Friday, September 3, 2010

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multisistem Silvikultur

 PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DI INDONESIA
DENGAN
PENERAPAN MULTISISTEM SILVIKULTUR[1])

Oleh :
 Andry Indrawan
Guru Besar Departemen Silvikultur
Fakultas Kehutanan IPB.

Pendahuluan
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan manfaatnya memberikan pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambahnya jumlah penduduk maka menyebabkan kebutuhan manusia menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada ketergantungan manusia terhadap sektor kehutanan menjadi semakin meningkat sehingga dapat mempengaruhi kondisi hutan secara ekologis. Oleh karena itu diperlukan konsep pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya diharapkan dapat menambah nilai ekonomi namun tetap menjaga fungsi ekologis.
Dari pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan yang telah berjalan. Dampak positifnya kegiatan  pengusahaan hutan telah menyebabkan meningkatnya peranan sektor kehutanan di dalam perekonomian negara. Tetapi disisi lain, kegiatan  tersebut telah menyebabkan timbulnya kerusakan pada sumberdaya hutan itu sendiri.
Selama ini, peranan hutan cenderung hanya dilihat sebagai penghasil komoditas, terutama kayu, sehingga menjadi perebutan kepentingan berbagai pihak secara tidak terkendali yang akhirnya mengancam keberadaan dan kelestariannya. Kesalahan persepsi dalam melihat hutan hanya dari sisi ekonomi ini merupakan suatu kesalahan fatal. Karena manfaat hutan yang terbesar adalah dari hasil non kayu berupa manfaat ekologi.
Berdasarkan hasil penelitian IPB (1999) dalam Departemen Kehutanan (2001), nilai guna hutan, berupa nilai langsung (kayu, non kayu) hanya mencapai 4,5% sedangkan sisanya merupakan nilai keberadaan (habitat, flora, fauna, penyangga kehidupan) dan manfaat ekologi. Hal ini berarti pemanfaatan kawasan hutan produksi selama lebih dari 32 tahun hanya menghasilkan nilai guna hutan maksimum 4,5% dan telah menghilangkan manfaat lainnya sebesar 95%.
Pada saat ini areal IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) hutan alam yang sebelum tahun  1999  bernama HPH (Hak Pengusahaan Hutan)  hutan alam telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Fragmentasi areal IUPHHK hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui Multisistim Slvikultur untuk mengembalikan fungsi hutan baik fungsi ekonomis  berupa kayu dan hasil hutan lainnya maupun fungsi ekologis berupa hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan serta fungsi sosial dan budaya masyarakat disekitar hutan.
Sesuai dengan lokasi IUPHHK  pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik  Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua  atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan satu  atau lebih sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur) pada suatu areal IUPHHK. Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di kawasan hutan mengacu pada  Peraturan Pemerintah No. 3/2008. Pasal 38 ayat 1 dan   Permenhut P.11/Menhut II/2009

Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) di Indonesia
Pengelolaan hutan untuk kelestarian Ekosistem (Sustained Forest Management)   yang sejak lama telah dicanangkan oleh Depertemen Kehutanan pada hutan-hutan alam di Indonesia sangat diharapkan dapat terwujud, sehingga fungsi hutan untuk ekonomi dan ekologi dapat tercapai.
Beberapa kriteria pengelolaan hutan lestari yang tercantum dalam ITTO (International Tropical Timber Organization) antara lain meliputi : Jaminan kepastian sumber daya, kelangsungan produksi kayu, konservasi flora dan fauna, tingkat dampak lingkungan yang dapat diterima, manfaat sosial ekonomi, perencanaan dan penyesuaian berdasarkan pengalaman. Indonesia telah menetapkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi alam secara lestari melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI No 252/1993 (Manan,1993)
Secara teknis penilaian pengelolaan hutan produksi  yang mengacu pada Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari ITTO (ITTO, 1998) yang dimodifikasi dan  dituangkan dalam SK Menteri Kehutanan No 4795/KPTS II/2002, tgl 3 Juni 2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan. Sedangkan proses   penilaian Kriteria dan indikator  didasarkan pada Peraturan  Dirjen  Bina Produksi Kehutanan No. P.03/VI-BPHA/2007 tentang Perubahan Keputusan Dirjen BPK No. 42/KPTS/VI-PHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja IUPHHK pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam Rangka PHAPL.
PHAPL bersifat mandatory dan harus diterapkan pada semua Unit Penglolaan Hutan Alam.

Sistem Silvikultur:
Sistem Silvikultur merupakan salah satu bagian penting (sub sistem) dari sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), yang dapat menjamin kelestarian produksi, ekologi dan dampak positif sosial ekonomi termasuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas kawasan hutan.
Sistem silvikultur dan teknik silvikultur  yang  diterapkan  dalam pengelolaan hutan alam produksi (IUPHHK HA) di Indonesia pada saat ini adalah Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan  Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII/ Silvikultur Intensif (Silin).
Sedangkan sistem silvikultur yang diterapkan  dalam pengelolaan hutan tanaman digunakan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)

Multisistem Silvikultur
Eforia reformasi 1998 dan penebangan liar (illegal Loging)  sampai saat ini menyebabkan degradasi pada ekosistem sumber daya hutan. Eforia reformasi telah menyebabkan terdegradasinya hutan alam Indonesia baik pada   hutan alam dataran rendah maupun dataran tinggi. Sudah saatnya Negara Indonesia mempertahankan kawasan hutan,  menjaga kelestarian ekosistem hutan dan merestorasi ekosistem hutan yang telah terdegradasi baik pada hutan alam dataran rendah (lowland) yang merupakan hutan produksi, maupun   pada hutan2 daerah hulu (Upland), yang meliputi  hutan produksi terbatas, Hutan Lindung maupun pada Kawasan Lindung karena hutan2 tersebut  mempunyai fungsi Hidrologi, Orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Areal Hutan Produksi pada IUPHHK terfragmentasi untuk berbagai kepentingan seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah yang demikian cepatnya di Indonesia. Fragmentasi habitat pada areal IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut.
Solusi untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kawasan hutan dapat dilakukan dengan multi usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih Sistim  Silvikultur yang diterapkan  pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi  kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).
Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada  penerapan Multisistem silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTII/Silin, THPB dan  THPB pola Agroforestry:
Sesuai dengan lokasi IUPHHK  pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik  Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal Hutan produksi pada IUPHHK sudah terfragmentasi menjadi dua  atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), Areal hutan rawang (tidak produktif) bekas illegal loging, Areal hutan rawang bekas kebakaran, semak belukar dan padang alang-alang.
Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati (Peraturan Menteri Kehutanan,   No. P.18/Menhut- II/2004)
Restorasi ekosistem dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat melalui Multisistem Silvikultur perlu dilakukan agar supaya hutan dapat pulih kembali dan memenuhi fungsinya baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi.
Penutup
Sejalan dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan yang menuntut manfaat pengelolaan hutan tidak hanya terfokus pada produksi kayu semata tetapi harus memberikan manfaat pada pelestarian lingkungan dan peningkatan manfaat sosial masyarakat, maka peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan perlu ditingkatkan agar dapat diakui secara global. Di lain pihak degradasi, deforestasi dan ancaman konversi hutan untuk berbagai kepentingan (seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat dan pemekaran wilayah) yang demikian cepatnya di Indonesia maka diperlukan fleksibilitas pengelolaan yang dapat menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut, salah satunya melalui sistem silvikultur yang digunakan.
Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengsahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktifitas dan Pemantapan Kawasan Hutan” telah dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2008 bertempat di IPB Internasional Convention Center
Lokakarya nasional penerapan multisistem silvikultur pada pengusahaan hutan produksi dalam rangka peningkatan produktifitas dan pemantapan kawasan hutan ini merupakan kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Pada lokakarya ini diharapkan adanya kebersamaan visi dan misi dalam menangani penerapan multisistem silvikultur dalam suatu unit IUPHHK, Adanya komitment bersama untuk menangani permasalahan pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, adanya program kegiatan yang lebih holistik dan tidak tumpang tindih dalam kewenangan pengelolaan /pengusahaan hutan produksi di Indonesia
Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan Paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan dua atau lebih sistem silvikultur (multisistem silvikultur) pada suatu areal IUPHHK.
Pembinaan IUPHHK Hutan Alam dan IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) dengan Monosistem silvikultur dilaksanakan sejak HPH mulai beroperasi (1970) dan sejak pembangunan HTI (1984) sampai dengan saat ini.
Monosistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan yang ada di lapangan, Pada  hutan-hutan alam,  Hutan Primer  dan LOA pada areal IUPHHK, terjadi illegal loging dan tekanan2 untuk penggunaan lain seperti Illegal Mining, Perkebunan dan  Okupasi Masyarakat. Areal IUPHHK terfragmentasi menjadi hutan sekunder yang tidak produktif, semak belukar dan padang alang-alang.
Dengan diterapkannya  Multisistem Silvikultur, produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan,  Ekonomi menguntungkan, Ekologi dan Lingkungan  Hidup dapat dipertanggung jawabkan dan  kepastian kawasan hutan dapat dipertahankan. Diharapkan usaha mengelola hutan akan lebih prospektif sehingga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan berperan aktif dalam kegiatan revegetasi untuk pencegahan pemanasan global.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972. tentang Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan dan Pedoman Pengawasannya, Direktorat Jenderal Kehutanan, Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1997. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997. tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2001. Kebijakan Pembangunan Kehutanan Dalam Era Otonomi Daerah. Studium Generale – Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kamis 8 Maret 2001, Bogor.

Departemen Kehutanan. 2002. Surat Keputusan  Menteri Kehutanan No 4795/KPTS II/2002. tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut-II/2004. tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004. tentang Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Dephut. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P11/Menhut-II/2009 tentang Sistim Silvikultur dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989. tentang Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Pembinaan dan Pengendalian Kualitas Pengelolaan Hutan Lestari dan Produksi Hasil Hutan. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (Silvikultur Intensif). Departemen Kehutanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Peraturan  Dirjen  Bina Produksi Kehutanan No. P.03/VI-BPHA/2007 tentang Perubahan Keputusan Dirjen BPK No. 42/KPTS/VI-PHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja IUPHHK pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam Rangka PHAPL. Departemen Kehutanan, Jakarta

ITTO. 1998. Criteria and Indicator for Sustainable Management of Natural Tropical Forest. ITTO Policy Development Series No. 7, Yokohama
    
Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Peningkatan Produktifitas Dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Lembaran Negara Republik Indonesia  No.22. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 Tahun 2007 tentang  Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.  

Manan, S. 1993. Hasil-hasil Komisi Pembinaan HPH – APHI.

Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.




[1] ) Dimuat dalam Buku II : Pemikiran Guru Besar IPB, Oktober, 2009: Peranan IPTEK dalam pengelolaan pangan,  Energi,SDM, dan Lingkungan yang berkelanjutan.

6 comments:

investing said...

I really agree with Andry's reason to apply the
Multiple silvicultural system on the Indonesia's forest

Wahyudi Saranggono said...

Multi sistem silvikultur (MSS) sudah saatnya diterapkan pada hutan kita. Jangan biarkan jutaan ha kawasan hutan kita tidak produktif. Berdayakan semua melalui MSS. Selamat kepada Prof. Andry atas ide dan gagasan beliau.
Terima kasih.

Andry's Blog said...

Terima Kasih Sudah Berkunjung

Anonymous said...

Prof, apa beda MSS dengan sistem KPH model? apa kelebihan MSS dibandingkan KPH model?

Unknown said...

Luar biasa prof...but apakah ada bentu ebooknya sehingga bisa di unduh?

Unknown said...

Aswrwb pa Adri ini No HP sy Waskito 081398355381,kalau ada luang sy ingin ketemu BPK soal MSS, trima kasih ,konsep bagus sekali tetapi kita juga hrs punya Multi pasar atau integrated industri yg bisa menampung hasil hutannya tiap komoditi kayu dan non kayu , kalau tidak terulang lagi era HTI yg wajib dibuat oleh BUMN dan pemilik HPH dengan pinjamanDR 0%, yg analisa ekonominya lemah sekali,banyak dana DR tidak kembali dan HTI patungan terpaksa dijual pada group tertentu yg punya akses dana an industri pulp. Hormat saya

Post a Comment