Thursday, December 31, 2015

Multisistem Silvikultur Untuk Kelestarian Hutan di Indonesia

MULTISISTEM SILVIKULTUR
UNTUK KELESTARIAN HUTAN DI INDONESIA[1])

Oleh :
Prof. Dr. Ir.  Andry Indrawan MS.[2])
  
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan manfaatnya memberikan pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambahnya jumlah penduduk maka menyebabkan kebutuhan manusia menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada ketergantungan manusia terhadap sektor kehutanan menjadi semakin meningkat sehingga dapat mempengaruhi kondisi hutan secara ekologis. Oleh karena itu diperlukan konsep pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya diharapkan dapat menambah nilai ekonomi namun tetap menjaga fungsi ekologis.
Selama ini, peranan hutan cenderung hanya dilihat sebagai penghasil komoditas, terutama kayu, sehingga menjadi perebutan kepentingan berbagai pihak secara tidak terkendali yang akhirnya mengancam keberadaan dan kelestariannya. Kesalahan persepsi dalam melihat hutan hanya dari sisi ekonomi ini merupakan suatu kesalahan fatal. Karena manfaat hutan yang terbesar adalah dari hasil non kayu berupa manfaat ekologi.
Berdasarkan hasil penelitian IPB (1999) dalam Departemen Kehutanan (2001), nilai guna hutan, berupa nilai langsung (kayu, non kayu) hanya mencapai 4,5% sedangkan sisanya merupakan nilai keberadaan (habitat, flora, fauna, penyangga kehidupan) dan manfaat ekologi dan lingkungan hidup. Hal ini berarti pemanfaatan kawasan hutan produksi selama lebih dari 32 tahun hanya menghasilkan nilai guna hutan maksimum 4,5% dan telah menghilangkan manfaat lainnya sebesar 95%.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Sesuai dengan lokasi IUPHHK pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik  Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua  atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.
Fragmentasi habitat pada areal IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik. Solusi untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kawasan hutan dapat dilakukan dengan multi usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Restorasi ekosistem dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat melalui Multisistem Silvikultur dengan pemilihan jenis pohon yang secara ekologis sesuai dengan tapak/habitat lahan sangat perlu dilakukan agar supaya hutan dapat pulih kembali dan memenuhi fungsinya baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi.
Hingga saat ini, Indonesia kehilangan hutan aslinya sebesar 72%. Penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan adanya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun (Forest Watch Indonesia, 2001).
Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, wilayah hutan di Indonesia luasnya 120,35 juta ha (61 % dari luas daratan)  yang menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri  dari: Hutan Produksi 58,25 juta ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi 8,08 juta ha, Hutan Lindung 33,52 juta ha dan Hutan Konservasi 33,52 juta ha. (Rusli, 2008).
Dari 120,35 juta Ha kawasan hutan negara, hampir separuhnya, 46,5% atau 55,93 juta Ha, tidak dikelola secara intensif, karena ijin-ijin yang sebelumnya ada tidak lagi beroperasi  Untuk kawasan hutan lindung, pada umumnya tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Kondisi demikian itu ikut memicu terjadinya alih fungsi penggunaan kawasan hutan terutama berupa pemukiman, kebun, tambang, yang hingga saat ini mencapai 17,6 juta Ha. Sensus desa oleh Biro Pusat Statistik tahun 2007, menunjukkan bahwa sudah terdapat 16.570 desa di dalam kawasan hutan negara di 15 propinsi.  (Kartodihardjo, 2013).
        Untuk Hutan Produksi terjadi degradasi yang sangat fantastis yaitu Jumlah HPH/IUPHHK HA pada tahun 1992 jumlah HPH 580  unit (luas menurut SK 61,38 Juta ha dan luas areal efektif 42, 97  juta ha)  dan pada tahun 2011 jumlah HPH menjadi 294 unit. (luas menurut SK 23,24  Juta ha dan luas areal efektif  16, 27  juta ha). Pada tahun 2011 jumlah RKT yang telah disyahkan 137 unit HPH.
 Dari tahun 1992 s/d 2011 telah terjadi penurunan jumlah HPH/IUPHHK Hutan Alam  287 unit, dengan penurunan luas menurut SK 38,14 Juta ha dan penurunan luas efektif 26,70 Juta ha. Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri) pada 2011,  249 unit dengan luas izin 10.046.839 ha. Yang berarti kita kehilangan luas hutan produksi seluas kurang lebih 28 Juta ha yang sekarang telah menjadi peruntukan lain.
Permasalahan lain yaitu dalam proses perpanjangan HPH/ IUPHHK yang diperpanjang yaitu luas areal hutan efektif  yang berhutan saja. Misalnya luas HPH awal 225.000 ha pada waktu perpanjangan HPH/IUPHHK luas hutan efektif areal berhutan 125..000 ha jadi dalam sk perpanjangan disetujui dan dicantumkan luas 125..000 ha. Sisanya 100.000 ha yang merupakan areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang menjadi open access dan berubah menjadi penggunaan lain.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam (294 unit) telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Sesuai dengan lokasi IUPHHK  pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik  Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.
Areal Hutan Produksi pada IUPHHK terfragmentasi untuk berbagai kepentingan seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah yang demikian cepatnya di Indonesia. Fragmentasi habitat pada areal IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik. Solusi untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kawasan hutan dapat dilakukan dengan multi usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih Sistim  Silvikultur yang diterapkan  pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi  kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. (Indrawan, 2008).
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI diterapkan pada areal hutan primer dan Log over Area (Hutan bekas tebangan TPTI). TPTII/SILIN (Tebang Pilih Tanam Intensif/ Silvikultur Intensif) diterapan pada hutan sekunder yang telah rusak/ areal hutan bekas illegal logging), kemudian pada areal hutan rawang, semak belukar dan padang alang-alang diterapakan THPB (Tebang Habis dengan Permudaan Buatan) dan  THPB pola Agroforestry: Penanaman disesuaikan dengan pemilihan jenis pohon secara Ekologi menurut Tapak yang sesuai untuk jenis-jenis pohon. Sehingga keberhasilan dan produktifitas hasil  dapat terjamin.
Berdasarkan data Dephut, 2009 dari HPH yang masih aktif pada tahun 2009 dari data spasial digital yang  kami olah dengan aplikasi GIS yang ada di kawasan Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas yang terfragmentasi menjadi hutan primer, hutan sekunder dan non hutan.  Tutupan hutan ini disederhanakan dengan tujuan untuk bisa menerapkan tiga sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur) pada keseluruhan kawasan HPH yang masih aktif.  Kawasan hutan primer dan LOA TPTI akan menggunakan sistem TPTI dengan permudaan alami dan proses suksesi alami menjadi penentu kembalinya hutan bekas tebang pilih ke kondisi yang lebih baik  pada periode waktu tertentu.  Kawasan hutan sekunder adalah kawasan yang bisa diterapkan SILIN (TPTII). Sedangkan kawasan non hutan akan digunakan Sistem Silvikultur THPB.
Untuk Hutan Kalimantan. Jika seluruh potensi kawasan hutan sekunder dan non hutan di Kalimantan digunakan untuk pembangunan HPH dengan multisistem silvikultur, maka akan ada tambahan potensi serapan karbon sebesar 60 juta ton karbon pada tahun 2020. Jika memperhitungkan potensi karbon dari hutan alam (TPTI), maka total potensi serapan karbon sampai tahun 2020 mencapai 620,3 juta ton C.
Jika menggunakan data untuk seluruh kawasan hutan di Indonesia, dengan menggunakan data maka potensi serapan karbon dengan menggunakan multisistem silvikultur. Prediksi total serapan karbon pada tahun 2020 bisa mencapai 4,3 giga ton (GT). Angka ini terlihat fantastis, mengingat prediksi emisi Indonesia pada tahun 2020 adalah 2,95 GT. Komitmen penurunan sebesar minimal 26% mengharuskan Indonesia mencapai penurunan emisi sebesar minimal 0,77 GT. Pencapaian serapan karbon dengan menggunakan angka perhitungan serapan karbon sebesar 4,3 GT bukan tidak mungkin dicapai.  Jika 50 % dari hitungan itu tercapai, bukan tidak mungkin sektor kehutanan bisa menyumbang target pencapaian penurunan emisi sebesar minimal 26% pada tahun 2020. (Indrawan, A. Dan Bambang, T,A., 2011).

Penutup
Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia. Fungsi-fungsi lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang. Disadari bahwa suatu ketika, sumberdaya hutan yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia akan habis dan punah apabila pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan, yang tidak memperhatikan kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan lingkungan dan fungsi sosial, ekonomi dan budaya.
Dengan diterapkannya  Multisistem Silvikultur, produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan,  Ekonomi menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan  Hidup dapat dipertanggung jawabkan dan  kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan berperan aktif dalam kegiatan revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.

Catatan:
Kegiatan  yang telah dilaksanakan Penulis sehubungan dengan  Multisistem Silvikultur (MSS):
  1. MSS Dimuat dalam Buku II Pemikiran Guru Besar IPB.Pemikiran Guru Besar IPB.
Topik yang ditulis penulis: “Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multusistem Silvikultur”. DImuat dalam buku  II. Pemikiran Guru Besar IPB. Penerbit IPB Press, Bogor.Oktober 2009.
  1. Ketua Organizing Comitee Lokakarya Multisistem Silvikultur.
Launcing “ Multisisitem Sivikultur” sebagai gagasan Penulis
    Penulis sebagai  Ketua Organizing Comitee pada Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktifitas dan Pemantapan Kawasan Hutan Kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB dengan Direktorat Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor, 23 Agustus 2008
C.      SK Tim Pakar Multisistem Silvikultur tahun 2013, 2014 telah dikeluarkan oleh Dirjen Bina Usaha Kehutanan Dan pada Tahun 2015. Sk diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dimana penulis Wakil Koordinator wilayah 2  Tim Pakar Ekologi dan Lingkungan.


Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan. 2001. Kebijakan Pembangunan Kehutanan Dalam Era Otonomi Daerah. Studium Generale – Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kamis 8 Maret 2001, Bogor.

Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW) 2002. The state of the forest: Indonesia. FWI/GFW, Bogor and Washington, DC.

Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Dipresentasikan pada Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. IICC, 23 Agustus 2008.

Indrawan, A dan Bambang. T.A. 2011. Implementasi Multisistem Silvikultur dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan.Dipresentasikan pada Seminar Implementasi Multisistem Silvikultur di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 19 Desember 2011. 

Indrawan, A. 2013 Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari di Indonesia berdasarkan Multisistem Silvikultur.  Dipresentasikan pada Seminar Nasional Silvikultur. Fakultas Kehutanan . Universitas Hasanudin, Makassar. 29 Agustus  2013.

Kartodihardjo, H. 2013. Amputasi Kawasan Hutan Negara. Milis Goglegroup Fahutan IPB.

Rusli, Y. 2008. Kondisi Hutan Produksi Saat Ini. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.




[1]) Article  Multisistem Silvikultur (MSS) untuk dimuat dalam buku kenangan KELKER (Tahun Masuk Fahutan Kehutanan IPB, 1965). Alumni Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, Oktober 2015.
[2]) Guru Besar Emeritus Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. IPB.

0 comments:

Post a Comment