Sunday, July 13, 2014

Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari di Indonesia Berdasarkan Multisistem Silvikultur

KEBIJAKAN
PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN PRODUKSI LESTARI DI INDONESIA
BERDASARKAN
 MULTISISTEM SILVIKULTUR[1])

Oleh :
Prof. Dr. Ir.  Andry Indrawan MS.[2])


Pendahuluan
Dengan beroperasinya kegiatan HPH sejak tahun 1970 terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan dengan adanya kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan dan kegiatan-kegiatan lainnya berupa penebangan, penyaradan, pembuatan TPN dan TPK.  juga timbul dampak induksi yang bukan disebabkan karena aktivitas HPH. Dampak induksi berupa perambahan hutan oleh perladangan, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Sehingga areal bekas penebangan TPI/TPTI kondisinya  telah rusak dan rawan terhadap perambahan terutama pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daerah yang berpenduduk padat.
Eforia reformasi telah menyebabkan terdegradasinya hutan alam Indonesia baik pada   hutan alam dataran rendah maupun dataran tinggi. Sudah saatnya Negara Indonesia menjaga kelestarian hutan dan merestorasi hutannya yang telah terdegradasi baik pada hutan alam dataran rendah (lowland) yang merupakan hutan produksi maupun   pada hutan2 daerah hulu (Upland), yang meliputi  Hutan Produksi Terbatas, Hutan Lindung maupun pada Kawasan Lindung karena hutan2 tersebut mempunyai fungsi Hidrologi, Orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Di  lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) perkembangannya demikian cepat di Indonesia.
Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, wilayah hutan di Indonesia luasnya 120,35 juta ha (61 % dari luas daratan)  yang menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri  dari: Hutan Produksi 58,25 juta ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi 8,08 juta ha, Hutan Lindung 33,52 juta ha dan Hutan Konservasi 33,52 juta ha.( Rusli, 2008)
 Jumlah HPH/IUPHHK HA pada tahun 1992 jumlah HPH 580  unit (luas menurut SK 61,38 Juta ha dan luas areal efektif 42, 97  juta ha)  dan pada tahun 2011 jumlah HPH menjadi 294 unit. (luas menurut SK 23,24  Juta ha dan luas areal efektif  16, 27  juta ha). Pada tahun 2011 jumlah RKT yang telah disyahkan 137 unit HPH.(Dirjen BPK, 2009; Yasman, 2012)
Dari tahun 1992 s/d 2011 telah terjadi penurunan jumlah HPH/IUPHHK Hutan Alam  287 unit, dengan penurunan luas menurut SK 38,14 Juta ha dan penurunan luas efektif 26,70 Juta ha. Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan Tanaman pada 2011,  249 unit dengan luas izin 10.046.839 ha.
Sejak diterbitkannya Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut No. P.05//  Menhut II/2008 tentang tata cara Permohonan IUPHHK dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagai tindak lanjut dari PP No. 6 Tahun  2007 jo. PP No. 3 tahun 2008, sampai dengan 17 juni 2009 penerbitan IUPHHK-HTR oleh Bupati sebanyak 8 (delapan)  unit dengan luas  15.305,95 ha. Dan sampai dengan  17 Juni  2009 realisasi pencadangan areal HTR telah ditetapkan 38 kabupaten/kota yang tersebar di 15 propinsi dengan total luas 251.018 ha. (Dirjen BPK, 2009).

Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari (Sustained Forest Management).
Pengelolaan hutan untuk kelestarian Ekosistem (Sustained Forest Management)   yang sejak lama telah dicanangkan oleh Depertemen Kehutanan pada hutan-hutan alam di Indonesia sangat diharapkan dapat terwujud, sehingga fungsi hutan untuk ekonomi dan ekologi dapat tercapai.
Dalam proses menuju tercapainya pengelolaan hutan lestari diperlukan langkah-langkah yang nyata dengan kriteria yang jelas dan dapat diterapkan menurut hierarkinya baik secara nasional maupun pada tingkat unit pengelolaan hutan yang tentunya perlu disesuaikan dengan alam/kondisi Indonesia.
Pembangunan hutan   saat ini  tidak hanya bertujuan untuk  kelestarian hasil  (“Sustained Jield principle”) tetapi juga untuk kelestarian Ekosistem (Sustained Forest Management) yang disamping mengharapkan manfaat langsung berupa kayu dan hasil hutan lainnya juga berupa manfaat Ekologi yang meliputi   hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan.
 Ekosistem yang perlu dilestarikan pada areal kawasan hutan meliputi:
1. Ekosistem  Alam seperti Hutan Hujan Tropika, Hutan Musim, Hutan Rawa, Hutan Gambut, Hutan Kerangas dan Hutan Mangrove.
2. Ekosistem Buatan pada kawasan hutan seperti Hutan Tanaman Industri dan   Hutan Tanaman Rakyat
Ekosistem hutan  juga berfungsi sebagai tempat hidup dan mencari makan  Masyarakat di sekitar hutan (local people), habitat berbagai jenis  satwa liar dan tumbuh2an,  konservasi biodiversity, konservasi  plasma nutfah, hidroorologi  dan perlindungan alam lingkungan
Beberapa kriteria pengelolaan hutan lestari yang tercantum dalam ITTO (International Tropical Timber Organization) antara lain meliputi : jaminan kepastian sumber daya, kelangsungan produksi kayu, konservasi flora dan fauna, tingkat dampak lingkungan yang dapat diterima, manfaat sosial ekonomi, perencanaan dan penyesuaian berdasarkan pengalaman. Indonesia telah menetapkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi alam secara lestari (Keputusan Menteri Kehutanan RI/No 252/1993 dalam Manan, 1993).
Menyadari hal tersebut, maka program pembangunan dan pemanfaatan hutan produksi dan  hutan produksi terbatas dari aspek konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem dimasa mendatang harus diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multifungsi, dengan memperhatikan aspek lingkungan (ekologi), ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Masyarakat sekitar hutan yang merupakan stakeholder dari sumberdaya hutan tersebut, memang seharusnya dilibatkan di dalam setiap langkah pembangunan dan pemanfaatan hutan sehingga mereka akan lebih peduli kepada hal-hal yang konkrit dan langsung dirasakan manfaatnya dalam jangka pendek. Dengan demikian pemahaman mereka akan kelestarian hutan akan dapat ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya pemanfaatan hutan bagi peningkatan kesejahteraan mereka.
Secara teknis penilaian pengelolaan hutan produksi  yang mengacu pada Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari ITTO (ITTO, 1998) yang dimodifikasi dan  dituangkan dalam SK Menteri Kehutanan No 4795/KPTS-II/2002, tgl 3 Juni 2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan. Sedangkan proses   penilaian Kriteria dan Indikator  didasarkan pada Peraturan  Dirjen  Bina Produksi Kehutanan No. P.03/VI-BPHA/2007 tentang Perubahan Keputusan Dirjen BPK No. 42/KPTS/VI-PHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja IUPHHK pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam Rangka PHAPL.
Sedangkan untuk kriteria dan penilaian Hutan Tanaman Industri didasarkan pada Kepmenhut no 177/KPTS-II/2003 tentang Kriteria dan Indikator PHL pada Hutan Tanaman, Kepmenhut no 178/KPTS-II/2003 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja IUPHHK dan Kepmenhut no 180/KPTS-II/2003 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI).
Pada tgl  12 Juni 2009, keluar Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas kayu. Dan pada tgl 15 Juni 2009 disusul oleh terbitnya Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-SET/2009 tentang Standar Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas kayu.  Departemen Kehutanan mulai memberlakukannya pada September 2009.
 Lembaga  yang berwenang  menilai PHPL adalah  KAN (Komite Akreditasi Nasional yang merupakan Lembaga Independen.PHPL  bersifat mandatory dan harus diterapkan pada semua Unit Pengelolaan Hutan baik Hutan Alam maupun  Hutan Tanaman (HTI).
PHPL bersifat voluntary sebagian besar menggunakan standard yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 1993 mencakup aspek legal, social, lingkungan dan produksi.  Di Indonesia sendiri, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang merupakan organisasi non-pemerintah juga mengembangkan kriteria dan indikator untuk pengelolaan hutan alam lestari dan pengelolaan hutan tanaman lestari.
PHPL yang bersifat mandatoty berdasarkan kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sedangkan PHPL yang bersifat voluntary sebagian besar menggunakan standard yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC)
Dua perbedaan pertama yakni instrumen pasar versus kebijakan serta berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh standar yang berbeda sudah pasti mengandung implikasi yang berbeda terhadap tujuan unit pengelola hutan (UPH) dalam hal memperoleh sertifikat SFM.  Yang sudah pasti adalah, UPH yang juga memenuhi permintaan pasar akan melalui dua mekanisme tersebut sehingga pastinya akan berimbas pada beban biaya sertifikasi. (Setyawati, 2012)
Perkembangan Sertifikasi hutan di Indonesia  baik yang voluntary maupun yang mandatory adalah sbb: (Yasman, 2012)
1.   Voluntary  :
a.  Lulus standar LEI : 6 IUPHHK-HA dan 3 IUPHHK-HT
b.  Lulus standar FSC : 5 IUPHHK-HA (semuanya termasuk dalam daftar yang lulus standar LEI).
c.  Luas areal : + 1.702.722 ha (+ 1.162.722 ha IUPHHK-HA dan + 540.000 ha  IUPHHK-HT)
2.   Mandatory :
a.  Penilaian sampai tahun 2009 (sertifikat masih berlaku) :82 IUPHHK-HA dengan luas areal 7.451.859 ha
b.  Penilaian pada tahun 2010 :  13 IUPHHK-HA dengan luas areal 1.436.275 ha
Total  (a + b) : 95 UM  = 8.888.134 Ha
Dari Luas hutan yang dikelola IUPHHK HA/HT maka yang sudah bersertifikasi  kurang dari 30%nya.
   
Adapun perbedaan antara sertifikasi yang bersifat mandatory dan voluntary adalah sebagai berikut: (Kusumawardhani 2008)
Tabel 1.  Perbedaan  antara Mekanisme Sertifkasi Voluntary dan Mandatory di Indonesia
Sertifikasi Voluntary
Sertifikasi Mandatory
Sebagai instrument pasar (market driven)
Sebagai instrument kebijakan
Berdasarkan kriteria dan indikator yang disepakati oleh stakeholder
Berdasarkan kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
Dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh pengembang system (LEI, FSC, KAN)
Dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh Menhut
Sebagai persyaratan perdagangan

Sebagai bahan pertimbangan perpanjangan ijin dan status perijinan HPH/IUPHHK
Sangsi oleh pasar yang mempersyaratkan sertifikasi
Sangsi diberikan berdasarkan peraturan per – undang2 an
Biaya oleh obyek sertifikasi IUPHHK

Biaya oleh pemerintah (pengembangan system dan tahap awal penerapan, dan selanjutnya oleh HPH/IUPHHK)
Dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan perusahaan
Dilaksanakan setiap tiga tahun dan saat perpanjangan ijin

SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang dikembangkan Pemerintah Indonesia bekerja sama Dengan Uni Eropa sejak tahun 2006 untuk memerangi perdagangan kayu illegal sampai saat ini belum ditandatangani  Uni  Eropa.
Dalam Pertemuan tingkat Menteri  Anggota Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Peru, Agustus 2013, para delegasi berharap  Indonesia dan Uni Eropa menandatangani perjanjian kemitraan sukarela (Voluntary Partnership Agreement / VPA) pada 20 september 2013. Pemerintah Indonesia terus mendorong investor kehutanan untuk meningkatkan ekspor produk kehutanan lestari.  Investor kehutanan di Indonesia cukup memiliki sertifikat berbasis sistem  verifikasi legalitas kayu yang wajib dan berstandar tingi (harian Kompas, 20 Agustus 2013).

Restorasi Ekosistem
Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati (Peraturan Menteri Kehutanan,   No.  P.18//Menhut- II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004.)
Sebagai akibat adanya degradasi hutan hujan tropika baik didaerah hulu dan hilir DAS maka areal hutan menjadi tidak produktif baik ditinjau secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Areal hutan primer berubah menjadi areal hutan bekas tebangan TPTI,  areal hutan bekas kebakaran, areal hutan bekas illegal logging dan  areal hutan bekas perladangan. Areal tersebut dapat dapat berupa hutan sekunder, semak belukar dan padang alang-alang, yang terbentuk sesuai dengan tingkat kekerasan  dan atau frekuensi degradasi dari vegetasi alam yang sebelumnya merupakan hutan primer. Pada areal tersebut terjadi proses suksesi sekunder  yang menuju pada keseimbangan alam  yang dinamis (Hutan Klimaks) kalau tidak terdapat gangguan lagi. Vegetasi yang terbentuk setelah degradasi hutan merupakan pencerminan dari keadaan habitat.
Pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan ekologi lahan-lahan yang terdegradasi  sangat dibutuhkan untuk keberhasilan restorasi ekosistem. Jenis asli setempat adalah jenis yang terbaik untuk ditanam pada daerah yang bersangkutan, bila jenis asli tidak sesuai dengan pengembangan ekonomi daerah yang bersangkutan dapat didatangkan jenis exotik baik dari luar pulau atau luar daerah yang secara ekologi sesuai dengan areal restorasi.
Pada Areal Hutan Primer dan  Areal Hutan Bekas Tebangan (Log Over Area), TPTI secara ekologis paling sesuai untuk diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan produksi dan 60 cm keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPI tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis pohon komersial ditebang pada areal bekas tebangan. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat hutan baik langsung maupun manfaat tidak langsung melalui rotasi tebang  dan siklus hara.
Areal Hutan Bekas Tebangan diperlakukan sebagai suatu ekosistem hutan, pada areal yang permudaan alamnya kurang (Nilai Frekuensi tingkat permudaan semai ≤ 40%) dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting). Dan pada areal yang permudaan alamnya cukup (Nilai Frekuensi Tingkat permudaan semai ≥ 40%) dilakukan pembebasan tajuk baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal. Penanaman pengayaan bercermin pada jenis-jenis pohon yang ditebang dengan  menggunakan jenis pohon terpilih dari famili Dipterocarpaceae (Shorea spp, Dipterocaprus, spp, Dryobalanops spp, Hopea spp dan Vatica spp dsb.) maupun jenis-jenis pohon non Dipterocarpaceae yang bersifat setengah toleran (Scyphyt) yaitu pada waktu muda membutuhkan naungan dan setelah dewasa membutuhkan sinar matahari penuh. 
Pemilihan jenis pohon untuk penanaman pengayaan yang sesuai dengan keadaan ekologis daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat berperan dalam keberhasilan tanaman pengayaan yang akan dilakukan.
Pada daerah – daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang alang-alang dipilih jenis jenis pohon yang bersifat intoleran yang membutuhkan cahaya matahari penuh ( Jenis pohon Heliophyt) seperti Jabon (Anthocephalus cadamba, Anthocephalus chinensis), Macaranga spp, Trema  spp, Sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia mangium, Eucalyptus spp, Tectona grandis dsb. 

Sistem Silvikultur:
Peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak  Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan menyatakan bahwa untuk menjamin kelestarian hutan alam di luar Jawa, eksploitasi hutan hanya dilakukan secara tebang pilih, sedangkan permudaannya dapat dilakukan secara alam dan buatan.
Dengan beroperasinya kegiatan HPH sejak tahun 1970 (terbukanya sarana dan prasarana jalan hutan dengan adanya kegiatan Pembukaan Wilayah Hutan) juga timbul dampak induksi yang bukan disebabkan karena aktivitas HPH berupa perambahan hutan oleh perladangan liar, pencurian kayu, kebakaran hutan dsb. Sehingga areal bekas penebangan TPI/TPTI kondisinya ada yang telah rusak dan rawan terhadap perambahan terutama pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daerah yang berpenduduk padat.
Pada areal-areal bekas penebangan TPTI/TPI yang kondisinya telah rusak dan rawan terhadap perambahan membutuhkan suatu sistim-sistem silvikultur tersendiri.
Manan (1993) mendefinisikan sistim silvikultur sebagai suatu proses penggantian suatu tegakan hutan, melalui permudaan/penanaman, pemeliharaan dan pemanenan untuk menghasilkan produksi kayu atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Termasuk kedalamnya rekayasa untuk mempengaruhi sifat dan susunan hutan baru yang terjadi.
Sistem Silvikultur merupakan salah satu bagian penting (sub sistem) dari sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), yang dapat menjamin kelestarian produksi, ekologi dan dampak positif sosial ekonomi termasuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas kawasan hutan. (Indrawan, 2008).
Sistem silvikultur dan teknik silvikultur  yang  diterapkan  dalam pengelolaan hutan alam produksi (IUPHHK HA) di Indonesia pada saat ini adalah Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan  Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII/ Silvikultur Intensif (Silin).
Sistem silvikultur TPTI sebaiknya diterapkan pada Hutan Poduksi Primer dan pada LOA (Log Over Area) TPTI.
Sistem silvikultur TPTJ  dan Teknik silvikultur Silin sebaiknya diterapkan pada hutan sekunder bekas ilegal loging yang merupakan hutan yang tidak produktif.. 
Dan Sistem silvikultur THPB sebaiknya diterapkan pada areal hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang.

Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia
Pengusahaan hutan di Indonesia dimulai sejak tahun 1870.(Anonom, 1986). yang merupakan tebang pilih dan kebanyakan dengan limit diameter yang digunakan 50-60 cm, tanpa adanya perlakuan silvikultur (Mursaid dan Sudiarto, 1958)
Panitia Perancang Hutan Industri (PPHI) yang dibentuk 1953,  menyarankan pengusahaan hutan alam di luar Jawa dapat dilakukan penebangan secara selektif  dengan sistem tebang pilih dengan permudaan alam (PPHI, 1958)
Untuk menjaga kelestarian hutan alam produksi di luar Jawa  tebang pilih dapat dilakukan dengan rotasi tebang 60 tahun (Direktorat Pengusahaan Hutan, 1968).
Dalam rangka pelaksanaan UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan,  UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing  dan UU No 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah no 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.
Pada tahun 1970 dibentuk Tim Penyusun Peraturan Eksploitasi Hutan dipimpin oleh Direktur Lembaga Penelitian Hutan: Ir.R.Sudiarto Warsopranoto yang anggotanya terdiri dari Staf Peneliti Lembaga Penelitian Hutan dan wakil-wakil dari Direktorar-Direktorat dalam lingkup Direktorat Jenderal Kehutanan. Rapat memutuskan untuk menyusun tiga sistem ekisploitasi hutan yaitu Tebang Pilih, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Tebang Habis dengan Penanaman. Kepada tiga (3) orang ditugaskan untuk menyusun naskah peraturannya yaitu: (Surianegara 1992)
1. Ir.R.Sudiarto Warsopranoto; Naskah Tebang Pilih.
2. Dr. Ir. Ishemat Surianegara; Naskah  Tebang Habis dengan Permudaan Alam.
3. Ir, Gadjali: Naskah Tebang  Habis dengan Penanaman.

Naskah Tebang Pilih, paling banyak dibahas karena sistem ini diutamakan dalam Peraturan Pemerintah PP No 21 Tahun 1970. PP No 21 Tahun 1970. mengenai  Sistem Silvikultur untuk untuk pengusahaan Hutan Alam di Indonesia. 
Naskah-naskah  dari  Tim Penyusun Peraturan Eksploitasi Hutan dikirimkan ke Direktorat Jenderal Kehutanan. Pada  tanggal 13 Maret 1972 keluar Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No.  35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia , Tebang Habis dengan Penanaman , Tebang Habis dengan Permudaan Alam  dan Pedoman-pedoman pengawasannya ( Direktorat Jenderal Kehutanan , 1972 ) :
Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35 Tahun 1972 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.  Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang Sesuai SK Dirjen Kehutanan No.  35/ Kpts / DD / I /1972.
Batas Diameter   (cm)
Rotasi Tebang
(tahun)
Jumlah Pohon Inti
(batang)
Diameter Pohon Inti
(cm)
50
35
25
> 35
40
45
25
> 35
30
55
40
> 20
Keterangan  :
Riap diameter 1 cm/tahun
Pada Tabel 1  dapat dilihat bahwa bila batas diameter (limit diameter) yang dapat ditebang 50 cm keatas, maka rotasi tebang yang digunakan 35 tahun dengan jumlah pohon inti yang ditinggalkan adalah 25 batang dengan diameter pohon inti 35 cm keatas.
Alternatif kedua adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 40 cm keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 45 tahun dengan jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan adalah 25 batang per ha dari diameter 35 cm keatas.
Alternatif ketiga adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 30 cm keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 55 tahun dengan jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan adalah 40 batang per ha dari diameter 20 cm keatas.

1. Evaluasi dan Revisi Tebang Pilih Indonesia
Lokakarya Tebang Pilih Indonesia di Yogyakarta. 23-24 Juni 1980 menyimpulkan saran-saran untuk penyempurnaan TPI yang terpenting adalah  diameter terendah Pohon Inti dapat diturunkan sampai 20 cm karena riap pohon yang berdiameter 10 cm keatas lebih dari 1 cm per tahun (Surianegara, 1992)
Pada saat pelaksanaan SK Dirjen Nomor 35 diatas yang jadi permasalahan penerapannya pada hutan-hutan tropika basah kita adalah bervariasinya hutan-hutan Alam sehingga terbentur pada kurangnya jumlah pohon inti pada bagian-bagian tertentu pada Hutan-hutan  Alam Produksi di Indonesia.

Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada tahun 1980 mengadakan penyempurnaan Pedoman Tebang Pilih Indonesia sebagai berikut.

Tabel 3. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang  (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Tahun 1980)
No
Batas Diameter Tebangan (cm)
Rotasi Tebang
(tahun)
Jumlah Pohon Inti
(batang)

Diameter Pohon Inti

(cm)
1.
Hutan alam campuran



50
35
25
 > 20
2.
Hutan Eboni Campuran



50
45
16
> 20
3.
Hutan Ramin Campuran



35
35
15
> 20

Pada Tabel penyempurnaan pedoman TPI diatas telah terlihat bahwa Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada saat itu mencoba untuk memecahkan masalah kurangnya jumlah pohon inti yang dapat ditinggalkan pada areal bekas tebangan pada hutan-hutan tropika basah Indonesia yaitu dengan mengemukakan dua tipe vegetasi lainnya selain hutan alam campuran yaitu hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm keatas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha (tidak 40 batang per ha lagi seperti Tabel 1 sebelumnya).
Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun dan batas diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm keatas dengan riap diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun)

2. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia,
Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
SK Menteri Kehutanan No. 485/1989 melahirkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia 
Tabel 4. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang pada Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, 1989)
No
Batas Diameter
Tebangan (cm)
Rotasi Tebang
(tahun)
Jml Pohon Inti
(batang/ha)

Diameter Pohon Inti

(cm)
1.
Hutan alam campuran



50
35
25
KD        20  -  49  cm
KTD      >     50
2.
Hutan rawa
Hutan ramin campuran bila diameter 50 cm keatas tidak cukup :
Khusus jenis ramin

35
35
25
>    15

Pada Tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa bila dibandingkan dengan Tabel 2 mengenai syarat-syarat pelaksanaan TPI (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1980) untuk hutan campuran syarat-syarat pelaksanaannya sama, hanya untuk pohon inti terdapat uraian yang lebih rinci dalam TPTI sebagai berikut : bila jenis komersil ditebang (KD) yang berdiameter 20-49 cm kurang dari 25 pohon/ha dapat diambilkan dari jenis komersial tidak ditebang (KTD) yang berdiameter 50 cm keatas. Sedangkan untuk hutan rawa (hutan ramin campuran) khusus untuk jenis ramin jumlah pohon inti menjadi 25 pohon/ha yang harus ditinggalkan dan diameter pohon inti diturunkan menjadi > 15 cm.
Dari urut-urutan perkembangan diatas terlihat bahwa pemerintah kita c.q. Departemen Kehutanan telah berusaha untuk melestarikan hutan tropika basah kita dengan makin sempurnanya Pedoman Tebang Pilih Indonesia khususnya Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan tanah melalui siklus hara. Rotasi Tebang pada TPTI 35 Tahun dengan asumsi riap  diameter 1 (satu) cm/tahun. 

Tebang Jalur Tanam Indonesia
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No. 40/KPTS/IV-BPHH/1993 tanggal 18 Maret 1993. Tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Tebang Jalur dan Tanam Indonesia (TJTI), sbb:
Sasaran lokasi sistem silvikultur tebang jalur diterapkan pada hutan bekas penebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia yang kondisinya telah rusak, yang rawan terhadap perambahan, yang tidak cocok untuk sistem THPB dan hutan primer yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan.
Definisi Sistem Silvikultur Tebang Jalur  adalah suatu sistem silvikultur yang dilakukan dengan cara membuka areal selebar tertentu  dalam bentuk jalur dengan menebang pohon yang berdiameter 20 cm keatas sehingga sinar matahari dapat mencapai permukaan tanah. Kelestarian produksi hutannya didasarkan pada keberhasilan permudaan buatan atau alam.

1. Tebang Jalur dengan Permudaan Buatan:
a. Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500 ha dan minimum 100 ha,   untuk hutan bekas tebangan dan hutan primer.
b. Lebar jalur yang ditebang sebagai perlakuan dalam percobaan tiga macam terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan lebar jalur yang tidak ditebang 50 m, 100m dan 200 m. Arah jalur penebangan Utara-Selatan.
c. Jenis pohon yang digunakan dalam penanaman adalah jenis pohon meranti lokal bernilai tinggi yang sudah dikuasai teknologi budidayanya dan benih tersedia, atau jenis non timber product misalnya Tengkawang, Jelutung dan Damar mata kucing.
d. Larikan tanaman searah dilakukan pada jalur tebang, larikan tanaman yang dibersihkan selebar 1 (satu) meter. Jarak antara sumbu larikan dan sumbu larikan lain 5 m dan pada bagian yang akan dibuat lubang tanam sepanjang larikan diberi tanda ajir. Jarak antar ajir 5m. Dengan demikian akan diperoleh jarak tanam 5 x 5 m.
e. Penanaman dilakukan pada permulaan musim hujan satu tahun setelah penebangan.
f. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) dilakukan 1 (satu) tahun sebelum penebangan.
g. Pengadaan bibit dilakukan satu tahun sebelum penebangan.
h. Penyulaman Tanaman :
Dilakukan 2-3 bulan sesudah penanaman, pada waktu musim hujan pada tahun  pertama dan kedua.
i. Pemeliharaan

2. Tebang Jalur dengan Permudaan Alam
a. Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500 ha dan minimum 100 ha,   untuk hutan bekas tebangan dan hutan primer.
b. Lebar jalur yang ditebang sebagai perlakuan dalam percobaan tiga macam terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan lebar jalur yang tidak ditebang 50 m, 100m dan 200 m. Arah jalur memotong arah angin
c. Jenis permudaan alam yang dipelihara dalam jalur bekas tebangan adalah  permudaan alam dari jenis Dipterocarpaceae lokal bernilai tinggi.
d. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), dilakukan satu tahun sebelum penebangan.
Tebang Jalur Tanam Indonesia baru taraf uji Coba dan tidak dilanjutkan.
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
 Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan  SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi, sbb:
a. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur dengan tebang persiapan dengan   menebang pohon pada areal LOA TPTI, dan dilakukan dengan Tebang Pilih dengan Limit diameter  40 cm diikuti dengan pembuatan jalur bersih (penjaluran), dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor 22 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis2 pohon komersial.  Dengan jarak tanam  5 m. Sehingga jarak tanaman  menjadi  5 x 25 m.
b. Pengadaan bibit  dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).

Urut-urutan pemberlakukan dan pencabutan Kepmenhut dan  Permenhut Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam:
a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan  SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi.
b. Sk Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998, tentang  pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Sari Bumi Kusuma
  1. Sk Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999, tgl 18 Januari 1999. tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Erna Juliawati
  2. Pencabutan TPTJ: Kepmenhut No. 10172/Kpts-II/2002 tentang  perubahan kepmenhutbun  No. 309/kpts-II/1999.
  3. Peraturan Menhut No. P 30/ Menhut II/2005: Kepmenhut  No. 10172/KPTS-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi.
f. Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 : Peraturan Menhut No. P 30/Menhut II/2005 dinyatakan tidak  berlaku lagi, yang berarti Kepmenhut No. 10172/KPTS-II/2002  akan berlaku lagi yang  sejalan dengan sub d. Bahwa TPTJ telah dicabut
g. Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009 masih memberlakukan TPTJ sebagai salah satu sistem silvikultur yang akan digunakan.

Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif dengan Teknik Silvikultur Silin
SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005, memutuskan  pemegang IUPHHK pada hutan alam sebagai model Sistem silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6 (enam) IUPHHK yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim (Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar); PT. Balikpapan Forest Industri dan PT. Ikani (Kaltim).
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif  (TPTII) yang meliputi 25 pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu  (IUPHHK) pada hutan alam  terdiri dari  8 (delapan) IUPHHK di Kaltim, Kalteng 8 (delapan) IUPHHK, Kalbar 1 (Satu) IUPHHK  Sumatera Barat 1 (satu) IUPHHK, Riau 1 (satu) IUPHHK Papua 2 (dua) IUPHHK, Papua Barat 3 (tiga)  IUPHHK dan Maluku utara 1(satu) IUPHHK.
Sistem TPTII (Silin) adalah bukan merupakan regim atau sistem silvikultur, tetapi merupakan teknik silvikultur  yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal (Sukotjo, 2009).
Tebang Pilih Indonesia Intensif (Silvikultur Intensif) dapat meningkatkan produksi kayu hutan alam pada masa yad. Sebaiknya dilaksanakan pada areal hutan bekas illegal loging dan pada hutan2  rawang pada areal IUPHHK baik di daerah Lowland maupun di daerah Upland. Seperti yang dilakukan oleh IUPHHK PT. Ikani yaitu melaksanakan TPTI pada hutan primer dan hasil log dari hutan primer disisihkan dan digunakan untuk mensubsidi TPTII (Silin) yang dilaksanakan pada hutan rawang yang potensinya kurang  sbb: Tidak melakukan tebang persiapan pada hutan rawang dan hanya melakukan Penanaman Pengayaan (Enrichment Planting) dengan jenis2 unggulan pada  jalur bersih (lebar 3 m) dan jarak antar tanaman pada jalur bersih 2 1/2 meter, jalur kotor/jalur konservasi dibuat dengan lebar  17 m. Sehingga jarak tanam menjadi 2 1/2 x 20 m.
Pada hutan alam primer dan areal hutan bekas tebangan (LOA) TPTI pada  Hutan Produksi (HP) maupun   Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang potensinya masih baik dan terletak di daerah hulu sungai  pada Ekosistem Daerah Aliran Sungai, sebaiknya diterapkan sistem TPTI yang menebang pohon secara tebang pilih dengan permudaan alam. Karena system TPTI yang paling cocok secara ekologi, untuk mempertahankan fungsi hutan baik hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Kelemahan sistem TPTII (Silin) pada saat ini yaitu dilaksanakan pada LOA areal bekas tebangan TPTI dengan tidak memperhatikan rotasi tebang yang dipersyaratkan dalam pedoman TPTI. Rotasi tebang dalam TPTI 35 tahun.
 Kelebihan TPTII (Silin) yaitu Enrichment Planting dengan jenis-jenis unggulan diwajibkan dilaksanakan segera setelah dilaksanakan penebangan dengan tidak memperhatikan cukup tidaknya permudaan yaitu pada LOA  yang berumur 0 tahun (ET+0) sehingga mudah dikontrol.
Sedangkan pada TPTI enrichment planting dilaksanakan pada areal LOA  yang berumur 3 tahun (ET+3)  pada lokasi areal bekas tebangan dengan  permudaan tingkat semai kurang ( Penyebaran /Frekuensi < 40%). Tidak mudah dikontrol.
      Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif dilakukan melalui rekayasa genetis, rekayasa lingkungan dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit (pest and desease) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu Jenis hutan alam khususnya jenis2 pohon dari famili Dipterocarpaceae, pada masa yad
TPTII (Silin) merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan   dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (Enrichment planting) dari sistem TPTI. Meliputi penebangan persiapan pada seluruh Blok (petak2 tebang) sesuai RKT Silin tahun berjalan, penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up.  Pada LOA hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting) dengan  jenis2 unggulan dengan jarak tanam 21/2 m. Sehingga jarak tanam menjadi 21/2  x 20 m2.
Jenis-jenis  pohon dari famili Dipterocarpaceae unggulan (Jenis Target)  yang disarankan dan  dapat merupakan pilihan untuk ditanam pada areal TPTII (Silin) adalah  Jenis jenis pohon hasil uji jenis.
Jenis-jenis pohon hasil uji Jenis dengan teknik Silvikultur adalah  sbb: Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Sukotjo, Subiakto dan Warsito, 2005).
Daur Ekonomis Jenis2 unggulan (jenis Target) adalah 30 tahun (rotasi tebang yang digunakan 30 tahun).

Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, dimana pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia dapat dilakukan dengan sistim silvikultur :
1.      Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2.      Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3.      Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto “Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman Industri” karena padanan bahasa Indonesia  dari “Timber Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan.    
Pembangunan HTI dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
Tujuan Pembangunan HTI  dalam PP No. 6 Tahun 1999 adalah untuk memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak, dan untuk memenuhi bahan baku Industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif.
Dalam PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa sasaran pembangunan hutan tanaman adalah pada lahan kosong, padang alang-alang dan hutan rawang (potensi kurang dari 20 m3)

Multisistem Silvikultur
Pengelolaan hutan sejak HPH dan HP HTI beroperasi  baik pada  IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) sampai saat  saat ini umumnya dilakukan dengan satu sistem silvikultur.
Pengelolaan hutan dengan satu sistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan, dimana areal hutan produksi khususnya pada IUPHHK hutan alam telah terftragmentasi menjadi berbagai tutupan lahan sesuai dengan tingkat degradasi Hutan yang terjadi, pada areal ini sangat membutuhkan diterapkannya Multisistem silvikultur.
Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di kawasan hutan mengacu pada  Peraturan Pemerintah No. 3/2008. Pasal 38 ayat 1 yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dengan lingkungannya
Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009).
Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/ 2009. juga memuat dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya (Menimbang pada PP No. 6/2007: pasal 34 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (1) jo. PP No. 3/2008)
 Dan kepmenhut No. P.40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja. Sistem silvikultur yang digunakan  pada suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi tapak habitat  pada kawasan hutan di areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini sejalan sejalan dengan Pasal 42 ayat (1) UU 41 RI tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik. Yang mengambarkan  pemilihan jenis pohon harus  sesuai dengan keadaan habitat dan ekologi jenis pohon terpilih.
Namun dalam pelaksanaannya peraturan Menteri Kehutanan tersebut masih banyak mengalami hambatan terutama pada tataran teknis,  manajemen, kelembagaan serta pedoman pelaksanaan di lapangan. Sementara tuntutan pengelola IUPHHK untuk melaksanakan multisistem silvikultur demikian besar.
Pada saat ini kebijakan dan regulasi Kemenhut belum mendukung untuk diterapkannya Multisisistem Silvikultur. Sedangkan  Malaysia menerapkan filosofi Multisistem Silvikultur dengan penanaman dan pemilihan jenis pohon berdasarkan Site (Tapak) yang mengacu pada sistem silvikultur yang digunakan baik di hutan primer maupun areal hutan yang telah terdegradasi.   
Hal tersebut mendasari perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu  ekonomis menguntungkan  ekologis dapat dipertanggung jawabkan, secara  sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang efektif. Disamping itu, berkaitan dengan perpanjangan IUPHHK, para pemegang ijin tidak hanya memperhatikan areal yang memilki potensi kayu tetapi harus mempertanggung jawabkan seluruh arealnya terasuk areal-areal dengan kategori non hutan.
Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih Sistim  Silvikultur yang diterapkan  pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi  kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan satu  atau lebih sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur)  pada suatu areal IUPHHK.
Memperhatikan hal tersebut di atas dan dalam kerangka meningkatkan produktivitas hutan produksi di dalam areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka upaya untuk merancang ulang pengelolaan areal hutan melalui penerapan multisistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik kawasan hutan setempat perlu mendapat perhatian para rimbawan. Melalui strategi ini, diharapkan potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial. 
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Fragmentasi areal IUPHHK hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui Multisistim Slvikultur untuk mengembalikan fungsi hutan baik fungsi ekonomis  berupa kayu dan hasil hutan lainnya maupun fungsi ekologis berupa hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan serta fungsi sosial dan budaya masyarakat disekitar hutan.
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada  penerapan Multisistem silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTII/Silin, THPB dan  THPB pola Agroforestry:
Berdasarkan simulasi dapat dibuktikan bahwa penggunaan 3 sistem silvikultur TPTI, TPTII dan THPB dalam satu ijin kelola IUPHHK akan menghasilkan/ nilai manfaat yang lebh tinggi dibandingkan alternatif yang menggunakan penggunaan 2 sistem silvikultur dan bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan penggunaan 1 sistem silvikultur tunggal. Berdasarkan simulasi model, diantaranya dapat dibuktikan bahwa menggunakan 3 sistem silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB) memberikan proyeksi total produksi 378% lebih besar dibandingkan menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII).  Selanjutnya campuran 3 sistem ini dapat menyerap 257% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang lebih besar daripada menggunakan campuran 2 sistem (TPTI dan TPTII). (Suryanto, 2009)

Penutup
Pada areal hutan primer dan LOA TPI/ TPTI sebaiknya diterapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
 Sistem TPTJ dan atau Teknik Silvikultur Silin (TPTII) sebaiknya diterapkan pada hutan sekunder yang potensinya kurang yaitu areal hutan rawang bekas Ilegal Logging dan hutan-hutan bekas kebakaran.
Adapun Areal yang penutupan vegetasinya berupa tanah kosong   semak belukar dan alang-alang sebaiknya diterapkan sistem THPB dan atau THPB pola Agroforestry, bila jenis-jenis asli intoleran (Jenis Cahaya dan Cepat Tumbuh) tidak  sesuai dengan pola perencanaan industri daerah ybs. Dapat digunakan jenis komersial exotik cepat tumbuh berupa jenis-jenis pohon Intoleran..
Dengan terfragmentasinya hutan produksi pada IUPHHK maka untuk mempertahankan kawasan hutan dan menyelamatkan areal hutan produksi sangat dibutuhkan adanya Implementasi Multisistem Silvikultur pada areal IUPHHK, MSS dapat meningkatkan produksi kayu, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mempertahankan kawasan hutan produksi.
Sampai saat ini kebijakan dan regulasi Kementerian Kehutanan belum mendukung untuk diterapkannya Multisistem Silvikultur. Penerapan Multisistem Silvikultur (MSS)  membutuhkan payung hukum berupa Keputusan Menteri Kehutanan tentang  Penerapan Multisistem Silvikultur pada Kawasan Hutan Produksi dan Peraturan Pemerintah tentang  Pembangunan  IUPHHK Multisistem Silvikultur.
Pada  saat ini pengelolaan hutan produksi di Indonesia dibawah Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang membawahi Direktorat Bina Usaha Hutan Alam (yang membina IUPHHK HA) dan Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman (yang membina IUPHHK Hutan Tanaman/HTI). Untuk tidak mengalami hambatan birokrasi dalam penerapan multisistem silvikultur sebaiknya dibentuk  Direktorat Bina Usaha Hutan Produksi  yang meliputi  Bina Usaha Hutan Alam dan Bina Usaha Hutan Tanaman.
Penanaman jenis pohon berdasarkan Site (Tempat tumbuh) dengan sistem sivikultur yang dibutuhkan sesuai dengan  ekologi jenis pohon merupakan keharusan. Keputusan pemilihan jenis pohon sebaiknya diserahkan pada perusahaan pemegang hak (IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman) dan tanaman yang ditanam dalam  pembangunan IUPHHK Multisistem Silvikultur menjadi asset perusahaan agar Implementasi Multisistem Silvikultur menarik bagi para pengusaha.
      Dengan diterapkannya  Multisistem Silvikultur, produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan, Ekonomi menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan  Hidup dapat dipertanggung jawabkan dan kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan membuka peluang investasi  dan berperan aktif dalam kegiatan revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.

Daftar Pustaka 
Anonim, 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia. Jilid I. Departemen Kehutanan,

Departemen Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004. tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Dephut. Jakarta.

Departemen Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004. tentang Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Dephut. Jakarta.

Direktoraat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release Kehutanan. Triwulan II. Juli 2009. Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW) 2002 The state of the forest: Indonesia. FWI/GFW, Bogor and Washington, DC. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan .

Direktorat Pengusahaan Hutan, 1968. Garis Kebijaksanaan Direktorat Jenderal Kehutanan Tentang Pengusahaan Hutan dan Perdagangan Hasil Hutan. Rapat Kerja Kehutanan JAINTIM Tretes. November, 1968. 

Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Yasman, I. 2012. Aspek Kebijakan dan Regulasi dalam Pengurusan Pengelolaan Hutan Alam Produksi (Dalam Perspektif Pengusahaan Hutan) Workshop/Seminar “Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi : Tinjauan Aspek Teknis Silvikuktur, Sosial-Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan”  Samarinda, 13 November 2012

Kusumawardhani, L. 2008. Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL).  Makalah yang disampaikan pada Workshop “Sosialisasi Sistem Pemantauan Internal Kinerja PHAPL”, Hotel Twin Plaza, Jakarta (26 Agustus 2008) dan Hotel Via Renata, Cimacan, Jawa Barat (27-28 Agustus 2008), IITO PD 389/05 Rev.2 (F).

Manan, S. 1993. Hasil-hasil Komisi Pembinaan HPH – APHI.

Moersaid, K and R. Soediarto. 1958. Silvicultural Aspect of The Tropical Rain Forest in Indonesia. Proceeding Simposium on Humid Tropics Vegetation. Ciawi, December 1958. 285-294. Unesco Science Cooperation Office for Southeast Asia, Jakarta.

PPHI, 1958, Hutan Industri. Jawatan Kehutanan. Jakarta.

Setyawati, S. 2012. Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi: Tinjauan dari Aspek Ekologi. Workshop/Seminar “Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi : Tinjauan Aspek Teknis Silvikuktur, Sosial-Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan”  Samarinda, 13 November 2012
Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito 2005. Project Completion Report ITTO. PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta.

Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Soerianegara, 1992. Sejarah, Pelaksanaan dan Pengembangan Tebang Pilih Indonesia (TPI). Prosiding  Seminar Nasional status silvikultur di Indonesia Saat ini.

Suryanto, 2009. Model dan Simulasi dalam Pengambilan Keputusan Sistem Silvikultur dan Aspek Kebijakannya. Paper dibawakan pada Seminar Gelar Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 19 Nov 2009.





[1]) Dibawakan pada Seminar Nasional Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanudin, Makassar. 29 Agustus  2013.
[2]) Guru Besar Emeritus Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. IPB.

0 comments:

Post a Comment