Sunday, January 2, 2011

Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur


KONSEP DAN FILOSOFI MULTISISTEM SILVIKULTUR[1])

Oleh :
Andry Indrawan[2])


Pendahuluan
Pembangunan hutan saat ini tidak hanya bertujuan untuk kelestarian hasil  (“Sustained Jield Principle”) tetapi untuk kelestarian Ekosistem (Sustained Forest Management) yang disamping mengharapkan manfaat langsung berupa kayu dan hasil hutan lainnya juga berupa manfaat Ekologi yang meliputi hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan.
 Ekosistem yang perlu dilestarikan pada areal kawasan hutan meliputi:
1. Ekosistem alam seperti hutan hujan tropika, hutan musim, hutan rawa, hutan gambut, hutan kerangas, hutan mangrove dan ekosistem-ekosistem alam lainnya.
2. Ekosistem Buatan pada kawasan hutan seperti Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
Ekosistem hutan juga berfungsi sebagai tempat hidup dan mencari makan  Masyarakat di sekitar hutan (local people), habitat berbagai jenis  satwa liar dan tumbuh2an, konservasi biodiversity, konservasi plasma nutfah, Hidroorologi dan perlindungan alam lingkungan.
Berdasarkan paduserasi TGHK – RTRWP, wilayah hutan di Indonesia luasnya 120,35 juta ha (61 % dari luas daratan) yang menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari: Hutan Produksi 58,25 juta ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi 8,08 juta ha, Hutan Lindung 33,52 juta ha dan Hutan Konservasi 33,52 juta ha (Rusli, 2008).
 Jumlah HPH/IUPHHK HA sampai dengan bulan juni 2009, 301 unit dengan luas areal izin 31.133.992 Ha. Jumlah HPH yang mengajukan usulan pengesahan RKUPHHK-HA sebanyak 210 Unit Manajemen (UM) dan yang telah disahkan 121 UM sampai dengan bulan juni 2009. Sedangkan Jumlah IUPHHK Hutan tanaman per Juni 2009, 262 unit dengan luas izin 11.457.241 ha (Dirjen BPK, 2009)
Sejak diterbitkannya Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut No. P.05/Menhut II/2008 tentang tata cara Permohonan IUPHHK dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagai tindak lanjut dari PP No. 6 Tahun  2007 jo. PP No. 3 tahun 2008, sampai dengan 17 juni 2009 penerbitan IUPHHK-HTR oleh Bupati sebanyak 8 (delapan)  unit dengan luas  15.305,95 ha. Dan sampai dengan 17 Juni 2009 realisasi pencadangan areal HTR telah ditetapkan 38 kabupaten/kota yang tersebar di 15 propinsi dengan total luas 251.018 ha. (Dirjen BPK, 2009)
Eforia reformasi menyebabkan degradasi pada sumber daya hutan, saat ini sasaran penebangan liar (illegal Loging) bukan hanya pada kawasan hutan produksi saja, tetapi sudah masuk kedalam kawasan konservasi (taman nasional, hutan lindung, dan kawasan konservasi lainnya).
Di lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) yang demikian cepatnya di Indonesia maka diperlukan fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut, salah satunya sistem silvikultur yang digunakan. Sistem silvikultur yang digunakan pada suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi habitat  pada kawasan hutan di areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman.
Mengingat kondisi hutan di sebagian besar areal IUPHHK umumnya terdiri dari areal bekas tebangan, areal hutan rusak/tidak produktif, areal non hutan dan di beberapa tempat masih terdapat areal hutan primer, untuk mengelola hutan yang sangat bervariasi tersebut dibutuhkan  lebih dari satu sistem silvikultur (multisistem silvikultur). Kaitannya dengan sistem pengelolaan hutan alam produksi lestari, maka dalam satu unit pengelolaan hutan sangat dimungkinkan untuk diterapkan lebih dari satu sistem silvikultur,
 Kondisi ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 3/2008, Pasal 38, ayat 1 yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sisttim silvikultur.
Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/2009 (lihat halaman 7 (tujuh) pada makalah ini).
 Dan kepmenhut No. P.40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja.
Namun dalam pelaksanaannya peraturan Menteri Kehutanan tersebut masih banyak mengalami hambatan terutama pada tataran teknis, manajemen, kelembagaan serta pedoman pelaksanaan di lapangan. Sementara tuntutan pengelola IUPHHK untuk melaksanakan multisistem silvikultur demikian besar.
Hal tersebut mendasari perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu ekonomis menguntungkan  ekologis dapat dipertanggung jawabkan, secara sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang efektif. Disamping itu, berkaitan dengan perpanjangan IUPHHK, para pemegang ijin tidak hanya memperhatikan areal yang memilki potensi kayu tetapi harus mempertanggung jawabkan seluruh arealnya terasuk areal-areal dengan kategori non hutan.
 Areal-areal hutan telah banyak mendapatkan tekanan dari berbagai kepentingan, antara lain illegal logging, pertambangan, perkebunan dan okupasi masyarakat serta alih fungsi lainnya.
Sesuai dengan lokasi IUPHHK  pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik  Ekosistem DAS hulu, Tengah dan Hilir, areal hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan satu atau lebih sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur) pada suatu areal IUPHHK.
Memperhatikan hal tersebut di atas dan dalam kerangka meningkatkan produktivitas hutan produksi di dalam areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka upaya untuk merancang ulang pengelolaan areal hutan melalui penerapan multisistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik kawasan hutan setempat perlu mendapat perhatian para rimbawan. Melalui strategi ini, diharapkan potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial.
Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Fragmentasi areal IUPHHK hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui Multisistim Slvikultur untuk mengembalikan fungsi hutan baik fungsi ekonomis berupa kayu dan hasil hutan lainnya maupun fungsi ekologis berupa hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan serta fungsi sosial dan budaya masyarakat disekitar hutan.

Menurut penelitian Suryanto, (2010) yang menggunakan permodelan dan simulasi, dengan perangkat lunak Steela versi 9.0.2. pada areal yang telah terfragmentasi pada IUPHHK sampel di Kalimantan sbb:
a. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) digunakan pada kluster hutan primer dan kluster hutan bekas tebangan (LOA) yang berpotensi baik.
b. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII/SILIN) digunakan pada kluster hutan bekas tebangan (LOA)  yang berpotensi sedang dan.
c. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) untuk hasil pulp dan kayu pertukangan digunakan pada kluster hutan bekas tebangan (LOA) berpotensi rendah dan pada kluster lahan kosong.

Penggunaan model di IUPHHK sampel diatas membuktikan bahwa penggunaan tiga sistem silvikultur menghasilkan nilai manfaat yang lebih baik dibandingkan penggunaan  satu atau dua  sistim silvikultur dengan hasil sbb :
a.  Multisistem silvikultur dengan menggunakan tiga sistem silvikultur (TPTI, TPTII/SILIN dan THPB) bila dibandingkan dengan menggunakan satu sistem silvikultur (TPTI) akan menghasilkan total produksi kayu 1086%, penyerapan tenaga kerja 387% dan nilai NPV 5376% (Suryanto, 2010).
b.  Multisistem Silvikultur dengan menggunakan 3 (tiga)  sistem silvikultur (TPTI, TPTII/SILIN dan THPB) memberikan proyeksi total produksi kayu 378% lebih besar dibandingkan menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII/SILIN). Selanjutnya campuran 3 sistem (TPTI, TPTII/SILIN dan THPB) ini dapat menyerap 247% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang lebih besar daripada menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII/SILIN) (Suryanto, 2009 ; Suryanto, 2010).


Sistem Silvikultur:
Sistem silvikultur dan teknik silvikultur yang telah diterapkan dalam pengelolaan hutan alam produksi (IUPHHK HA) di Indonesia pada saat ini adalah Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII/ Silvikultur Intensif (Silin).
Sedangkan sistem silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan tanaman pada saat ini digunakan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB).

1. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam  Indonesia  (TPTI).
Sejak keluarnya Peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak  Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka pelaksanaan undang undang no. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang2 no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan undang-undang no. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri, sejak itu HPH mulai beroperasi di Indonesia.
Surat keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 lahir pada tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya.
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan surat keputusan ini. SK Menteri Kehutanan No. 485/1989 melahirkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Dari hasil laporan pengumpulan data/informasi pelaksanaan TPI, 1987 pada beberapa HPH (Riau : PT. Silvasaki, Jambi: PT. Hatma Santi, Kalbar: PT. Kayu Lapis Indonesia, Kalsel: PT. Inhutani II dan PT. Hutan Kintap, Kaltim: PT. Inhutani I, PT. ITCI dan PT. BFI) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan Fakultas Kehutanan IPB dimana penulis termasuk dalam Tim IPB sebagai bahan untuk Tim Materi Diskusi Penyempurnaan Pedoman TPI, yang dipimpin Komar Sumarna, MS. (yang waktu itu Direktur Pelestarian Alam, Dirjen PHPA, Dephut). Pada areal HPH tersebut, pada hutan2 bekas tebangan  jumlah pohon inti per ha dari diameter 20 cm keatas cukup yaitu lebih besar dari 25 pohon per ha demikian pula  tingkat permudaan, tiang, pancang dan semai cukup.
Hasil penelitian yang dilakukan penulis pada areal bekas tebangan di areal  IUPHHK di Sumatra : HPH PT. Hugurya/Aceh, HPH PT. Pertisa /Riau. Kalimantan: HPH PT. INHUTANI II/ P. Laut (Kalsel), dan HPH. PT. Ratah Timber/Kaltim pada areal LOA terdapat kerapatan pohon inti (pohon yang akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi tebang berikutnya) cukup dan tingkat permudaan semai, pancang dan tiang dari jenis komersial yang cukup, baik kerapatan (jumlah pohon/ha) maupun penyebaran (frekuensi) nya.
Dari uraian diatas dari Jumlah pohon inti/ha dan permudaan dari jenis komersial yang cukup  berarti kelestarian hasil hutan pada rotasi ke 2 (dua), dst akan terjamin.
Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian ekosistem hutan alam dan kelestarian hasil dengan manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang. Rotasi Tebang pada TPTI 35 tahun dengan asumsi riap diameter 1 (satu) cm/tahun.

2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
 Urut-urutan pemberlakukan dan pencabutan Kepmenhut dan Permenhut Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam:
a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan  SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi.
b. Sk Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998, tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Sari Bumi Kusuma.
c. Sk Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999, tgl 18 Januari 1999. tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Erna Juliawati.
d. Pencabutan TPTJ: Kepmenhut No. 10172/Kpts-II/2002 tentang perubahan kepmenhutbun  No. 309/kpts-II/1999.
e.  Peraturan Menhut No. P 30/Menhut II/2005: Kepmenhut  No. 10172/KPTS-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi.
f.  Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/2009 : Peraturan Menhut No. P 30/Menhut II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi, yang berarti Kepmenhut No. 10172/KPTS-II/2002 akan berlaku lagi yang sejalan dengan sub d. Bahwa TPTJ telah dicabut.
g. Peraturan Menhut No. P11/Menhut II/2009 membingungkan karena masih memberlakukan TPTJ sebagai salah satu sistem silvikultur yang akan digunakan dan  bertentangan dengan Kepmenhut No. 10172/Kpts-II/2002.
Tebang Pilih Tanam Jalur merupakan sisitem silvikultur sbb:
a.  Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur dengan tebang persiapan dengan menebang pohon pada areal LOA TPTI, dan dilakukan dengan Tebang Pilih dengan Limit diameter ≥ 40 cm diikuti dengan pembuatan jalur bersih (penjaluran), dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor (jalur Konservasi) 22 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis2 pohon komersial. Dengan jarak tanam 5 m. Sehingga jarak tanaman  menjadi 5 x 25 m.
b.  Pengadaan bibit dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).

3. Teknik Silvikultur  Intensif (Silin) / TPTI Intensif
SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005, memutuskan pemegang IUPHHK pada hutan alam sebagai model Sistem silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6 (enam) IUPHHK yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim (Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar); PT. Balikpapan Forest Industri dan PT. Ikani (Kaltim).
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang meliputi 25 pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam  terdiri dari  8 (delapan) IUPHHK di Kaltim, Kalteng 8 (delapan) IUPHHK, Kalbar 1 (Satu) IUPHHK Sumatera Barat 1 (satu) IUPHHK, Riau 1 (satu) IUPHHK Papua 2 (dua) IUPHHK, Papua Barat 3 (tiga)  IUPHHK dan Maluku utara 1(satu) IUPHHK.
Sistem TPTII (Silin) adalah bukan merupakan regim atau sistem silvikultur, tetapi merupakan teknik silvikultur yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal (Sukotjo, 2009).

Kelemahan sistem TPTII (Silin) yaitu dilaksanakan pada LOA areal bekas tebangan TPTI dengan tidak memperhatikan rotasi  tebang yang dipersyaratkan dalam pedoman TPTI. Rotasi tebang dalam pedoman TPTI 35 tahun. TPTII (Silin) membolehkan penebangan dibawah rotasi tebang (< 35 tahun).
Limit diameter yang boleh ditebang pada TPTII (Silin) diturunkan menjadi diameter ≥ 40 cm yang dilaksanakan pada tebang persiapan TPTII (Silin) di areal bekas tebangan (LOA) TPTI. Pada pedoman TPI, limit diameter yang boleh ditebang pada hutan produksi adalah ≥ 50 cm dan pada hutan produksi terbatas adalah diameter ≥ 60 cm.
Kelebihan TPTII (Silin) yaitu segera setelah dilakukan tebang persiapan (Et+0), dibuat jalur bersih. Penanaman jenis target/jenis unggulan silin dilakukan segera setelah dibuat jalur bersih sehingga mudah dikontrol.
Sedangkan pada TPTI enrichment planting dilaksanakan pada areal LOA yang berumur 3 tahun (ET+3) pada lokasi areal bekas tebangan dengan permudaan tingkat semai kurang (Penyebaran /Frekuensi < 40%). Tidak mudah dikontrol.
TPTII (Silin), dilakukan melalui rekayasa genetis, rekayasa lingkungan dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit (pest and desease) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu jenis komersial pada masa yad, dari hutan alam khususnya jenis2 pohon dari famili Dipterocarpaceae.
TPTII (Silin) merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (Enrichment planting) dari sistem TPTI. Meliputi penebangan persiapan pada seluruh Blok (petak2 tebang) sesuai RKT Silin tahun berjalan, penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up.  Pada LOA hasil dari tebang persiapan dilanjutkan dengan membuat jalur bersih, tebang jalur bersih selebar 3 meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting) dengan jenis2 unggulan dengan jarak tanam 21/2 m. Sehingga jarak tanam menjadi 21/2 x 20 m2.
Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae unggulan (Jenis Target) yang disarankan dan dapat merupakan pilihan untuk ditanam pada areal TPTII (Silin) adalah Jenis-jenis pohon hasil uji jenis.
Jenis-jenis pohon (jenis2 target)  hasil uji jenis dengan teknik Silvikultur adalah  sbb: Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Sukotjo, Subiakto dan Warsito, 2005).
Daur ekonomis Jenis2 unggulan (jenis Target) adalah 30 tahun.

4. Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, dimana pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia dapat dilakukan dengan sistim silvikultur :
1.  Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2.  Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3.  Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 35/Kpts/Dj/I/1972 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto “Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman Industri” karena padanan bahasa Indonesia dari “Timber Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Lokakarya Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan.
Pembangunan HTI dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
Tujuan Pembangunan HTI dalam PP No. 6 Tahun 1999 adalah untuk memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak, dan untuk memenuhi bahan baku Industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif.
Dalam PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa sasaran pembangunan hutan tanaman adalah pada lahan kosong, padang alang-alang dan hutan rawang (potensi kurang dari 20 m3).
THPB pola agrofrorestry dapat dilakukan dengan penanaman tanaman pokok dengan tanaman pertanian atau tanaman perkebunan seperti penanaman coklat di bawah tegakan hutan di Afrika dan penanaman tanaman kapol dibawah tegakan hutan  di RRC (Kartawinata, 1998).
Di Indonesia Rehabilitasi lahan dengan menggunakan sistem Agroforestry dengan tanaman coklat di lakukan disekitar Taman Nasional Lore Lindu dan di sekitar Taman Nasional  Rawa Aopa (Hatfindo Prima, 2005)
Sampai dengan saat ini pengelolaan hutan produksi di Indonesia dibawah Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) yang pada tahun 2010 menjadi Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang membawahi Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam (yang membina IUPHHK HA) yang pada tahun 2010 menjadi Direktorat Bina Usaha Hutan Alam dan Direktorat Pembinaan Hutan Tanaman (yang membina IUPHHK HT/HTI) yang pada tahun 2010 menjadi Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman.
Solusi untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dilakukan dengan multi usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTII/Silin, THPB, THPB pola Agroforestry.

Restorasi Ekosistem
Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati (Peraturan Menteri Kehutanan, No. P.18/Menhut-II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004.)
Sebagai akibat adanya degradasi hutan hujan tropika baik didaerah hulu dan hilir DAS maka areal hutan menjadi tidak produktif baik ditinjau secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Areal hutan primer berubah menjadi areal hutan bekas tebangan TPTI, areal hutan bekas kebakaran, areal hutan bekas illegal logging dan areal hutan bekas perladangan. Areal tersebut dapat dapat berupa hutan sekunder, semak belukar dan padang alang-alang, yang terbentuk sesuai dengan tingkat kekerasan dan atau frekuensi degradasi dari vegetasi alam yang sebelumnya merupakan hutan primer. Pada areal tersebut terjadi proses suksesi sekunder yang menuju pada keseimbangan alam yang dinamis (Hutan Klimaks) kalau tidak terdapat gangguan lagi. Vegetasi yang terbentuk setelah degradasi hutan merupakan pencerminan dari keadaan habitat.
Pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan ekologi lahan-lahan yang terdegradasi sangat dibutuhkan untuk keberhasilan restorasi ekosistem. Jenis asli setempat adalah jenis yang terbaik untuk ditanam pada daerah yang bersangkutan, bila jenis asli tidak sesuai dengan pengembangan ekonomi daerah yang bersangkutan dapat didatangkan jenis exotik baik dari luar pulau atau luar daerah yang secara ekologi sesuai dengan areal restorasi.
Pada Hutan Primer dan  Areal Hutan Bekas Tebangan TPTI, TPTI secara ekologis paling sesuai untuk diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan produksi dan 60 cm keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPI tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis pohon komersial ditebang pada areal bekas tebangan. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat hutan baik langsung maupun manfaat tidak langsung melalui rotasi tebang  dan siklus hara.
Areal Hutan Bekas Tebangan diperlakukan sebagai suatu ekosistem hutan, pada areal yang permudaan alamnya kurang (Nilai Frekuensi tingkat permudaan semai ≤ 40%) dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting). Dan pada areal yang permudaan alamnya cukup (Nilai Frekuensi Tingkat permudaan semai ≥ 40%) dilakukan pembebasan tajuk baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal. Penanaman pengayaan bercermin pada jenis-jenis pohon yang ditebang dengan menggunakan jenis pohon terpilih dari famili Dipterocarpaceae (Shorea spp, Dipterocaprus, spp, Dryobalanops spp, Hopea spp dan Vatica spp dsb.) maupun jenis-jenis pohon non Dipterocarpaceae yang bersifat setengah toleran (Scyphyt) yaitu pada waktu muda membutuhkan naungan dan setelah dewasa membutuhkan sinar matahari penuh.
Pemilihan jenis pohon untuk penanaman pengayaan yang sesuai dengan keadaan ekologis daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat berperan dalam keberhasilan tanaman pengayaan yang akan dilakukan.
Pada daerah – daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang alang-alang dipilih jenis jenis pohon yang bersifat intoleran yang membutuhkan cahaya matahari penuh (Jenis pohon Heliophyt) seperti Jabon (Anthocephalus cadamba, Anthocephalus chinensis), Macaranga spp, Trema spp, Sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia mangium, Eucalyptus spp, Tectona grandis dsb.

Definisi Sistem Silvikultur:
Sistem Silvikultur merupakan salah satu bagian penting (sub sistem) dari sistem pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), yang dapat menjamin kelestarian produksi, ekologi dan dampak positif sosial ekonomi termasuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas kawasan hutan.

Sistem silvikultur dapat dibedakan atas: (Manan,1995)
a.  Sistem Polycyclic yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari  satu kali selama  rotasi.
b.  Sistem Monocyclic yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali dalam satu rotasi.
Di Indonesia sistem TPI dan TPTI menggunakan sistem Polycyclic yaitu 2 kali siklus tebang selama rotasi 70 tahun. Sedangkan sistem THPA dan THPB menggunakan sistem Monocyclic.

Definisi Kerja Multisistem Silvikultur:
Multisistem Silvikultur adalah Sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari Dua atau lebih Sistim Silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).

Sesuai dengan lokasi IUPHHK  pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik  Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal Hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua  atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), Areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, Areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.

Penutup
Sejalan dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan yang menuntut manfaat pengelolaan hutan tidak hanya terfokus pada produksi kayu semata tetapi harus memberikan manfaat pada pelestarian lingkungan dan peningkatan manfaat sosial masyarakat, maka peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan perlu ditingkatkan agar dapat diakui secara global. Di lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) yang demikian cepatnya di Indonesia maka diperlukan fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut, salah satunya melalui sistem silvikultur yang digunakan.
Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengsahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktifitas dan Pemantapan Kawasan Hutan” telah dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2008 bertempat di IPB Internasional Convention Center.
Lokakarya nasional penerapan multisistem silvikultur pada pengusahaan hutan produksi dalam rangka peningkatan produktifitas dan pemantapan kawasan hutan ini merupakan kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Pada lokakarya ini diharapkan adanya kebersamaan visi dan misi dalam menangani penerapan multisistem silvikultur dalam suatu unit IUPHHK, Adanya komitment bersama untuk menangani permasalahan pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, adanya program kegiatan yang lebih holistik dan tidak tumpang tindih dalam kewenangan pengelolaan /pengusahaan hutan produksi di Indonesia.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan Paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan dua atau lebih sistem silvikultur (multisistem silvikultur) pada suatu areal IUPHHK.
Pembinaan IUPHHK Hutan Alam dan IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) dengan Monosistem silvikultur dilaksanakan sejak HPH mulai beroperasi (1970) dan sejak pembangunan HTI (1984) sampai dengan saat ini.
Monosistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan yang ada di lapangan, Pada Hutan2 alam, Hutan Primer dan LOA pada areal IUPHHK dan hutan tanaman (HTI) terjadi illegal loging dan tekanan2 untuk penggunaan lain seperti Illegal Mining, Perkebunan dan Okupasi Masyarakat. Areal IUPHHK terdegradasi menjadi Hutan sekunder yang tidak produktif, Semak belukar dan alang2.
Penerapan Multisistem Silvikultur (MSS) membutuhkan payung hukum berupa Keputusan Menteri Kehutanan dan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan Multisistem Silvikultur dan pembangunan IUPHHK Multisistem Silvikultur.
Dengan diterapkannya Multisistem Silvikultur, produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan, Ekonomi menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan Hidup dapat dipertanggung jawabkan dan kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan berperan aktif dalam kegiatan revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972. tentang Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan dan Pedoman Pengawasannya, Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta.

Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1980. Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur. Pelaksanaan dan Pengawasan. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989. tentang Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI). Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Jakarta.

Direktoraat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release Kehutanan. Triwulan II. Juli 2009.

Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

PT Hatfindo Prima. 2005. Forest Resources Management for Carbon Sequestration Projects (FORMACS). Care International Indonesia. Jakarta.

Manan, S. 1995. Pelaksanaan Sistem Sillvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) ditinjau dari aspek keanekaragaman Hayati dan Erosi Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Rusli, Y. 2008. Kondisi Hutan Produksi Saat Ini. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito 2005. Project Completion Report ITTO. PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta.

Suryanto, 2009. Model dan Simulasi dalam Pengambilan Keputusan Sistem Silvikultur dan Aspek Kebijakannya. Paper dibawakan pada Seminar Gelar Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 19 Nov 2009.

Suryanto, 2010. Analisis Kebijakan dan Model Pengambilan Keputusan Sistem Silvikultur. Dalam Pengusahaan Kawasan Hutan Produksi. Studi Kasus di Kalimantan Timur. Thesis S2, Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan.



[1]) Dipresentasikan  pada Workshop Multisistem Silvikultur. Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Melalui Multisistem Silvikultur. Kerjasama antara  Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan) dengan Balai Pemantauan Pemmanfaatan Hutan Produksi Wilayah X ( Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan)
     Pontianak , 4 November 2010.
[2]) Guru Besar Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. IPB

5 comments:

Unknown said...

The good paper!

Andry's Blog said...

Terima Kasih Bpk. Irwahyudi

Unknown said...

Makalah yang sangat bermanfaat Pak Andry....Salam Rimbawan.

Andry's Blog said...

Terima kasih dan Salam Rimbawan kembali, Ibu Nyoman Aries Setiawati

JOKO TRIWANTO said...

Makalah sangat bagus sehingga harus difahami bagi rimbawan dalam mengelola hutan

Post a Comment