering
   Hutan Rawa
   Hutan Payau/Mangrove

VIII.       Kriteria dan Indikator MSS
Tabel 5. Persyaratan Bio-fisik Areal Untuk Penerapan MSS
No.
Kriteria
Indikator Kesesuaian Sistem Silvikultur
TPTI/TR
TPTI/TPTJ
TPTJ
THPB
1.
Skor Kondisi Fisik Areal
≤ 175
≤ 150
≤ 150
≤ 125
2.
Sediaan tegakan hutan dari pohon komersil m3/ha

-

-

-

< 20
3.
Kondisi Hutan
Hutan Primer dan LOA
Hutan Primer dan LOA
LOA
LOA dan Non Hutan (Padang alang-alang, semak, tanah kosong)
4.
Tipe Vegetasi/Hutan
1.      Hutan Dataran tanah kering
2.      Hutan Rawa
Hutan Dataran Tanah Kering

1.       Hutan Dataran tanah kering
2.       Htn Rawa

1.      Htn Dataran tanah kering
2.      Htn Rawa
3.      Hutan Payau/mang- rove

IX.             Peran IHMB Dalam Multi Sistem Silvikultur
Penerapan sistem silvikultur di areal IUPHHK pada hutan produksi harus berdasarkan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) yang berbasis pada hasil IHMB, dimana IHMB dilaksanakan sekali dalam 10 tahun. Dengan kegiatan IHMB ini, maka kondisi hutan, baik sediaan tegakan maupun penutupan lahannya dapat diketahui, karena dalam IHMB, contoh (sample) yang diambil tersebar pada setiap petak (compartment), dengan kata lain pencatatan kondisi hutan dilakukan petak by petak. Dengan demikian akan dapat diketahui secara pasti petak-petak mana saja yang perlu ditingkatkan produktivitasnya. Untuk selanjutnya dengan bantuan skor kondisi fisik areal, maka dapat ditetapkan jenis system silvikultur yang perlu dilakukan pada suatu areal hutan tertentu, sebagaimana dalam Tabel 6 diatas.
IHMB sendiri  digagas pada tahun 2000an oleh Sofyan Warsito (Fakultas Kehutanan UGM dan Suwarno Sutarahardja (Fakultas Kehutanan IPB), dan baru direspon oleh Departemen Kehutanan pada Tahun 2003. Dan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan-pembahasan, kemudian lahirlah secara resmi IHMB pada tahun 2007 yang dibidani oleh Sofyan Warsito, Suwarno Sutarahardja, I Nengah Surati Jaya (Fakultas Kehutanan IPB) dan Fadjar Pambudi (Fakultas Kehutanan Unmul), dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.34/Menhut-II/2007, kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2009, jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2011 dan diubah kembali dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2014.

Multi Sistem Silvikulture (MSS) digagas olen Andri Indrrawan (Fakultas Kehutanan IPB) pada 23 Agustus 2008 dalam suatu seminar nasional di IPB International Convention Center (IICC) Bogor dengan judul “Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan”.
Selain dalam seminar tersebut, beliau selalu mensosialisasikan pentingnya MSS dalam rangka memperbaiki produktivitas lahan hutan pada pertemuan-pertemuan ilmiah, baik dilingkungan perguruan tinggi, maupun dilingkungan para pelaku kegiatan pengelolaan hutan, swasta maupun pemerintah.
Munculnya gagasan tersebut adalah didasarkan pada pengalaman beliau ke lapangan, dimana banyak dijumpai areal hutan di dalam hutan alam produksi, yang kondisinya memprihatinkan, baik berupa tanah kosong, padang alang-alang, semak belukar, maupun areal LOA yang produktivitasnya rendah dan tidak ada usaha untuk memperbaiki dan mengelolanya.  
Multi Sistem Silvikultur ini mulai direspon secara resmi oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2009, yaitu tersirat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem silvikultur Dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi. Respon Kementerian Kehutanan lebih nyata lagi tentang MSS ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.65/Menhut-II/2014, tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem silvikultur Dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi, dimana MSS ini didefinisikan secara jelas pada pasal 1 dan penerapannya diatur dalam pasal 6A.

X.                Penutup
Gagasan Multi Sistem Silvikultur yang disampaikan oleh Prof. Andri Indrawan adalah merupakan angin segar untuk meningkatkan kembali produktivitas lahan hutan dan untuk memperbaiki kerusakan areal hutan sebagai akibat terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan, yang merupakan dampak induksi  yang bukan disebabkan karena aktivitas IUPHHK, yaitu antara lain berupa perambahan hutan oleh perladangan liar, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Pelaksanaan MSS ini hendaknya merupakan tanggung jawab dari pemegang IUPHHK dan tertuang dalam RKUPHHK.

Dengan gagasan tersebut, maka Prof. Andri Indrawan adalah merupakan tokoh yang memperjuangkan pembangunan kehutanan dalam rangka memperbaiki keterpurukan sumberdaya hutan, baik kualitas tegakan hutannya, maupun pemantapan kawasannya.

Untuk IUPHHK-HA, mungkin perlu difasilitasi tentang hak aset tanaman yang dilaksanakan dengan sistem THPB. Karena hutan ditanam oleh pemegang IUPHHK-HA, bagaimana perlakuan asetnya, apakah tetap akan dipungut DR apabila kelak tegakan hutan dipanen dan juga masalah-masalah lainnya yang berkaitan dengan penenaman hutan pada hutan alam.

                                                                                    Bogor, 9 September 2015.






[1]) Article  Multisistem Silvikultur (MSS) untuk dimuat dalam buku kenangan 50  Tahun  Angkatan  KELKER /E- 3 (Tahun Masuk Fahutan Kehutanan IPB, 1965). Alumni Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, Oktober 2015.
[2]) Pensiunan Dosen Fakultas Kehutanan. IPB. 

3 comments:

Unknown said...

Aswrwb sistem MMS menurut sy masih berbasis pada produksi kayu, sebenarnya ada kelemahannya yaitu Pasar kayu hard Wood terbatas tolong di kaji harga jual log sejak 1985 sampai sekarang harga hanya berkisar 100sd 120 us / m3.sedang Cost eksploitasi , pemeliharaan dll makin naik yg awal 25us/ m3 sekarang mungkin mencapai 70 SD 80 us / m3, kondisi ini yang menyebabkan menurunnya gairah usaha kehutanan dan juga faktor yg lain sosial,ekonomi, keamanan dll.MSS secara teori silvikultur memang jawaban tepat. Tetapi apa bisa menjawab masalah lapangan yg bertumpuk tumpuk dari teknis administrasi kehutanan, masyarakat ,keamanan, dll.saran sy sebaiknya MSS juga perlu didukung aturan teknis sosial , lingkungan, ekonomi, dan dikaji benar2 supaya kelestarian hutan dan pembangunan kehutanan dapat tercapai.( mis apakah pelaku usaha tertarik hanya pada prod kayu saja atau dikembangkan deversikasi product non kayu,Pariwisata dll sehingga BCR ,danNPV menjamin kelangsungan usaha,salut buat Prof Andrie dkk semua ,hormat kami Waskito)

Andry's Blog said...

Terima Kasih Masukkannya P. Waskito. Saran2 bapak sangat berguna bagi kami.

Andry's Blog said...

Terima Kasih Masukkannya P. Waskito. Saran2 bapak sangat berguna bagi kami.

Post a Comment